Islamisasi Kepulauan Nusantara: Peran Guru Sufi
Muslim pedagang dan pengembara sudah ada di pelabuhan Sriwijaya sejak abad 7-8, tetapi tidak ada bukti mereka aktif melakukan Islamisasi.
Momentum Islamisasi warga lokal mulai terjadi sejak paroan kedua abad 12 dan seterusnya. Penyiar utama Islam adalah para guru sufi yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Islam Kepulauan Nusantara bersumber dari banyak ‘mata air’—terbesar Arabia.
Islamisasi: Raja dan Guru Sufi
Islamisasi massal bermula ketika guru Sufi berhasil melakukan konversi raja lokal ke dalam Islam yang kemudian diikuti para warga. Raja-raja ada menjadikan kerajaannya sebagai pusat Islamisasi (keraton-centered Islamization).
Istana atau keraton juga menjadi pusat keilmuan bersama ulama (fuqaha–mutasawwifin). Raja dan ulama (fuqaha–mutasawwifin) menjalin patron-client relationship.
Corak Islam Sufi
Guru sufi agen Islamisasi memperkenalkan Islam inklusif dan akomodatif. Bagi guru sufi, yang penting raja dan warga mengucapkan dua kalimah syahadah, walau mereka masih menjalankan kepercayaan dan praktek pra-Islam.
Guru sufi pada awalnya bisa menerima sinkretisme Islam dengan kepercayaan dan praktek spiritualitas lokal. Para guru sufi dalam perjalanan sejarah membawa Islam Kepulauan Nusantara lebih dekat pada ortodoksi Islam.
Kebangkitan Jaringan ‘Ulama: Sufi-Fuqaha
Jaringan ‘Ulama global yang berpusat di Makkah dan Madina mulai menemukan momentum sejak abad 15 dan selanjutnya.
Inti jaringan ‘ulama adalah sejumlah ulama (ahli berbagai ilmu Islam khususnya fiqh dan tasawuf) yang datang dari berbagai bagian Dunia Muslim yang kemudian menetap di Haramayn, membuat Jaringan ulama kosmopolitan.
Jaringan-jaringan ulama terbentuk dari hubungan guru-murid, murid-murid dan guru-guru melalui isnad keilmuan dan silsilah tarekat.
Inti Jaringan Ulama Abad 17: Fuqaha dan Sufi
Inti jaringan ulama yang solid terbentuk di Makkah dan Madina sejak abad 17. Mereka mencakup Syaikh Sibghat Allah al-Hindi (w. Medina 1606), Ahmad al-Shinnawi al-Misri (w. 1619) dan Ahmad al-Qushashi al-Madani (w. 1661).
Inti terpenting jaringan ulama abad 17 adalah Ibrahim al-Kurani al-Kurdi (w. 1690). Al-Kurani diklaim sebagai mujaddid abad 10H/17M; dia menjadi guru utama murid Jawi.
Semua ulama ini adalah ahli ilmu eksoterik (fiqh atau tafsir) sekaligus esoterik (tasawuf). Mereka ulama fiqh dan tasawuf (sufi) sekaligus dan mursyid tarekat.
Inti Jaringan Ulama Abad 17: Jaringan Tarekat
Ulama Sufi dan Ahl al-Tariqah: Sibghat Allah al-Hindi, terutama Tarekat Naqsybandiyah, Syattariyah, Khalwatiyah. Ahmad al-Shinnawi al-Misri, gelar ‘Bahr al-Tariqah’, terutama Tarekat Syattariyah. Ahmad Qushashi al-Madani, terutama Tarekat Naqsybandiyah dan Syattariyah.
Kemudian Ibrahim al-Kurani al-Kurdi, gelar ‘hujjat al-Sufiyyah’, terutama Tarekat Qadiriyah, Naqsybandiyah, Syattariyah. Taj al-Din al-Hindi (w. 1052/1642), terutama Tarekat Naqsybandiyah dan Syattariyah. Lalu Sulayman al-Maghribi, pendiri ribath Sufi di Makkah, terutama Tarekat Qadiriyah.
Jaringan ‘Ulama’ dan Komunitas Jawi
Istilah ‘Ashab al-Jawiyyin’ dan/atau ‘Jama’ah al-Jawiyyin’ telah digunakan sumber-sumber Arab sejak abad 16, merujuk kepada setiap dan seluruh Muslim yang datang dari Kepulauan Nusantara.
Komunitas Jawi terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan sejak abad 17 dan seterusnya. Murid Jawi yang kemudian kembali ke Kepulauan Nusantara sebagai faqih dan sufi sekaligus memainkan peran penting dalam islah dan tajdid.
Murid/Ulama Jawi dalam Jaringan Ulama Abad 17: al-Raniri
Nur al-Din al-Raniri (w. 1068H/1658M; keturunan Aydarusi Yaman. Ia belajar di Yaman dan Haramayn kemudian mengembara ke Randir, India.
