Kamis, April 25, 2024

Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

Kristologi ialah hal-hal terkait Yesus Kristus, sebagaimana diimani umat Kristiani. Dalam tulisan ini, saya akan ilustrasikan bagaimana pemahaman saya tentang kristologi yang digambarkan al-Qur’an berkembang dari satu fase ke fase berikutnya. Sebelum dimulai, saya jawab dulu kemungkinan keberatan: Kenapa orang Muslim ikut membicarakan keyakinan Kristen?

Mencoba memahami keyakinan orang atau kelompok lain merupakan sesuatu yang terpuji. Saat ini tak ada manusia yang bisa hidup terisolasi dari kelompok dengan keyakinan dan kepercayaan berbeda. Memang, dari dulu dunia tidak pernah homogen. Heterogenitas budaya merupakan keniscayaan. Tapi, sekarang, keragaman itu makin dekat dengan lingkungan dan rumah kita. Dan kita tak bisa lagi menghindar membicarakan kenapa orang/kelompok lain meyakini apa yang mereka yakini.

Lagi pula, jutaan ilmuwan Kristen telah membicarakan dan mendiskusikan Islam. Banyak buku telah mereka tulis. Itu fakta. Justru yang jadi masalah ialah sedikitnya minat kaum Muslim untuk mempelajari agama lain, termasuk Kristen. Dapatkah Anda tunjukkan nama-nama sarjana Muslim yang mendalami agama Kristen sebagai disiplin keilmuannya? Saya kesulitan menyebut satu pun.

Karena itu, saya selalu mendorong mahasiswa Muslim untuk mempelajari agama lain secara serius. Jangan merasa tahu, padahal tidak melakukan studi. Saya sering menjumpai ironi: Orang yang tidak mempelajari cenderung berpenampilan sok tahu dan suka menyalahkan yang lain, sementara yang tekun menelaah malah merasa tidak tahu apa-apa. Rendah hati.

Sungguh benar pepatah Arab “al-nasu a‘dau ma-jahilu” (manusia cenderung memusuhi apa yang tak diketahuinya). Maka, jangan berhenti belajar dan memahami. Kadang, seperti yang saya alami, makin luas bacaan makin terbuka kemungkinan untuk merevisi pandangan kita sendiri.

Fase 1: Pengetahuan Awal

Sebelum mempelajari teologi Kristen secara serius, saya menganggap apa yang saya baca dari al-Qur’an, Kitab Suci saya, adalah keyakinan Kristen sebagaimana diimani oleh umat Kristiani sendiri. Al-Qur’an menjadi sumber informasi satu-satunya tentang keimanan Kristen. Isa adalah seorang Nabi, bukan Tuhan. Umat Kristiani bukan hanya menuhankan Isa, melainkan juga menyembahnya sebagai satu dari tiga Tuhan.

Kesalahan Kristen ialah menganggap Allah sebagai Almasih, putra Maryam. Dari al-Qur’an saya menyimpulkan bahwa Trinitas yang diyakini umat Kristiani terdiri dari Allah, Maryam, dan Isa. Dari gambaran itu, saya berkesimpulan ajaran Kristen itu syirik.

Setelah mempelajari sejarah dan teologi Kristen, saya mulai menyadari ternyata iman Kristen tidak sama dengan yang digambarkan al-Qur’an. Saya melihat gambaran Isa dalam al-Qur’an dan Yesus dalam Perjanjian Baru begitu berbeda. Dan perbedaan itu semakin jelas ketika belajar teologi Kristen.

Fase 2: Masalah Sumber

Keingintahuan tentang apa yang sebenarnya diyakini umat Kristiani semakin kuat. Saya mulai membaca sejarah panjang asal-usul teologi Kristen dan perdebatan yang mengitari terbentuknya ortodoksi (keyakinan yang dianggap benar).

Mulai muncul pertanyaan soal sumber dari mana pengetahuan tentang Kristen seharusnya diperoleh. Saya mulai mengenal pendekatan historis dan kaidah-kaidah yang digunakan oleh historian/sejarawan.

Awalnya muncul dilema dan gejolak batin. Al-Qur’an itu kalam Ilahi dan informasi yang disajikannya pasti benar. Pada saat yang sama, saya tahu apa yang digambarkan Kitab Suci ini tidak seperti yang diyakini orang Kristen sendiri. Misalnya, tak ada orang Kristen yang mengimani tiga Tuhan, atau menganggap Maryam sebagai salah satu anggota Trinitas. Dari sumber-sumber dan penjelasan orang Kristen, saya menjadi paham bahwa agama Kristen itu monoteistik, sebagaimana Islam.

Dalam fase itu, saya membuat dua hipotesis. Pertama, jika mau memahami ajaran agama lain, termasuk Kristen, tidak cukup dengan membaca al-Qur’an. Tafsir klasik juga tidak membantu. Kedua, yang disajikan al-Qur’an bukan kebenaran historis, melainkan kebenaran retorik.

Fase 3: Kompleksitas

Hipotesis kedua di atas muncul karena menyadari kompleksitas deskripsi dan kritk al-Qur’an. Saya mulai mencari penjelasan kenapa Kitab Suci ini mengkritik sesuatu yang tidak diyakini oleh pemeluknya sendiri.

