Rabu, Oktober 9, 2024

Jokowi dan Nasib Pertanian 2015

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Sejumlah petani menanam bibit padi di lahan pertanian Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, Senin (14/12). Kementerian Pertanian bekerjasama dengan TNI Angkatan Darat mencanangkan tanam padi serentak guna mewujudkan program swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho/nz/15.
Sejumlah petani menanam bibit padi di lahan pertanian Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, Senin (14/12). Pemerintah mencanangkan tanam padi serentak guna mewujudkan program swasembada pangan.  ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho/nz/15.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla belum sepenuhnya bisa melepaskan diri dari model pembangunan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Di sektor pertanian pendekatan swasembada berbasis komoditas masih diadopsi. Target-target ambisius dicanangkan: swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun (2017). Swasembada gula dan daging pada 2019. Lebih setahun berjalan, capaian-capaian itu belum menggembirakan.

Pada 2015, produksi padi, jagung, dan kedelai masing-masing diperkirakan 74,99 juta ton gabah kering giling (naik 5,85% dari tahun 2014), 19,83 juta ton pipilan kering (4,34%), dan 982,97 ribu ton biji kering (2,93%). Produksi gula dan daging pada 2015 diperkirakan masing-masing 2,72 juta ton (naik 3,4% dari tahun 2014), dan 409 ribu ton (5,23%).

Melihat angka-angka itu semestinya kita bersyukur karena lima komoditas pangan semua naik produksinya. Namun, angka-angka ini seringkali menjadi biang masalah.

Jantung masalahnya terletak pada rendahnya akurasi data pangan. Ini penyakit menahun yang belum juga dicarikan obatnya. Selama ini sebagian besar data pangan dikumpulkan mereka yang kinerjanya diukur dari data yang dihasilkan sendiri. Konflik kepentingan tak terhindarkan. Akurasi data rendah karena metode yang dipakai tergolong primitif dan tak bisa diuji ulang secara statistik.

Data hanya deretan angka. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara-cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak sebuah kebijakan, output-nya bisa menyesatkan dan juga menyengsarakan.

Sejak awal tahun 2015, otoritas di bidang pangan puyeng oleh harga beras yang naik di atas kewajaran: 30%. Instabilitas harga juga terjadi pada daging sapi. Harga yang biasanya turun setelah Idul Fitri justru tidak terjadi. Sepanjang tahun harga daging bertahan tinggi.

Hal serupa terjadi pada jagung dan daging ayam. Yakin pasokan cukup atau produksi naik, serta-merta pemerintah memangkas impor. Padahal data tidak akurat. Aspek sosial-ekonomi produsen tiap-tiap komoditas juga amat khas. Respons pemerintah yang menggampangkan masalah membuat instabilitas harga tak menemukan solusi jitu.

Era Jokowi-JK ditandai oleh keinginan yang kuat untuk memangkas impor lewat pengendalian kuota. Sayangnya, keinginan itu tidak ditopang oleh kemampuan produksi domestik yang memadai. Ketika instabilitas harga terjadi, sementara produksi domestik memble, serta-merta impor menjadi jalan keluar. Meskipun ada kecenderungan menurun, dari Januari-Oktober 2015 impor sejumlah komoditas pangan masih cukup tinggi: jagung 2,98 juta ton, kedelai 5,24 juta ton, gula 2,7 juta ton, dan daging sapi 38,17 ribu ton.

Seperti SBY-Boediono, era Jokowi-JK masih dicirikan oleh program subsidi atau bantuan, seperti benih, pupuk dan alat-mesin pertanian. Bedanya, skala subsidi/bantuan jauh lebih besar. Misalnya, bantuan traktor naik dari 4.000 menjadi 80 ribu unit. Namun, masih perlu waktu apakah bantuan massif semacam ini efektif menggenjot produksi dan pendapatan petani. Sebab, tidak semua daerah perlu dan cocok diberi bantuan traktor.

Yang menggembirakan, Jokowi-JK tidak hanya sibuk mengurus masalah-masalah jangka pendek. Tetapi juga memulai membangun fondasi penting untuk pembangunan pertanian jangka panjang: membangun waduk plus jaringan irigasi, rehabilitasi jaringan irigasi tersier skala besar, membangun 1.000 Desa Mandiri Benih, dan mencetak 23 ribu hektare sawah.

Apabila langkah ini bisa dilakukan konsisten sampai tahun 2019, termasuk membagikan 9 juta hektare lahan ke petani dan menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare menjadi 2 hektare per keluarga petani, ada peluang Indonesia untuk mandiri dan berdaulat pangan.

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.