Surat untuk Prof. Jeffrey Winters
Are you sure Professor?
Tuan Winters, saya membaca pernyataan anda di Wall Street journal tertanggal 23 Juli 2015, dalam sebuah artikel berjudul “Political Strains Test Indonesian Leaders”. Anda menyebut Jokowi sebagai “the weakest president Indonesia has had since Gus Dur.” Tentu pernyataan itu menarik bagi saya, selain karena anda seorang Professor, juga karena di masa krisis sangat penting untuk mendengarkan pendapat cerdik cendikia seperti anda untuk dijadikan pedoman. Saya mencoba menemukan argumentasi ilmiah yang anda gunakan untuk mendukung pernyataan akademik anda tersebut.
Dengan menggunakan diksi “the weakest president” saya segera mencari parameter ilmiah yang Tuan Professor ajukan, juga mengapa diksi itu digunakan. Namun sayang sekali saya harus kecewa, karena ternyata tidak saya temukan argumentasi yang kuat disana. Saya masih berusaha melihat ini secara jernih, mungkin saja Tuan Winters sedang ingin menguji sebuah hipotesis yang masih dalam proses penelitian. Namun disana ada satu kejanggalan yang rasanya sebagai akademisi sulit saya terima. Saya tiba pada kesimpulan, Tuan Winters sedang kacau pikiran.
Satu-satunya argumentasi ilmiah (kalaupun bisa disebut begitu) yang Tuan Professor Winters sampaikan adalah “Jokowi bergerak terlalu cepat dari Walikota sebuah kota kecil (mudah-mudahan yang anda maksud adalah Solo) menjadi pemimpin sebuah negara besar seperti Indonesia.” Tampaknya anda memang terlalu cepat untuk bisa disebut Indonesianis. Masih jauh jika dibandingkan dengan Tuan Ben Anderson, Tuan Aspinal, Tuan Douglas MacDonald atau dengan jurnalis Ibu Janet Steele.
Tuan Winters, sekali lagi ini bukan soal apakah karena saya pendukung Jokowi atau bukan. Saya tidak punya kewajiban apapun untuk mendukung Presiden Jokowi, karena saya bukan bagian dari rejim Jokowi. Selain karena ketersinggungan intelektual saya, yang memilih Jokowi dengan berbagai pertimbangan akademik pada Pemilihan Presiden 2014 yang lalu. Anda bahkan menghina jutaan orang yang sedang menaruh harapan ditangan Jokowi. Anda menghina demokrasi di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, anda merendahkan intelektualitas (baca: akal sehat) yang menjadi benteng terakhir kemanusiaan.
Kota Kecil Yang Tuan Maksud
Lapangan tanpa rumput itu tidak lebih duapuluh meter dari rumah. Sering digunakan jika ada hajatan nikahan untuk dangdutan, atau jika ada peringatan hari-hari besar nasional dan agama. Meski tidak memiliki rumput dan berdebu, lapangan itu sering digunakan untuk bermain bola oleh anak-anak kampung. Pada hari itu, saya sudah lupa tanggal dan harinya, yang pasti ketika itu menjelang lebaran Idul Fitri tahun 1990. Dipojok lapangan itu tiba-tiba berdiri sepetak bangunan kecil, persegi empat terbuat dari Seng yang di cat berwarna biru. Usia saya yang baru lepas Sekolah Menengah Pertama, membuat saya tidak terlalu ambil pusing.
Baru ketika masuk bangku kuliah, tahun 1993 saya tahu bahwa petak itu milik Mas Joko, lelaki asal Kota Solo, waktu itu usianya 32 tahun ketika membangun sebuah bengkel dipojok lapangan kami. Belakangan saya tahu, ijin pendirian bangunan itu diperoleh dari abang sepupunya, yang saat itu baru bertugas sebagai Komandan Koramil di daerah tempat tinggal saya.
Tuan Winters, kota saya itu adalah sebuah kota kecil, namanya Makassar, tentu bukan Makassar yang anda maksud dalam pernyataan anda itu. Yang ingin saya katakan kepada anda adalah tentang si Mas Joko dari Solo dan bengkel ketok magic miliknya.
Di Indonesia, hampir semua orang percaya bahwa proses yang terjadi di dalam bengkel ketok magic itu adalah proses gaib. Tentu anda pernah mendengar tentang ini, hanya saja lupa memasukkannya dalam fakta temuan penelitian anda. Memang belum ada referensi yang secara serius memaparkan ini. Tapi yang anda harus tahu, ratusan ribu Mas Joko asal Solo, tersebar di seluruh Indonesia dan selalu menjadi solusi kreatif bagi masyarakat kami. Ketok magic bahkan tanpa disadari telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Ketok magic sah sebagai identitas nasional baru, karena mampu menjadi perekat kegelisahan masyarakat Indonesia ditengah mahalnya bengkel resmi, kepungan modal dan ekspansi mobil Jepang, Korea, Amerika, Eropa lalu terakhir Malaysia dan China. Ini jaman nasionalisme ketok magic.
Jokowi dan Nasionalisme Ketok Magic
Tuan Winters, anda pasti belum terlalu paham apa maksud saya. Saya coba bicara lebih terang. Anda tentu tahu bahwa orang kami (Indonesia) selalu bicara panjang, kadang tidak ada kesimpulan di akhir pembicaraan. Tapi kali ini biar saya sampaikan kesimpulan saya, ini karena saya mencurigai anda sebagai seorang Professor yang punya persoalan dengan kasabaran mencari dan mengolah fakta penelitian.