Dari Randir, al-Raniri mencapai puncak karir di Aceh—diangkat sebagai Mufti. Sosok ulama penulis prolifik dalam bidang fiqh ibadah (al-Sirat al-Mustaqim dalam bahasa Melayu), tasawuf, kalam, sejarah (Bustanus Salatin). Mengikut ‘Wujudiyah Muwahhid’—sisi lain ‘Wujudiyah Mulhid’. Mursyid Tarekat Rifa’iyah, Aydarusiyah, dan Qadiriyah.
Murid/Ulama Jawi dalam Jaringan Ulama Abad 17: al-Sinkili
Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105/1615-1693) asal dari Aceh. Ia belajar 19 tahun di Yaman dan Haramayn dan kembali ke Aceh menjadi ‘Kadi Malikon Adil’.
Penulis prolifik dalam bidang fiqh (mu’amalah ‘Mir’at al-Tullab berbahasa Melayu), tafsir (Tarjuman al-Mustafid, 30 juz berbahasa Melayu) tasawuf. Merestui perempuan menjadi penguasa (sultanah). Mursyid Tarekat Syattariyah, Qusyasyiyah, Naqsybandiyah dan Qadiriyah.
Murid/Ulama Jawi dalam Jaringan Ulama Abad 17: Yusuf al-Maqassari
Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111H/1627-99) adalah teman sesama murid dengan Abdurrauf as-Singkili—belajar dengan guru-guru yang sama. Ia menghabiskan waktu 28 tahun belajar di berbagai tempat di Yaman, Syria dan Haramayn. Banyak menulis karya terutama dalam bidang tasawuf.
Mursyid Tarekat Khalwatiyah, Naqsybandiyah. Kembali dari Haramayn, al-Maqassari diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa, Banten; bersama Sultan berperang melawan Belanda.
Kemudian tertangkap di Cirebon, diasingkan ke Srilanka dan akhirnya ke Cape Town, menjadi ‘Founder of Islam in South Africa’.
Murid/Ulama Jawi dalam Jaringan Ulama-Jaringan Sufi Abad 18
‘Abd al-Samad al-Palimbani (l, 1116/1704); menetap di Makkah dan penafsir utama tasawuf al-Ghazali; mursyid Tarekat Sammaniyah.
Muhammad Arsyad al-Banjari (1122-1227/1720-1812); belajar di Haramayn dan Kairo, kemudian kembali ke Banjarmasin; penulis kitab tasawuf Kanzul al-Ma’rifah dan fiqh Sabil al-Muhtadin; musyid Tarekat Sammaniyah.
Muhammad Nafis al-Banjari (l. 1148/1735); belajar di Makkah, menulis kitab tasawuf al-Durr al-Nafis.
Daud bin ‘Abd Allah al-Patani (l. circa 1153/1710), belajar di Aceh dan Haramayn, menetap di Makkah, penulis prolifik, mursyid berbagai tarekat.
Murid/Ulama Jawi dalam Jaringan Ulama-Jaringan Sufi Abad 19:
- Ahmad Rifa’i Kalisalak (lahir Kendal 1787, wafat Manado 1871).
- Ahmad Khatib al-Sambasi (lahir di Sambas 1803, wafat di Makkah 1289/1875).
- Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Banten 1230/1813, wafat di Makkah 1314/1897.
- Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lahir di Kototuo, 1276/1860 wafat di Makkah 1334/1916.
- Saleh Darat al-Samarani (lahir Jepara 1820 wafat Semarang 1903).
- Mahfuzh al-Termasi (1868-1920).
- Hasan Mustafa Bandung (1852-1930).
Jaringan Ulama Sufi Abad 17-dst: Karakter Utama
Rekonsiliasi syari’ah/fiqh dengan tasawuf—tasawuf menjadi bagian integral tradisi dan otodoksi Islam. Meninggalkan praktek tasawuf/Sufistik antinomian eksesif yang cenderung ekstatik.
Membatasi tasawuf falsafi spekulatif dan teoritis yang cenderung bisa membuat pelakunya mengabaikan syari’ah/fiqh. Menekankan tasawuf akhlaqi untuk awam dan tasawuf falsafi hanya untuk ‘khas al-khawas’.
Jaringan Ulama Sufi Abad 17-dst: Neo-Sufisme
Neo-Sufisme mementingkan kajian hadits untuk menggali Sunnah Rasulullah. Neo-Sufisme menekankan kepengikutan pada syariah/fiqh untuk memastikan tasawuf tetap berada dalam ortodoksi.
Neo-Sufisme menekankan aktivisme dalam kehidupan sehari-hari—sufi terlibat dalam sosial-politik, perlawanan/jihad melawan penjajah.
Neo-Sufisme adaptif menghadapi tantangan perubahan seperti modernisasi, sekularisasi dan globalisasi dengan berbagai dampak disruptifnya.
Disampaikan pada Seminar Internasional Milad Pondok Pesantren Suryalaya 115 ‘Tasawuf, Globalisme dan Tantangan Modernitas’ Tasikmalaya, 25 Agustus 2020
Kolom Terkait
Fiqh Siyasah Indonesia, Siasat Politik Kontemporer