Minggu, November 24, 2024

Tertawalah Sebelum Jerman Mentertawakanmu

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.
- Advertisement -

Tak apa, tertawalah. Tertawakanlah Jerman. Itu kesempatan langka. Kapan lagi kita bisa melakukannya?

Jika Anda pendukung Argentina, tertawalah dengan lega, sebab melihat pemain terbaik dunia yang gagal di depan seorang sutradara iklan itu menyesakkan—dan jadi tim unggulan yg akan pulang duluan, dan sendirian, itu menyeramkan. Jika Anda fans Inggris, tertawalah dengan lepas. Ini saatnya Anda bicara tentang sepakbola dengan pendukung Jerman—dengan senyum mengejek. Jangan lupa, tambahkan bahwa sementara Jerman ter-Inggris-kan, Inggris justru menang dengan cara Jerman—sundulan jarak dekat yang dimulai dari sepak pojok di menit penghabisan.

Jika Anda penggemar Belanda, dan berjanji kepada diri sendiri untuk tak usah menonton Piala Dunia, ini saatnya Anda keluar kamar menuju ruang tengah, atau bergabung dengan orang-orang di warung-warung. Negeri pencuri sepeda itu akhirnya kecurian gol. Rayakan saja kekalahan Jerman itu seakan Belanda juara.

Jika Anda tak begitu punya sentimen tim-tim nasional, tertawalah jika Anda adalah seorang pembenci Madrid atau anti-Juve. Tak sering kita melihat, gelandang-gelandang cemerlang macam Kroos dan Khedira dikadali oleh Miguel Layun, yang kalian mungkin tak ketahui di mana dia bermain. Atau, jika Anda punya urusan yang belum selesai dengan Pep Guardiola, ini saatnya untuk menyamakan kedudukan. Joshua Kimmich, yang katanya berlian temuan Pep, Philip Lahm masa depan itu, bermain begitu buruknya. Atau, sebaliknya, jika Anda seorang fanatikus Pep, tertawalah untuk keangkuhan Joachim Low yang tak membawa serta Leroy Sane, pemain muda paling cemerlang di Man City, dan lebih memilih raksasa renta macam Mario Gomez.

Anda juga berhak tertawa jika yang Anda tahu bahwa Jerman adalah juara bertahan, dan karena itu mesti dikalahkan. Bahkan, jika Anda tak tahu kenapa mesti mentertawakan Jerman, ikut tertawa saja bersama kami. Tertawa itu sehat. Dan mentertawakan Jerman itu mahal.

Ayo, tertawalah. Sebelum, tiba-tiba, di ujung turnamen, mereka mentertawakan kita.

***

Kekalahan Jerman di pertandingan pertama Piala Dunia terakhir terjadi pada 1982—hitung sendiri berapa lama mereka tak mengalami ini. Itulah kenapa saya menyebut ini momen langka. Dan momen langka ini biasanya tak bertahan lama, jadi mari manfaatkan.

Asal kalian tahu, mereka memulai semua ini, semua piala, segala kesombongan, segenap kebesaran, sejarah, dan mitos ini, dari sebuah kekalahan.

Mereka berangkat ke Piala Dunia 1954 Swiss dengan debu reruntuhan kekalahan perang di bawah sepatu Adidas mereka. Dan arang di muka, sebagai pecundang Perang Dunia II. Dan kekalahan 8-3 di babak grup, dari Hungaria, Brazil masa itu. Dan tiba-tiba saja mereka sampai di final, menghantam tim yang sebelumnya membantai mereka.

- Advertisement -

Setelah itu, knop sejarah sepakbola tak bisa diputar balik lagi.

Dan tahukah Anda bahwa trofi yang mereka rebut di Brazil empat tahun lalu, dengan sebelumnya membantai tuan rumah Brazil 1-7 di semifinal, diawali oleh rasa malu—dan ditertawakan—sepuluh tahun sebelumnya.

Raphael Honigstein, penulis buku Das Reboot (2015), bertutur bahwa piala di Brazil itu dimulai dari sebuah pertandingan yang berakhir 0-0 dengan Islandia pada 2003. Legenda Jerman (Barat), Gunter Netzer, dalam sebuah wawancara dengan sebuah radio menyebut penampilan Jerman itu sebagai “titik terendah” sepakbola Jerman. Rupanya, Rudi Voller, pelatih Jerman saat itu, ada di studio sebelah, dan ia mendengar komentar buruk itu. Ia masuk, melabrak Netzer, dan dua legenda Jerman itu bertengkar hebat.

Ketika di Euro 2004 Portugal mereka gagal total, semua orang di sepakbola Jerman yakin bahwa sepakbola mereka memang menyimpan persoalan.

Sejak itu, akademi-akademi kepelatihan didirikan di mana-mana. Demikian juga dengan sistem pembinaan usia muda. Dan belum lagi sepuluh tahun, semua orang yang tahu sepakbola, tahu apa yang mereka hasilkan. Bukan hanya trofi piala dunia, yang terakhir mereka dapatkan 24 tahun lalu di Italia, tapi juga deretan pelatih kelas atas, dan ratusan pemain bintang dan akan jadi bintang. Sebagian besar pemain yang menghantam Brazil 1-7 itu itu adalah pemain-pemain yang dihasilkan oleh kegelisahan dan rasa malu sedekade sebelumnya.

Jadi, daripada mereka keburu bangkit dan mentertawakan kita, mari kita tertawakan mereka selagi mereka kalah.

***

Josh Kimmich bilang kepada Guardian, Jerman akan sulit untuk memenangkan Piala Dunia dua kali berturut-turut. Sebastian Prodl, bek Austria yang turut mengalahkan Jerman dalam ujicoba beberapa hari sebelum Piala Dunia menyebut, Jerman tak siap secara fisik. Sementara Thomas Hitzlsperger, mantan pemain timnas Jerman, mengatakan bahwa setelah kekalahan dari Meksiko, pertandingan kedua melawan Swedia menjadi pertaruhan terbesar Joachim Low di sepanjang karier kepelatihannya di timnas.

Terdengar suram, ya? Jangan percaya. Mereka hanya sedang berkamuflase. Mereka akan seperti yang sudah-sudah: kembali dari kekalahan, dan kemudian menjadi pemenang di pengujung kejuaraan; memulai dari ditertawakan, dan kemudian mentertawakan semua lawan.

Jadi, tertawakanlah Jerman selagi bisa. Sebelum mereka tiba-tiba ada di final, kesulitan, lalu menemukan momen menentukan di menit-menit krusial. Tertawakanlah Jerman sebelum di final nanti tim Anda akan dihancurkan oleh sebuah gol buruk dari seorang pemain cadangan yang bahkan namanya sulit kita eja.

Saya tentu saja berharap sebaliknya. Tapi jangan lupakan: mereka Jerman.

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.