Kamis, April 25, 2024

Jokowi, Vladimir Putin, dan Partai Baru

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) menyampaikan keterangan pers sebelum bertolak ke Amerika Serikat di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Minggu (14/2). Dalam kunjungannya ke AS, Presiden Jokowi dijadwalkan akan mengikuti US-ASEAN Summit dan bertemu dengan pimpinan perusahaan-perusahaan raksasa bidang teknologi Informasi (TI). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/16
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ANTARA FOTO/ Puspa Perwitasari

Akun Twitter @kurawa pernah iseng mengadakan polling, yang hasilnya mayoritas mutlak mendukung Presiden Joko Widodo untuk mendirikan partai politik baru. Sementara itu, Ormas Pro-jo (Pro-Jokowi) sudah lama menyatakan dukungannya kepada Presiden Jokowi untuk mendirikan partai. Di sini terlihat bahwa relawan Jokowi sebenarnya sudah tidak sabar melihat Jokowi keluar dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Para relawan tidak rela posisi Presiden Jokowi hanya sekadar menjadi “petugas partai”. Padahal Jokowi sejatinya adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Republik Indonesia yang menaungi semua golongan politik. Namun, terkait mendirikan partai baru, ada catatan kritis. Mendirikan partai politik baru bukanlah sesuatu yang mudah dan penuh tantangan.

Ada beberapa negarawan yang berusaha meninggalkan partai lama mereka dan mendirikan partai baru. Kasus mereka bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Mereka adalah Anwar Ibrahim dan Vladimir Putin.

Anwar Ibrahim sebelumnya adalah Wakil Perdana Menteri Malaysia dan Wakil Ketua UMNO (United Malays National Organization). Hanya, karena bersitegang dengan Mahatir Mohammad, Anwar Ibrahim mengundurkan diri sebagai Wakil PM dan UMNO. Kemudian Anwar mendirikan partai baru, yaitu Partai Keadilan Rakyat. Hanya saja, setelah itu Anwar Ibrahim harus menghadapi proses pengadilan dan pemidanaan terkait tuduhan pelecehan seksual.

Pengikut Anwar menuduh pemerintah memfabrikasi semua tuduhan tersebut. Sampai sekarang, ambisi Anwar Ibrahim untuk menjadi PM Malaysia belum tercapai, karena UMNO secara praktis masih menguasai daerah rural/pedesaan di Malaysia. Di sana, oposisi tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ini sebuah pelajaran juga bahwa sebuah partai baru harus memikirkan jaringan yang kuat untuk menjangkau pedesaan atau kampung yang jauh dari ibu kota sekalipun.

Sementara itu, Vladimir Putin adalah anggota KGB, dinas rahasia Uni Soviet. KGB adalah aparat dan “petugas partai” dari Partai Komunis Uni Soviet. Putin terakhir memiliki pangkat Kolonel di KGB, dan pernah bertugas di kota Dresden, Jerman, dan menguasai bahasa negara tersebut. Maka, ia selalu berbahasa Jerman sewaktu bertemu Angela Merkel.

Sewaktu Uni Soviet bubar, Vladimir Putin justru ikut membidani Partai Rusia Bersatu, yang sampai sekarang mendukung kepresidenannya. Lebih hebat dari James Bond, Putin dapat menggunakan jaringan intelijen yang dibina sejak bekerja di KGB sebagai kendaraan politik yang sangat digdaya.

Tidak hanya itu, Putin juga dekat dengan kalangan pengusaha. Kelihaian politik intelijen Putin memang sangat membantu memperkuat posisinya, dan menyingkirkan semua lawan politiknya. Bahkan sampai sekarang negara-negara Barat juga menghormatinya. Ini pelajaran yang menarik juga, karena dengan menguasai covert operation, suatu negara dapat dikuasai dengan sepenuhnya.

Contoh yang juga menarik sebenarnya adalah dari negara sendiri. Walau sebelumnya tidak punya partai, Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan Partai Demokrat yang membawanya menjadi Presiden RI. Presiden Jokowi punya keunggulan dibanding Presiden SBY, karena sebelumnya sudah berpartai. Karenanya, jaringannya lebih luas.

Teknik pencitraan Presiden SBY sebenarnya sedikit banyak sudah digunakan oleh Jokowi, terutama sewaktu Pemilihan Presiden 2014. Sebagian voters memilih Jokowi-Jusuf Kalla karena mereka dicitrakan sebagai tokoh yang dizolimi dan difitnah secara kasar oleh lawan politik mereka. Walau teknik pencitraan ini dapat digunakan terus, mengandalkan sepenuhnya tidaklah bijak. Harus ada pendekatan politis lain yang memperkuat.

Di era reformasi sekarang ini justru memungkinkan Presiden Jokowi lebih sukses daripada Anwar Ibrahim dan Vladimir Putin. Mereka hidup di negara yang masih totaliter, sehingga terlalu banyak intrik politik di belakang layar yang tak diketahui oleh publik maupun pers. Indonesia zaman sekarang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Media massa selalu bisa “mengendus” intrik apa pun yang terjadi, terutama media online yang memperbarui beritanya setiap saat.

Jaringan Relawan Jokowi sebenarnya masih sangat potensial untuk dibina lebih lanjut. Belajar dari kesuksesan Vladimir Putin, Presiden Jokowi harus lebih mengoptimalkan politik intelijennya, agar aparat militer, kepolisian, maupun pegawai negeri sipil/PNS (Trimatra) mendukung penuh kebijakannya. Jika Trimatra tersebut mendukungnya, tidak ada satu pun yang dapat menghalangi Presiden Jokowi dalam mendirikan partai politik baru.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.