Kamis, April 25, 2024

Jokowi dan Mimpi Perpu KPK

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda Presiden Joko Widodo akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Walaupun desakan penyelamatan lembaga antirasuah itu terus disuarakan banyak pihak, termasuk dari tokoh-tokoh nasional, Presiden baru sebatas menyatakan mempertimbangkan. Itu pun tidak terlihat cukup meyakinkan. Setelah diultimatum mahasiswa, seberkas tanda kemunculan Perpu pun belum terlihat.

Sebagian besar kalangan agaknya masih optimistis dan berharap Presiden akan mengeluarkan Perpu. Hal itu terkonfirmasi dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di mana 76,3% publik menginginkan Presiden menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU KPK yang baru disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.

Data tersebut sekaligus menunjukkan betapa tinggi harapan diterbitkannya Perpu dalam rangka mengembalikan roh KPK yang sudah dicabut. Hal itu sangat beralasan di tengah begitu besar harapan publik akan KPK sebagai lembaga penjaga asa Indonesia minim korupsi.

Walau demikian, harapan publik ternyata tidak berbanding lurus dengan kehendak kekuatan elite politik, bahkan Presiden sendiri. Presiden Jokowi tidak terlihat memiliki agenda pembangunan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi yang jelas. Dari dan hendak ke mana negara hukum Indonesia ingin dibangun, pimpinan politik tertinggi tersebut bahkan terlihat belum punya mimpi. Mengapa dikatakan demikian?

Lima Indikasi

Kritik atas sikap Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya beberapa kondisi berikut menjadi basis argumentasi mengapa Presiden diindikasikan tidak memiliki agenda hukum yang jelas.

Pertama, dalam pidato kemenangan setelah pengumuman resmi hasil Pemilu 2019, tidak satu pun visi hukum disampaikan. Hanya ada satu kata hukum digunakan dan sama sekali tidak menggambarkan ihwal ide apa yang dipikirkan Presiden terpilih untuk membangun negara hukum Indonesia.

Dalam konteks itu, tidak salah jika banyak kalangan pesimistis akan kemajuan negara hukum pada periode kedua Presiden Jokowi. Jika pun sempat memikirkan hukum, yang sering muncul justru kecurigaan bahwa keberadaan sejumlah hukum undang-undang menghalangi masuknya investasi.

Kedua, terhadap berbagai tragedi kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat keamanan, Presiden tidak terlihat punya sikap. Kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi aparat terhadap sejumlah demonstran seakan dibiarkan. Hal itu terkonfimasi dari terus berulangnya kekerasan demi kekerasan.

Kekerasan aparat seakan ditoleransi demi memadamkan aksi demonstrasi mahasiswa yang dinilai membahayakan kekuasaan. Padahal tuntutan aksi yang disampaikan sangat jelas, namun tetap saja dicurigai hendak mengganggu rezim pemerintahan Jokowi.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Berbagai kasus hukum terbengkalai, bahkan seakan dibiarkan begitu saja, seperti kasus penganiayaan berat terhadap penyidik senior KPK, dugaan penganiayaan aktivis, dan kasus-kasus korban konflik agraria.

Sebagai pimpinan eksekutif tertinggi, kasus-kasus yang mendapatkan perhatian publik, seharusnya juga mendapat atensi Presiden. Presiden mesti bahkan wajib memberi arahan kepada aparat penegak hukum agar menuntaskan kasus-kasus yang ada dalam rangka memberikan kepastian dan keadilan bagi korban. Nyatanya, tidak terlihat ada arahan khusus dari sang Presiden.

Keempat, Presiden juga seperti membiarkan lembaga penegak hukum digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu di sekelilingnya. Lembaga penegak hukum yang seharusnya independen secara fungsional dibiarkan tergadai di bawah pengaruh dan kendali kekuatan kelompok politik. Akibatnya, kewenangan mulia institusi penegak hukum untuk menegakkan keadilan pun disalahgunakan demi meraup seonggok keuntungan politik.

Kelima, sikap Presiden soal sejumlah RUU bermasalah yang hendak dan telah disahkan secara terburu-buru diujung periode jabatan DPR 2014-2019. Di antaranya RUU perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika dibaca secara seksama, RUU ini sangat dipaksakan, karena sejumlah substansinya mengandung keraguan dan sangat potensial bertentangan dengan UUD 1945.

Contohnya pengaturan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perundang-undangan dan harmonisasi pembentukan peraturan daerah. Presiden sebagai pemegang separoh kekuasaan legislasi tentu ikut bertanggung jawab atas pembentukan UU dengan cacat bawaan itu.

Tanpa Cita Hukum

Dari berbagai indikasi di atas terlihat jelas betapa Presiden Jokowi begitu miskin agenda pembangunan hukum sesuai cita negara hukum Indonesia. Boleh jadi kinerja Presiden di bidang lainnya dapat diapresiasi, namun untuk soal hukum tidak demikian. Hukum terabaikan, baik dalam hal substansi maupun penegakannya.

Parahnya lagi, hukum dipandang sebagai sesuatu yang amat sederhana. Dalam hubungannya dengan investasi, hukum bahkan dianggap tidak lebih dari sekedar alat melancarkan dan mengamankan investasi. Katanya investasi diperlukan untuk membuka lebih banyak lapangan kerja. Atas alasan itu, hukum tidak boleh menghambat investasi. Jika menghambat, ia harus diubah atau dihilangkan. Sebuah simplikasi sikap yang amat berbahaya bagi suatu negara hukum.

Di samping berbahaya, penilaian semacam itu juga berpretensi merendahkan keberadaan hukum dalam kehidupan bernegara. Jika hukum dinilai sebatas itu, tentu tidak ada pentingnya pendiri negara menegaskan bahwa Indonesia ialah negara hukum. Dalam sebuah organisasi kekuasaan, hukum diperlukan untuk membatasi kekuasaan, melindungi hak-hak warga negara dan sekaligus sebagai sarana penyeimbang antarperbagai kepentingan yang ada.

Hukum adalah kesepakatan hidup bernegara yang harus mengakomodasi semua kepentingan. Hukum memang dapat digunakan untuk memberi kepastian bagi investasi, tapi hukum bukanlah budak investasi.

Pada konteks itu, dalam kondisi tertentu bisa jadi hukum akan membatasi investasi, karena hukum sedang menjalankan fungsi melindungi hak warga negara yang mungkin akan terdampak investasi. Pada saat yang sama, sangat mungkin pula hukum sedang difungsikan untuk melindungi kepentingan negara dan kepentingan publik dari sisi negatif masuknya investasi.

Agaknya, cara memandang hukum sepertin inilah yang agak luput dari Presiden Jokowi, sehingga tidak keliru jika muncul anggapan sang kepala pemerintahan tak hendak memikirkan kemajuan hukum.

Melihat cara pandang terhadap hukum serta ditambah pula tekanan politik yang teramat kuat, masihkah harapan menerbitkan Perpu untuk mengembalikan ruh KPK dapat ditumpangkan kepada sang Presiden? Kiranya itu hanyalah mimpi. Ia hanya mungkin menjadi nyata jika Presiden Jokowi dengan tanpa beban membangun mimpi baru, mimpi Indonesia makin bebas korupsi dengan lembaga pemberantasan korupsi yang kuat.

Kolom terkait

Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”

Bye Bye KPK…

KPK Mangkat? Lahul Fatihah…

Surat Penting untuk Pak Jokowi tentang Kematian KPK

Kala Horang Kayah Kongkow di Parlemen Kita

Khairul Fahmi
Khairul Fahmi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), pengajar Hukum Tata Negara, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.