Duka datang dari Tanjung Balai. Di kota pelabuhan yang sempat berkembang pesat di masa Hindia Belanda ini, ratusan orang mengamuk seketika. Masalah bermula ketika salah seorang perempuan keturunan Tionghoa menegur pengurus masjid setempat untuk mengecilkan volume pengeras suaranya. Saat itu masuk waktu salat Isya, 29 Juli 2016.
Tampaknya pihak tertegur tidak terima lalu memprovokasi masyarakat setempat, yang mayoritas Muslim, untuk menuntut balas rasa tersinggungnya. Hasilnya massa mengamuk dan merusak obyek-obyek yang bersinonim dengan Tionghoa seperti vihara, klenteng, serta beberapa kendaraan pribadi sebagai pelampiasan kekesalan. Kerusuhan atas dasar konflik etnis dan agama itu akhirnya dapat dipadamkan setelah pihak berwajib datang melerai. Beberapa provokator diamankan.
Itulah ciri masyarakat kita, yang memang malas mencari tahu sebab-musabab, mudah latah, doyan kekerasan. Ditambah pandai memendam amarah, juga menghempaskannya tanpa terduga. Bahkan aksi mengamuk ini sudah dikenal luas di dunia literasi internasional dalam Bahasa Inggris dengan kata “amok”. Mungkin karena fenomena lokal ini begitu membekas bagi bangsa Inggris kala mereka menjajah dunia Melayu.
Psikolog telah menetapkan “amok” sebagai bentuk gangguan kejiwaan, meski masyarakat kita masih kerap mengkambinghitamkan masuknya makhluk halus ke dalam tubuh sebagai alasan. Di Indonesia, kasusnya sudah begitu sering terjadi, baik dalam sejarah ataupun kontemporer. Saya pikir “amok” adalah elemen budaya kita, yang negatif tentunya.
Orang-orang Eropa yang berdagang di dunia Melayu pada abad ke-16 sudah melaporkan soal “amok”. Penjelajah Portugis, Duerte Barbosa, pada tahun 1518 menulis bahwa, “ada beberapa orang Jawa yang berkeliaran di jalan dan membunuh sebanyak mungkin orang yang mereka temui. Hal ini disebut dengan Amuco.”
Jean-Baptiste Tavernier, pedagang permata asal Prancis yang berlabuh di Banten tahun 1648, mencatat hal yang kurang lebih sama (jouit a Moqua). Dalam magnum opus Thomas Stamford Raffles, The History of Java, kata “amok” juga muncul beberapa kali.
Bagaimana “amok” terjadi? Kita bisa kembali ke Tanjung Balai pada 2 November 1918. Sebagaimana dilaporkan koran De Sumatra Post, seorang pria Jawa bersenjatakan klewang mengamuk di jalanan dan menyebabkan satu orang tewas serta 11 orang lain terluka sebelum dapat ditangkap.
Si pelaku yang dalam kesehariannya merupakan pribadi yang tenang mengaku gelap mata setelah mendengar kabar kematian orang tuanya di Jawa. Dirundung rasa sedih, si pelaku tak bisa mengendalikan diri dan berusaha membunuhi orang untuk melampiaskan amarahnya.
Beda dengan “amok” personal. “Amok” massa yang, selain meninggalkan korban terbunuh atau luka-luka, biasanya juga merusak sistem atau tatanan masyarakat yang berlaku.
Laurens van der Post, prajurit tentara Sekutu berkebangsaan Afrika Selatan yang sempat masuk kamp interniran di Sukabumi dan Bandung kala Jepang menguasai Hindia Belanda menggambarkan potensi meledaknya masyarakat Indonesia. Mengambil masyarakat Jawa dan Sumatra sebagai contohnya, mereka, tulis van der Post, adalah orang-orang paling sopan yang pernah ia temui. Mereka sangat manut, kalem, dan lemah lembut.
“Namun terkadang hal-hal mencemaskan terjadi. Mereka yang selama hidupnya mematuhi tata krama, yang selalu melaksanakan tugas yang diperintahkan dengan sempurna, tiba-tiba merasa tidak mau melaksanakannya lagi. Dalam semalam mereka memberontak terhadap kebaikan dan tanggung jawabnya,” tulisnya pada tahun 1955 dalam majalah Encounter volume 5.
Dan memang, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 memprovokasi amok massa terbesar yang pernah terjadi di negeri ini, dan mungkin satu-satunya yang secara umum dapat kita tolerir.
Tanjung Balai juga bergolak di masa revolusi kemerdekaan. Pada 3 Maret 1946, di tengah deru semangat revolusi kemerdekaan dan provokasi kaum komunis, ribuan massa kalap dan menyerbu istana Sultan Asahan di Tanjung Balai. Istana dijarah, penghuninya dihajar, dan dibunuh.
Pelaksana tugas Gubernur Sumatera Dr. Mohammad Amir menyanjung amuk massa sebagai “revolusi sosial luar biasa untuk mengganti pemerintahan secara radikal, sesuai dengan keinginan rakyat,” tulis Mary Margaret Steedly dalam Rifle Reports: A Story of Indonesia Independence.
Huru-hara patriotik di Tanjung Balai hanyalah satu episode dari narasi besar yang kemudian sejarawan Indonesia sebut sebagai Revolusi Sosial Sumatera Timur. Para buruh-buruh perkebunan mengamuk dan meghabisi elemen-elemen feodal tanpa bisa dikendalikan oleh Tentara Republik Indonesia. Akibatnya, kekuasaan kaum bangsawan di Sumatra Timur musnah. Salah satu korban tewas ialah penyair dan pahlawan nasional Indonesia, Amir Hamzah, yang masih berkerabat dengan Sultan Langkat.
Tidak ada tempat bagi revolusi sosial yang demokratis bagi masyarakat kita yang berkepala panas. Semangat kemerdekaan telah melenceng. Amok massa membuat revolusi memakan anaknya sendiri.
Sejarah berulang. Kasus Tanjung Balai yang belum lama terjadi hanyalah contoh kecil dari kasus-kasus serupa di berbagai daerah Indonesia. Inilah buah yang kita petik kala intoleransi dan kegagapan mengedepankan nurani dalam memecahkan konflik terus dipelihara mereka yang memegang kuasa.
Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan berkata bahwa keberagaman adalah kekuatan bangsa. Namun saya melihat kekuatan tersebut telah menjadi aset salah urus yang bertransformasi menjadi bom waktu konflik di tengah-tengah masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa mengamuk adalah bagian dari sistem kehidupan kita. Saya rasa bersikap kaget terhadap kasus Tanjung Balai adalah sebuah kemunafikan karena kita memang sadar di balik keramahtamahan masyarakat Indonesia, terpendam benih-benih kemarahan yang bisa meledak kapan saja. Kapan kita mau berubah?