Minggu, November 24, 2024

Jokowi dan Akhir Pemberantasan Korupsi

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
- Advertisement -
Presiden Joko Widodo (kanan) menyalami Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) usai pengucapan sumpah jabatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/12). Agus menjadi Ketua KPK setelah memperoleh 53 suara dari DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan dan menggantikan pimpinan KPK sebelumnya yang telah purna tugas. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15
Presiden Joko Widodo (kanan) menyalami Ketua KPK Agus Rahardjo (kiri) usai pengucapan sumpah jabatan di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/12). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15

Tak lama lagi tahun 2015 bakal berakhir. Masa ini adalah masa yang berat bagi pemberatasan korupsi. Penggembosan dilakukan silih berganti. Kejadian di seputar Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dibaca sebagai referensi untuk mengetahui bentuk pelemahan pemberantasan korupsi.

Usaha untuk mengerdikan KPK diambil melalui jalan yang seakan-akan konstitusional. Siapa pun paham, pada saat ini KPK membutuhkan penyadapan, penyidik independen, dan tak perlu perangkat surat penghentian penyidikan. Undang-undang mengaturnya demikian. Tetapi, Dewan Perwakilan Rakyat ngotot ingin mengubah tiga kebijakan itu. Padahal, tiga sarana tersebut menyumbang sangat besar atas jihad melawan keserakahan kekuasaan.

Cara paling hangat yang berpotensi menjauhkan komisi antirasuah dari ghirah perang terhadap korupsi adalah menempatkan persona yang berbeda visi dengan komisi. Sejarah mencatat KPK didesain sebagai antitesis dari lembaga pemerintah yang bertugas menindak korupsi. Hukum menyatakan, “…bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.”

Sebagai antitesis, maka KPK setidaknya harus ditempatkan dalam dua porsi. Pertama, ia menjelma sebagai lembaga yang memiliki kemampuan khusus, istimewa, di atas rata-rata, dalam pemberantasan korupsi. Ingat, hanya dalam garis pemberantasan korupsi dan kejahatan yang terkait. Kedua, KPK harus murni di tingkat pimpinannya dari unsur lembaga penegak hukum konvensional pemberantasan korupsi. Sekali lagi, hanya dalam kerangka pemberantasan korupsi.

Label antitesis KPK semestinya dipahami oleh semua orang. Asumsi bahwa KPK adalah sama dengan lembaga penegak hukum lainnya sepertinya kurang tepat. Ada baiknya dibuka kembali Memory van Toelichting atas pembentukan undang-undang tentang KPK. Negara bersepakat untuk perang melawan korupsi. Alat kelengkapan negara yang diwakili oleh Presiden dan DPR kala itu kemudian menyusun kerangka hukum sebagai acuan bagi perang baratayudha.

Desain KPK tidak memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, melewati “jalan tol” dalam melakukan penyadapan, adalah sarana yang diamini untuk mendukung pemberantasan korupsi. Semangatnya satu, Indonesia harus bersih dari korupsi.

Apabila saat ini kewenangan non-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) serta penyadapan KPK dipersoalkan oleh anggota Dewan, boleh dibilang mereka sedang lupa sejarah. Atau lebih parahnya sedang melakukan penghapusan atas sejarah pemberantasan korupsi—dan oleh karenanya juga penghapusan atas sejarah kelahiran KPK.

Andai ada cibiran, KPK—dan para pendukungnya—terlalu cemen, mengemis-ngemis minta tidak diganggu, saya pikir, cibiran itu adalah bentuk penghinaan terhadap akal sehat. Semua orang wajib turut serta dalam pemberantasan korupsi. Hukum mengaturnya demikian.

Suara keras rakyat terhadap usaha yang melemahkan KPK, baik melalui revisi undang-undang atau kriminalisasi subjek di KPK, bukanlah wujud rasa rendah diri, tetapi ia hasil kristalisasi dari impian dan harapan bagi Indonesia yang bebas serta bersih dari korupsi.

Sebaliknya, siapa pun yang memiliki akal waras akan berprasangka, kegiatan terbuka atau tertutup yang bersikukuh ingin mengubah Undang-Undang KPK saat ini—dengan memasukkan kewenangan SP3, mengutak-atik sistem penyadapan KPK—sedang ditujukan untuk melemahkan KPK. Operasi sistemik dijalankan untuk menutup usia pemberantasan korupsi. Segala jalan kalau bisa ditempuh.

- Advertisement -

Tak ada lain, jika memang tak mempunyai hasrat untuk menutup usia pemberantasan korupsi, apa susahnya menghilangkan niat merevisi Undang-Undang KPK? Perubahan undang-undang bukan barang haram. Ia suatu prosedur yang dilindungi oleh konstitusi. Namun, jika perubahan undang-undang, apalagi mengatasnamakan konstitusi, memuat niat jahat untuk menghentikan laju pemberantasan korupsi, maka wajib dihadang. Produk hukum yang sehat formilnya, tetapi sakit materinya, tidak boleh diterapkan. Ia hanya akan menyebarkan kerusakan belaka.

Paket pimpinan KPK periode 2015-2019 dianggap oleh publik sebagai paket rasa DPR. Ini ungkapan peyoratif yang susah dihindarkan. Mengingat rekam jejak serta pernyataan sebagian pimpinan dalam fit and proper test yang kurang mengesankan jika dihubungkan dengan gerakan pemberantasan korupsi. Tak elok kiranya seorang pimpinan KPK mendukung perubahan undang-undang tentang lembaga antikorupsi. Ini harus menjadi catatan tebal. Pimpinan KPK harus membuktikan bahwa persepsi publik keliru.

Ada tiga perihal yang dapat ditempuh oleh pimpinan KPK untuk membalikkan pandangan masyarakat. Pertama, tidak mendukung perubahan Undang-Undang KPK untuk saat ini, baik secara implisit maupun eksplisit. Haram hukumnya melempar pernyataan yang mendorong revisi UU KPK. Di samping itu, hal demikian demi tetap menjaga tertutupnya celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum yang benci dengan KPK. Bayangkan, apa jadinya kalau pimpinan vis a vis dengan komponen lain di dalam lembaga pemberantas korupsi? Pasti jadi tontonan yang jelek sekali.

Kedua, pimpinan KPK tidak boleh menghambat penyelidikan dan penyidikan kasus besar. Dugaan korupsi di rumpun bantuan bank likuiditas Bank Indonesia, Bank Century, dan kasus besar lainnya harus tetap jalan. Tantangan berat tampaknya akan muncul dari kasus korupsi yang berkaitan dengan aparat penegak hukum. Namun jangan khawatir, rakyat berada di belakang pimpinan KPK sepanjang niatnya sama dengan rakyat.

Bersama dengan itu, pimpinan KPK—dan tentunya juga subjek lainnya yang ada di internal KPK—harus membuat barikade dari apa pun yang mengacaukan integritasnya, baik yang berasal dari institusi lawasnya atau dari kekuatan politik dan ekonomi.

Ketiga, KPK adalah harapan yang masih menyala. Jagalah. Jangan biarkan api perlawanan meredup supaya pemberantasan korupsi tidak tutup usia bukan pada waktunya. Bukan begitu, Pak Jokowi?

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.