Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan. Diperkirakan ada sekitar 17.000 pulau besar dan kecil (ada juga yang menyebut 13.000-an pulau). Logikanya, sebagai Negara Kepulauan, transportasi laut di negeri ini berperan penting karena konekvitas antarpulau, terutama antarpulau kecil, hanya mungkin dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan laut.
Pesawat terbang hanya menjangkau pullau-pulau besar yang tersedia infrastruktur bandara. Tapi angkutan laut selalu memiliki kemampuan untuk menembus daerah-daerah terisolasi, karena sifatnya amat fleksibel, dari hanya berupa perahu kayu yang muat di bawah 10 orang saja, sampai kapal besar seperti Kapal Tidar dan Kelud yang dioperasikan oleh PT Pelni yang hanya dapat sandar di beberapa pelabuhan tertentu saking besarnya kapal.
Namun, ironisnya, justru selama berpuluh tahun angkutan laut kita kurang mendapatkan perhatian karena fokus perhatian kita hanya pada angkutan darat dan udara. Angkutan darat sendiri yang lebih mendapatkan perhatian ekstra adalah kendaraan pribadi. Angkutan umum hampir semua wilayah di Indonesia yang pernah saya kunjungi mengalami hal yang sama, yaitu angkutan umumnya mati suri: hidup enggan, mati pun tidak mau.
Di masa Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kita memiliki ekspektasi tinggi terhadap pengembangan transportasi laut agar dapat menjadi tulang punggung transportasi nasional. Namun, rupanya ekspektasi tersebut juga harus diturunkan ketika beberapa regulasi yang terbit selama dua tahun terakhir, yaitu berupa Peraturan Presiden (Perpres) lebih fokus ke angkutan darat, khususnya perkeretaapian.
Ada sejumlah Perpres mengenai perkeretaapian yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir. Misalnya Perpres Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi yang kemudian direvisi dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.
Lalu Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta – Bandung; Perpres Nomor 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Provinsi Sumatra Selatan yang kemudian juga direvisi dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Provinsi Sumatera Selatan; dan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang di dalamya lebih banyak mengatur masalah jalan tol dan perkeretaapian.
Sedangkan regulasi untuk angkutan laut baru satu, yaitu Perpres Nomor 106 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di Laut. Dalam Pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/PSO) untuk Angkutan Barang di Laut adalah pelaksanaan pelayaran angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan sesuai dengan trayek yang telah ditetapkan, dengan tetap memperhatikan dan menjaga keselamatan serta keamanan pelayaran.
Pasal 2 (1) menjelaskan bahwa untuk menyediakan komoditas barang dan mengurangi disparitas harga bagi masyarakat, Pemerintah menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut. (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan semua jenis komoditas yang dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal, meliputi barang kebutuhan pokok dan barang penting sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang kebutuhan pokok dan barang penting. Perpres inilah yang menjadi dasar pelaksanaan tol laut.
Tidak sebandingnya regulasi yang mengatur masalah percepatan pembangunan infrastruktur transportasi darat, baik jalan tol maupun perkeretaapian dengan angkutan laut ini menunjukkan bahwa konsentrasi pemerintah untuk pembangunan insfrastruktur transportasi masih di darat, sementara angkutan laut dan perairan masih amat kurang, baik kuantitas maupun kualitas.
Kekurangan tersebut terlihat di daerah-daerah pinggiran (pulau-pulau kecil) yang tidak terjangkau oleh kapal besar seperti Pelni. Mereka itu biasanya menyelesaikan sendiri urusan transportasinya dengan mengadakan perahu-perau kecil atau yang lebih dikenal dengan sebutan perahu rakyat yang tentu saja aspek keselamatannya rendah. Sebab, selain tidak ada kontrol di pelabuhan menyangkut kapasitas, di perahu rakyat juga tidak tersedia baju pelampung atau alat keselamatan lainnya.
Tarif angkutan pun untuk kapal yang disediakan oleh masyarakat itu cenderung lebih mahal karena tidak mendapat subsidi dari pemerintah, seluruh biaya (dari investasi, operasional, sampai pemeliharaan sarana) ditanggung oleh pengusaha sendiri. Inilah ironinya layanan publik kita. Hal yang sudah riil menjalankan peran negara justru harus membiayai sendiri.
Memperlebar Kesenjangan
Implikasi etis dari kesenjangan regulasi yang lebih banyak memfasilitasi percepatan pembangunan perkeretaapian dan jalan tol itu adalah akan menimbulkan kesenjangan pembangunan secara keseluruhan antardaerah. Kebetulan proyek-proyek perkeretaapian menumpuk di Jakarta, Jawa Barat, dan Palembang saja, yang selama ini sudah merupakan daerah maju. Bahkan kawasan Jabodetabek dan Bandung menjadi daerah tujuan urbanisasi utama di Indonesia.
Dengan adanya berbagai fasilitas insfrastruktur transportasi yang dibangun—yang semakin memudahkan perjalanan—akan membuat orang makin betah tinggal di Jabodetabek dan Bandung, sehingga tetap menjadi magnet urbanisasi nasional. Alih-alih menyelesaikan masalah transportasi di perkotaan, sebaliknya hal itu justru menambah ruwet kondisi transportasi di Jakarta.
Makin bertambahnya jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek—karena fasilitas transportasi umumnya menjadi lebih baik—akan membuat kegiatan/usaha bisnis menumpuk di wilayah Jabodetbek dan Bandung. Maka, semakin sulit berharap ada pemerataan pembangunan ke daerah-daerah. Berbeda halnya bila yang dikembangkan itu adalah angkutan perairan (laut dan sungai) tentu efeknya akan meluas ke daerah-daerah remote area.
Membaiknya angkutan perairan hingga sampai ke daerah-daerah remote area akan memperlancar distribusi barang dan jasa, sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi di desa-desa atau di daerah-daerah kepulauan. Bila ekonomi masyarakat pinggiran dan kepulauan tumbuh dinamis, otomatis akan mengurangi arus urbanisasi ke kota-kota besar. Ini bertolak belakang dengan pengembangan moda transportasi di perkotaan yang justru akan menarik kaum urban lebih banyak lagi.
Saatnya pemerintahan Jokowi peduli pada nasib pelayaran rakyat yang selama ini melayani masyarakat kepulauan dengan tanpa subsidi dan dukungan fasilitas dari pemerintah. Saatnya pemerintah memberikan subsidi untuk angkutan air yang dijalankan oleh masyarakat karena kehadiran mereka jelas lantaran negara belum hadir.
Selain perlu memperhatikan angkutan air, pemerintahan Jokowi juga perlu peduli pada nasib transportasi pedesaan yang saat ini hampir semuanya mati suri karena kalah bersaing dengan sepeda motor. Angkutan pedesaan yang menghubungkan antarwilayah desa atau kecamatan amat diperlukan guna mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, sehingga desa dalam jangka panjang tidak terjebak pada kemacetan dan polusi kendaraan bermotor.
Jika desa juga terjebak pada kemacetan dan polusi kendaraan bermotor, keberadaannya tidak bisa lagi menjadi alternatif bagi orang kota untuk mencari udara segara dan menikmati lalu lintas yang lengang. Agar desa-desa tetap mampu menjaga kondisi lingkungan yang sehat, maka sejak dini perlu ada strategi pengembangan transportasi umum yang lebih terencana dan bersifat massal. Bukan begitu, Pak Jokowi?
Baca