Sudah berulang kali Presiden Joko Widodo mengingatkan para menterinya untuk tidak membuat gaduh di hadapan publik. Pemicunya aksi saling tuding, tuduh, dan sindir antar sejumlah menteri tempo hari yang dengan mudahnya muncul ke permukaan.
Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan batasan dan mekanisme agar semua perbedaan dan perdebatan di antara para menteri, secara kelembagaan maupun personal, untuk bisa diselesaikan seluruhnya dalam rapat kabinet. Namun, yang terlihat sejauh ini, teguran dan instruksi Presiden seolah tidak diindahkan oleh sebagian menteri pengisi Kabinet Kerja.
Kejadian berulang ini tentu saja telah mereduksi wibawa Presiden Jokowi tidak hanya sebagai pimpinan dari para menteri, tapi juga selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak heran Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga ikut merasakan dampaknya. Padahal, menteri merupakan pembantu Presiden dalam menjalankan pemerintahan yang seharusnya tunduk dan patuh terhadap apa saja instruksi dan arahan Presiden.
Perihal hubungan dalam pemerintahan, mulai dari presiden hingga menteri-menteri, baik secara struktural maupun koordinasi (antar menteri), seharusnya memahami fondasi etis sebagai pejabat publik. Sebab, baik presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri berada dalam satu kesatuan kerja kolektif menjalankan tugas pemerintahan yang sesuai dengan aturan hukum serta visi dan misi pemerintahan.
Idealnya, tidak dibenarkan adanya perbedaan sikap dan tindakan antara presiden, wakil presiden, dan para pembantunya dalam menyikapi sebuah persoalan atau dalam melahirkan kebijakan terkait berjalannya roda pemerintahan. Namun, dalam beberapa catatan yang ada tentang “buruknya” hubungan tersebut, sepertinya Presiden Jokowi patut memikirkan ulang tentang bagaimana komposisi dan pola kerja di kabinetnya.
Mengakhiri Perilaku Dekonstitusi
Secara konstitusional tata cara pengisian kabinet sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 UUD 1945 perubahan, yaitu: (1) menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (2) menyatakan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; dan (3) menyatakan bahwa setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perubahan secara tegas menyatakan bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan. Keberadaan menteri sebagai pembantu Presiden untuk membantu tugas-tugas pemerintahan dalam pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogatif Presiden.
Dengan demikian, sejatinya segala kegaduhan antara menteri-menteri di kabinet hari ini dapat dikatakan sebagai tindakan pengingkaran terhadap konstitusi atas posisi Presiden sebagai atasan dari menteri-menteri serta penghormatan atas posisi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kegaduhan yang terjadi berulang kali itu, jika dipahami sedari awal, sejatinya dapat terbaca. Karena komposisi kabinet yang dipilih oleh Presiden Jokowi, baik itu komposisi awal maupun setelah reshuffle pertama, dapat terlihat terlalu akomodatif dan kompromistis. Sifat akomodatif dan kompromistis tersebut jika ditelisik lebih dalam dapat terlihat tidak hanya secara latar belakang politik, tapi juga garis pemikiran (visi) para menteri yang beragam.
Maka, ke depan semestinya Presiden Jokowi harus menyadari dua hal penting untuk mewujudkan kabinet yang harmonis dan memperkuat kerja pemerintah. Pertama, sejak awal harus disadari oleh Presiden bahwa dalam sistem presidensial, Presiden memiliki kewenangan yang kuat dalam pemerintahan. Dengan demikian, sifat akomodatif dan kompromistis terhadap partai pendukung dengan memberikan jatah kursi menteri harus segera dihilangkan.
Keberadaan kader partai dalam kabinet hanya akan melahirkan dualisme kepemimpinan bagi para menteri yang juga kader partai. Sebab, selain harus mengikuti instruksi presiden, menteri yang berlatar belakang politisi tentu juga akan mendapatkan instruksi khusus dari partai. Inilah yang bisa mengganggu iklim kerja dalam kabinet/pemerintahan.
Jadi, sepanjang Presiden Jokowi memahami kewenangan dan posisinya dalam sistem presidensial, barter kursi menteri karena adanya ketakutan akan dukungan politik di DPR untuk melahirkan kebijakan hingga ancaman impeachment pun seharusnya bukan menjadi alasan. Dalam konteks ini, seperti ditegaskan Richard Neustadt (1960:45), Presiden memiliki posisi tawar yang sangat kuat. Sebab, baik DPR maupun Presiden sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat.
Memenangkan hati rakyat jauh lebih penting, apalagi memiliki pengaruh besar, dan tentu bermanfaat bagi bangsa dan negara daripada memenangkan segelitir kelompok politik atau politisi.
Kedua, hal penting yang perlu disadari oleh Presiden Jokowi adalah bagaimana menempatkan orang-orang yang memiliki garis pemikiran atau visi yang sama. Sebab, ini tidak hanya akan menentukan keharmonisan dalam kabinet, tapi juga akan menentukan bagaimana membangun ritme kerja (efektivitas) serta mengukur tingkat keberhasilan dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan visi dan misi pemerintahan.
Merujuk pengisian jabatan menteri di Amerika Serikat, misalnya, presiden yang berasal dari Partai Demokrat dengan garis pemikiran yang moderat tentu tidak akan pernah mengangkat menteri dengan garis pemikiran yang konservatif. Sebab, pemikiran konservatif merupakan corak dari Partai Republik. Hal tersebut juga akan berlaku sebaliknya jika yang menjadi presiden berasal dari Partai Republik.
Kini kita menunggu apa tindakan yang akan diambil Presiden Jokowi setelah kegaduhan kembali muncul antar menteri terkait dengan proyek pengembangan Blok Masela. Juga beberapa waktu sebelumnya ketika partai-partai yang dulu mengaku sebagai oposisi kini berbalik menyatakan mendukung pemerintahan.
Apakah Presiden Jokowi akan semakin akomodatif dan kompromistis atau secara perlahan maupun tegas mengambil sikap? Padahal, sekali lagi, posisi dan kewenangan Jokowi dalam sistem presidensial sangat kuat.