Nasionalisme ketok magic inilah yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh muda dengan kriteria bergerak cepat, berkarya di kota kecil, bukan dari dinasti politik lama, mampu memberikan solusi praktis, dan akhirnya dicintai dan dipilih masyarakat dalam pemilihan kepala-kepala daerah. Sebut saja Ahok dari Belitung ke Jakarta, atau Ridwan Kamil di Bandung, Tri Rismaharini di Surabaya, Nurdin Abdullah di Bantaeng, dan tentu saja si ceking kurus yang lemah: Jokowi dari Solo.
Apa yang terjadi? Disinilah kekeliruan argumentasi anda Tuan Winters. Bukankah tesis-tesis anda dan pendahulu anda sebelumnya telah memberikan cahaya terang tentang “keajaiban demokrasi”? Lalu kenapa anda kemudian merasa ini sesuatu kelemahan? Justru inilah kekuatan dan keajaiban demokrasi Indonesia, demokrasi lokal yang mengubah wajah Indonesia. Bangsa ini akan keliru anda pahami jika anda melihatnya sebagai sebuah warna yang kering. Indonesia ini seperti nilai estetika dari lukisan abstrak yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengerti tentang bagaimana menemukan sebuah pola dari sesuatu yang abstrak. Hanya bisa dimengerti oleh si Mas Joko sang pemilik bengkel ketok magic tersebut.
Anda tentu bisa menemukan fakta bagaimana Solo ketika dipimpin Jokowi. Fakta dari Solo yang menjadi narasi politik dan sejarah itu terbawa angin dan membuat warga Jakarta memilih Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Padahal Jokowi dan Ahok bukan warga Jakarta. Mengapa itu terjadi? Karena narasi politik tentang dua orang pemilik bengkel ketok magic dari Solo dan Belitung dipercaya mampu memberikan solusi praktis dan cepat ditengah panjangnya antrian kendaraan lecet akibat kecelakaan.
Terbukti, sebelum Jokowi menjadi Presiden, ada dua narasi yang harus anda ketahui. Pertama narasi Waduk Pluit dan narasi tentang pasar-pasar kota Jakarta. Kantor lama saya kebetulan persis berada di dekat pasar Manggis daerah Guntur Setiabudi Jakarta. Ketika pasar Manggis di renovasi, yang paling pertama dilakukan adalah membuat pagar Seng (almunium tipis bergelombang) setinggi kurang lebih 2 meter mengelilingi pasar tersebut. Karenanya tidak seorangpun bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana kecuali para tukang dan pengelola pasar tentunya. Pagar itu baru dibuka ketika menjelang peresmian, semua orang terkejut dan takjub, pasar Manggis yang kumuh telah disulap menjadi pasar modern yang bersih dan rapi. Ketika peresmian, masyarakat yang tadinya menggerutu dan pesimis, menyambut Jokowi dengan euforia. Hal yang sama terjadi dengan waduk pluit dan bengkel ketok magic milik mas Joko asal Solo tersebut.
Gerutu Tuan Winters
Saya masih berusaha berpikir positif dengan pernyataan Tuan Winters di WSJ. Karena bisa saja saya berpikir konspiratif yang diakibatkan karena pernyataan Tuan hampir bersamaan dengan banyak fakta peristiwa seputar Presiden Jokowi. Saya bisa saja menyatakan bahwa Tuan Winters sedang meletupkan sebuah pernyataan politik (bukan akademik) dari Amerika, satu isu yang tentu mudah sekali ditelan oleh orang kami.
Tendensi itu bukan tidak mungkin Tuan Winters. Diawali dengan kegelisahan mendengar pidato Presiden Jokowi di Konferensi Asia Afrika yang cukup bisa dijadikan indikasi berubahnya pandangan ekonomi politik luar negeri Indonesia. Apalagi ketika Jokowi diapit oleh PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Lalu menyusul gagalnya berbagai lobby dan upaya suap diseputar kasus hukuman mati para terpidana narkoba. Belum lagi narasi tentang kunjungan Jokowi ke China yang kemudian membawa pulang modal dukungan untuk infrastruktur, diantaranya pelabuhan internasional Bitung dan jalur kereta api trans-sulawesi. Atau juga cerita tentang kegelisahan Australia yang selama ini tidak ramah kepada kami, lalu merasa paranoid dengan semakin mesranya negara-negara di utara mereka.
Di dalam negeri, pernyataan anda hampir bersamaan dengan terjadinya insiden Tolikara, menguatnya isu pribumi dan non pribumi, isu reshuffle kabinet, bahkan pernyataan anda sangat mirip dengan pernyataan Surya Paloh yang menyebut Jokowi sudah mulai meninggalkan Revolusi Mental. Sekali lagi Tuan Winters, hanya pemilik bengkel dan tukang ketok magic yang tahu betul apa yang sedang terjadi.
Tuan Winters, sebagaimana para konsumen bengkel ketok magic, rakyat Indonesia memang sedang harap-harap cemas tentang keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi, anda bisa baca dari survey Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC) terbaru. Tapi data SMRC juga menunjukkan, bawa jauh di dalam lubuk hati rakyat Indonesia, masih tersimpan kepercayaan yang besar bahwa Jokowi mampu menyelesaikan semua pekerjaan ini. Karena itulah identitas nasionalisme kontemporer Indonesia yang saya maksud, nasionalisme yang lahir dari sepetak bengkel kecil berpagar seng karatan di cat biru. Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi, hanya saja rakyat Indonesia masih percaya, bahwa Mas Joko yang lemah dan ceking dari Solo itu pada akhirnya bisa mengatasi lecet, cat terkelupas bahkan penyok akibat benturan dari sebuah negeri besar bernama Indonesia.
Jakarta, 26 Juli 2015