Kamis, April 25, 2024

Jokowi, DPR, dan Kemiskinan Produk Legislasi 2015

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Anggota DPR duduk di antara bangku yang masih kosong saat mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10). Rapat tersebut membahas mengenai pendapat fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan terhadap dua RUU Usul Inisiatif AKD menjadi RUU DPR, penetapan susunan dan keanggotaan panitia angket Pelindo II, serta penetapan susunan dan keanggotaan Pansus RUU tentang larangan minuman beralkohol. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/15.
Anggota DPR duduk di antara bangku yang masih kosong saat mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/15.

Tahun 2015 kurang dari dua bulan lagi. Banyak catatan terhadap jalannya kinerja pemerintahan hasil Pemilihan Umum 2014. Setelah banyak evaluasi terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, ada satu sisi yang begitu mengecewakan. Mungkin tak banyak yang tahu, sepanjang tahun 2015 (Januari – Oktober 2015), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah hanya berhasil menyelesaikan 12 undang-undang saja!

Ini jelas kinerja legislasi yang sangat miskin, terutama oleh DPR. Dari 12 undang-undang yang disahkan itu pun, sebagian besarnya adalah pengesahan perjanjian kerja sama pemerintah dan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan beberapa negara lain. Sebagian lagi adalah pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), dan yang lainnya undang-undang revisi atas undang-undang yang sudah disahkan, serta undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Lebih parah lagi, 10 dari 12 undang-undang tersebut bukanlah bagian dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas yang mesti diselesaikan di tahun 2015. Artinya, kinerja legislasi pemerintahan, terutama DPR, sepanjang tahun 2015 seolah berjalan tanpa arah. Ini tentu mengecewakan. Dari 39 rancangan undang-undang prioritas yang sudah disusun dalam prolegnas prioritas tahun 2015, hanya dua yang mampu diselesaikan oleh DPR dan pemerintah.

Catatan terbaru, DPR dan pemerintah belum juga selesai menyetujui dan menetapkan prolegnas untuk tahun 2016. Sementara, pada 30 Oktober lalu, DPR dan pemerintah sudah menyetujui RUU APBN 2016. Tahukah DPR dan pemerintah fakta ini bertentangan dengan Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Entahlah. Namun yang pasti, ketentuan itu menyebutkan bahwa daftar prolegnas tahunan, mesti ditetapkan dan disetujui sebelum menyetujui RUU APBN.

Kondisi hari ini, RUU APBN telah disetujui, dan prolegnas masih belum tentu kejelasan nasibnya akan disahkan kapan. Sedangkan, terhitung 31 Oktober DPR sudah memasuki masa reses, dan baru memulai kembali masa persidangan pada 23 November.

Apa yang terjadi hari ini memang semakin menegaskan ketidakseriusan DPR dan pemerintah dalam menjalankan fungsi legislasi. Badan legislasi DPR memang sempat menyebutkan bahwa penyebab prolegnas belum disahkan adalah polemik terkait dengan revisi Undang-Undang KPK. Namun hal ini tentu akan sangat mudah dibantah. DPR dan pemerintah tidak perlu memaksakan diri melakukan revisi undang-undang yang ditentang keras oleh publik, dan telah nyata belum dibutuhkan untuk direvisi. Artinya, jika memang ada satu RUU yang memunculkan perdebatan dan tak bisa disetujui oleh DPR dan pemerintah, maka RUU tersebut tinggal dikeluarkan saja dari daftar prolegnas.

Miskinnya produk legislasi DPR ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, makin banyaknya frekuensi reses yang dibuat dalam satu kali masa sidang. Untuk satu kali masa sidang, DPR melakukan reses sebanyak lima kali. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, untuk satu kali masa sidang, DPR hanya melakukan empat kali masa reses. Banyaknya masa reses jelas berpengaruh kepada produktifitas kerja anggota DPR.

Kedua, DPR dan pemerintah terasa tidak punya skala prioritas yang jelas dalam agenda legislasi yang akan dilakukan. Keadaan semakin memburuk ketika jalannya peran dan fungsi legislasi berkelindan banyak tawar-menawar dan transaksi politik. Akhirnya, kerja-kerja legislasi yang menjadi tanggung jawab DPR dan pemerintah menjadi keluar dari pedoman penyusunan legislasi yang sudah ditetapkan melalui prolegnas.

DPR dan pemerintah seperti tidak mampu melihat persoalan apa yang akan dihadapi bangsa untuk lima tahun ke depan, dan perlu dijawab serta diselesaikan dengan kerja-kerja legislasi. Beberapa hal yang dibutuhkan segera, misalnya, bagaimana mendesaian pembaharuan hubungan pemerintah pusat dan daerah, serta pertanggungjawabannya dalam pemberian izin pembukaan lahan dan tambang. Dengan begitu, bencana asap yang menjadi “cobaan” rutin di beberapa wilayah Indonesia tidak terjadi lagi.

DPR dan pemerintah mesti menjawab persoalan ini. Dan persoalan ini pastinya tidak akan selesai dengan hanya memaki masker dalam sebuah sidang paripurna sebagai bentuk keprihatinan.

DPR dan pemerintah pastinya mengerti bahwa waktu satu tahun sudah berjalan begitu cepat. Hal yang sama tentu akan terjadi lagi untuk tahun-tahun berikutnya. Oleh sebab itu, DPR dan pemerintah mesti berbenah. Langkah pertama yang mesti dilakukan segera adalah menetapkan prolegnas tahun 2016 dan benar-benar konsekuen dengan tantangan yang mesti dijawab dengan kerja legislasi.

Satu hal yang pasti, produktifitas kerja legislasi DPR dan pemerintah mesti ditingkatkan dalam merespons dan menjawab kebutuhan republik ini.

Fadli Ramadhanil
Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.