Saat kebanyakan atau sebagian besar novel-novel Eropa mengangkat pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan terhadap anak-anak perempuan, Jane Eyre (1847) adalah salah satu novel pertama yang dengan mantap dan tegas menjawab pertanyaan “Apa yang diinginkan (anak) perempuan?”.
Ciri khas Jane yang luar biasa bahwa dia yakin dengan apa yang diinginkannya. Dia tidak terpengaruh oleh pendapat orang-orang berpangkat atau yang berwenang tentang apa yang dia inginkan atau tolak. Hukuman yang dijalaninya hanya memperkuat kesadaran dirinya.
Dia tidak pernah terperdaya, seperti karakter utama dalam The Female Quixote, dan tidak pernah ragu dengan perasaannya, seperti Pamela. Dia menyadari mungkin dia tidak cocok dengan dunia waktu itu yang apa adanya dan menerima kekurangan realitas yang ada. Tapi, meskipun romantis, dia seorang realis yang keras kepala tentang dirinya sendiri. Perjalanan pengetahuan dirinya bukanlah tentang menemukan perasaan sejati; ini tentang membuat hubungan antara penampakan dan kenyataan, tentang memisahkan kebenaran dari kebohongan.
Kisah Jane—cerita seorang anak yatim piatu, gadis biasa, yang kerap dihina oleh kerabatnya—memulai perjalanan hidupnya yang kesepian. Dia harus menggunakan apa saja yang dimilikinya. Kisahnya menyangkut kecerdasan dan hasrat untuk mengamati setiap orang di sekitarnya dengan cermat. Jika diberi kesempatan, dia bisa mencintai dan menghormati orang-orang yang layak dicintai dan dihormatinya—Bessie si perawat, Helen Burns temannya, dan Miss Temple gurunya. Namun dia tidak mau menaruh cinta atau hormat kepada mereka yang memperlakukannya dengan kasar.
Dalam masyarakatnya yang hierarkis, dia menolak bersikap seperti budak atau bahkan menunjukkan bentuk rasa hormat yang normal. Akibatnya, dia sangat kesepian. Namun dia tidak tahu apa-apa bagaimana meredakan kesepiannya, kecuali dengan bekerja. Dia bertemu dengan Mr. Rochester, tuan rumah yang tidak bahagia dan suka mengintimidasi. Tapi Jane bisa membaca tabiat Mr. Rochester bahwa dia sebetulnya hanya sekadar menggertak, bukan ‘menggigit.’ Jane mengenali sesuatu jauh dalam diri Mr. Rochester—kejujuran dalam segala hal yang menurutnya menarik sekaligus menggoda.
Mr. Rochester memutuskan bahwa dia harus memiliki Jane. Untuk itu dia merekayasa pernikahan palsu (penuh perasaan sejati, tapi ilegal). Jane melarikan diri, jauh miskin, dan diselamatkan oleh orang asing yang baik hati yang ternyata adalah saudara yang telah lama hilang. Jane memperoleh kekayaan melalui kematian paman jauhnya, membaginya dengan sanak saudaranya, dan pada saat terakhir, lolos dari pernikahan palsu lainnya. Pernikahan ini sah namun tanpa perasaan. Jane kembali ke Mr Rochester dan menemukan bahwa dia telah cacat, buta, dan menjadi duda karena kecelakaan. Akhirnya mereka menikah.
Jane Eyre adalah novel yang memuaskan sekaligus menyebalkan. Karya ini menekankan kisah keinginan yang paling kuat—bahwa lelaki yang mempesona itu perlu mengalah dan mencintai di dalam dirinya, bahwa gadis polos itu menarik, bahwa sebuah hubungan bisa begitu kuat sehingga mampu mengekspresikan dirinya secara telepatis sejauh seratus mil, bahwa pengantin pria yang dihukum dan pengantin wanita yang namanya sudah dibersihkan dapat hidup bahagia selamanya, dan bahwa kebaikan bisa terbit dari kejahatan.
Namun, realisme tetap muncul. Pada puncak kisah dramatis ini, terutama ketika Jane mendengar Mr Rochester memanggilnya dan ketika Jane mengetahui kondisi Mr Rochester yang makin menurun, pembaca tergoda untuk mundur dan merasakan bahwa ini bukanlah bagaimana hidup berjalan. Sementara pembaca menatap perjalanan Jane yang unik, tidak lazim dan oleh karena itu tidak mungkin terjadi dan tidak masuk akal.
Sekarang kita berada pada inti dilema novel. Apakah cerita-cerita yang dikisahkan oleh novel ini tipikal atau unik? Apakah kita mengharapkan novel ini menguatkan keyakinan kita tentang dunia atau mengujinya? Apakah tujuan dari novel ini adalah pengungkapan dari yang ideal atau penggambaran kenyataan? Sebenarnya, tidak ada pengarang yang dapat memutuskan di sisi mana dia berada dalam dilema ini. Realisme atau idealisme adalah bawaan dari temperamen dan pandangan dunianya.
Tetapi Jane Eyre mengungkapkan sesuatu tentang dilema ini—bahwa novel-novel idealis yang memikat, novel-novel yang tumbuh dari keinginan memang disukai. Sementara novel-novel realistis yang memikat, novel-novel yang tumbuh dari pengamatan tajam akan dihormati. Menu yang terlalu banyak membuat novel idealis terlihat dangkal, sebaliknya menu yang terlalu banyak menjadikan novel realistis terlihat jorok.
Bagi beberapa pembaca, gagasan bahwa Jane dan Rochester berkomunikasi secara telepatis pada saat keduanya mengalami kesulitan terbesar sangat mungkin. Keduanya menunjukkan bahwa meskipun niat dan posisi sosial mereka berbeda, jiwa mereka bersatu. Jane, terutama, percaya pada ekspresi nyata dari kualitas spiritual. Brontë telah menyiapkan landasan dengan baik, dengan penggambarannya tentang teman sekolah Jane, Helen Burns, dan penemuan Jane tentang sepupunya.
Sebenarnya, novel ini menunjukkan kekuatan proyeksi. Gadis yatim piatu dengan kekuatan mental yang unik menghadapi tantangan. Semua adegan yang dia lewati begitu hidup, dramatis, dan pada dasarnya dia sendirian, seolah-olah ditampilkan untuk menempanya. Novel ini tampaknya hanya berfungsi sebagai dokumen subjektivitas. Bagi beberapa pembaca, subjektivitas ini bersamaan dengan pengalaman mereka sendiri tentang dunia yang benar dan nyata. Bagi yang lain, itu terlihat konyol.
Namun demikian, diperlukan novel dengan subjektivitas dan keteguhan yang unik untuk sekadar mengajukan pertanyaan, “Apa yang sebenarnya diinginkan oleh wanita?” dibandingkan dengan pertanyaan “Apa yang seharusnya dilakukan terhadap wanita?”.
Jawaban Jane adalah bahwa wanita menginginkan hubungan yang mandiri, setara, dan penuh cinta, berapa pun biaya sosialnya. Vitalitas Jane Eyre selama 176 tahun sejak diterbitkan dan posisinya dalam kehidupan gadis remaja memberikan kekuatan politik dan budaya. Banyak kaum wanita mengetahui, melalui Jane Eyre, apa yang seharusnya mereka inginkan, meskipun seiring dengan pertumbuhan mereka, tak sedikit yang mundur meraih cita-cita itu.