Buku-buku yang saya baca waktu itu cenderung menjelaskan kristologi Qur’an sebagai bentuk respons terhadap ajaran heretik Kristen. Terkait Trinitas, misalnya, sebagian ulama Muslim dan non-Muslim meyakini al-Qur’an mengkritik kelompok-kelompok Kristen tertentu yang menganggap Maryam sebagai Tuhan.

Dari tafsir Jamal al-Din al-Qasimi (dari Suriah) hingga buku Geoffrey Parrinder (dari Inggris), “penjelasan heretik” tersebut menjadi pemahaman yang diterima luas. Qasimi menyebutnya “Maryamiyyun” (pengikut Maryam), sementara Parrinder merujuk pada kelompok “Collyridians”. Saya menganggap penjelasan itu bukan hanya masuk akal, tapi juga penting untuk dialog antar-iman.

Sebagai orang yang kerap aktif dalam kegiatan dialog, saya menilai penjelasan tersebut dapat mengurangi ketegangan antar-agama karena yang dikritik Qur’an bukankah keimanan Kristen secara umum. Minimal, jangan seenaknya menuduh orang Kristen itu musyrik. Sebab, yang dituduh syirik oleh al-Qur’an itu bukan keyakinan mereka, tapi kelompok heretik yang juga mereka tolak.

Ini fase penting dalam hidup saya karena tidak serta-merta menganggap sesuatu secara sederhana. Saya menyadari adanya kompleksitas. Artinya, saya sudah melewati fase di mana al-Qur’an dianggap mudah dipahami, semuanya sudah jelas, tidak perlu dinalar, semuanya ada di Qur’an, dan seterusnya. Namun, lambat-laun, penjelasan itu tidak memuaskan.

Fase 4: Strategi Retorik

Berikutnya, saya mulai intens mempelajari konteks historis untuk lebih memahami sejauhmana Kitab Suci ini berinteraksi dengan kelompok-kelompok Kristen heretik. Rupanya literatur yang saya baca menambah rumit masalahnya.

Gambaran Jazirah Arab sebagai “the motherland of heretics” didasarkan pada asumsi bahwa daerah tersebut terisolasi dari peradaban luar. Misalnya, orang Kristen di Arab terputus hubungannya dengan Kerajaan Kristen Bizantium. Dalam kesarjanaan mutakhir, gambaran Arab yang terisolasi itu sudah sulit dipertahankan.

Sumber-sumber Muslim pun menyebut Mekkah sebagai rute perdagangan, walaupun teori ini sudah dibantah oleh Patricia Crone. Sekarang sudah menjadi konsensus kesarjanaan bahwa Jazirah Arabia tidak terisolasi. Implikasinya ialah sulit dibayangkan al-Qur’an hanya berinteraksi dengan kelompok Kristen sempalan, bukan yang mainstream.

Saya mulai mendalami teori bahwa deskripsi al-Qur’an merupakan bentuk retorika tertentu yang digunakan dalam iklim polemik. Teori ini saya kembangkan dalam buku Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions (Oxford, 2014). Saya berkesimpulan, al-Qur’an sebenarnya tahu agama Kristen itu monoteistik,  tapi untuk memenangkan argumentasi ia menggunakan retorika polemik. Yakni, menyebut orang-orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Padahal, tidak.

Mereka menyembah satu Tuhan yang memiliki tiga uqnum, persona (hypostases). Kaum Muslim sendiri menyembah satu Tuhan yang memiliki – minimal – duapuluh sifat utama. Perdebatan soal hubungan Allah dan sifat-sifat-Nya dalam ilmu kalam mirip sekali dengan diskusi panjang dalam tradisi Kristen terkait dzat Tuhan dan uqnum-Nya.

Fase 5: Teologi Vindikasi

Belakangan ini saya cenderung merevisi pandangan di atas. Mungkin benar al-Qur’an muncul dalam iklim polemik sebagaimana digambarkan banyak sarjana, seperti GR Hawting. Tapi, kristologi Qur’an tidak sepenuhnya bersifat polemik terhadap Kristen.

Memang, soal konsep ketuhanan, al-Qur’an mengajukan doktrin monoteisme ketat yang tidak membuka ruang bagi diferensiasi relasional, seperti diyakini umat Kristiani. Namun demikian, Kitab Suci kaum Muslim ini sangat tegas mengakui Tuhannya adalah satu dan sama dengan Tuhan orang-orang Kristen.

Bahkan, dalam ayat-ayat yang seolah mengkritik keyakinan Kristen, bila dibaca teliti tidaklah demikian. Misalnya, soal penyaliban Yesus (QS 4:157). Yang dikritik bukanlah keyakinan Kristen, melainkan klaim orang-orang Yahudi telah membunuh Yesus. Al-Qur’an membantah, sebab soal kematian itu urusan Tuhan, bukan ada di tangan kaum Yahudi!

Dalam ayat tersebut, dan banyak ayat lain, al-Qur’an membela dan membebaskan (vindicate) Yesus dan keyakinan pengikutnya dari berbagai tuduhan. Saya pikir, kristologi Qur’an jauh lebih positif dari yang selama ini dipahami banyak sarjana.

Fase 6: So What?

Akankah pemahaman ini saya revisi lagi? Sangat mungkin. Saya masih menunggu fase itu. Stay tuned! Ngomong-ngomong, Anda berada di fase mana?

Kolom terkait

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

“Agama-Agama Ibrahim”, Makhluk Apakah Itu?

Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?

Ada Apa dengan Kristen dalam Al-Qur’an?

Memahami Kritik Al-Qur’an terhadap Kristen

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.