Senin, November 11, 2024

Jalan Pemikiran Muhyiddin Ibnu Arabi

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
- Advertisement -

Namanya Abu Bakar Muhammad ibn Ali al-Khatami al-Tha’i al-Andalusi (1165-1240 M). Di Timur ia dikenal dengan sebutan Ibn Arabi, di Barat ia dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, al-Syaikh al-Akbar (maha guru), Muhyiddin, bahkan Neo Plotinus. Ia dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat.

Akan tetapi, Ibn Arabi sendiri dalam pertumbuhannya, justru menempuh pendidikan dengan tradisi intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah Andalusia dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu. Tampaknya, ini menimbulkan pergolakan tersendiri pada diri Ibnu Arabi sehingga memengaruhi pemikirannya yang dikenal tidak beraturan dan eklektik.

Kelebihannya sebagai seorang guru filsafat paripatetik inilah yang membantunya mampu memfilsafatkan pengalaman spiritualnya sebagai seorang mistikus ke dalam suatu teori metafisik yang berpengaruh, hingga kemudian dikenal sebagai teori wahdat al-wujud.

Sama dengan kebanyakan para sufi lainnya, Ibnu Arabi percaya bahwa para wali adalah pewaris sipiritual Nabi yang beroleh cahaya Muhammad. Sufi adalah orang-orang yang dengan segala kemampuannya, baik lahir maupun batin, berusaha mendekatkan diri dengan Allah swt. Tujuan utama kesufian sejatinya bukanlah hasil berupa surga dan neraka, melainkan proses pengembaraan cinta yang mendasari niat sehingga tumbuh perasaan rindu yang mendalam.

Rupa-rupanya, Ibnu Arabi juga mengembangkan pemikiran tenang rohani manusia. Menurutnya, dalam diri manusia terdapat dimensi rohaniah yang terdiri dari unsur psikis, spiritual, imajinasi dan alam khayal manusia. Rohani dapat membawa manusia kepada alam antara sadar dan tidak sadar yang disebut dengan alam al-mitsal, di mana manusia siapapun juga dapat mengenal Allah swt. melalui imajinasi kreatif yang terlatih.

Syahdan, kajian rohani itu meliputi dua cabang berurutan. Pertama, kajian tentang kaidah-kaidah yang akan mengantarkan pada perilaku terpuji dan bermuara pada kebahagiaan batin yang dalam. Kedua, kajian tentang olah-rasa yang mengantar jiwa pada cahaya keimanan dan pintu kemakrifatan.

Dalam pemikiran Ibnu Arabi, Allah adalah al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah. Inilah yang membawanya kepada sebuah simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Allah itu sendiri. Teori wihdat al-wujud ini menegaskan bahwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensinya adalah substansi wujud Allah yang tunggal.

Dari sini, Ibnu Arabi membedakan dua pengertian tentang al-Haq. Pertama, al-Haq fi Dzatiha adalah hakikat mutlak yang transenden. Kedua, al-Haq yang bertajalli ke dalam wujud dan dapat ditangkap alat indra manusia, sehingga identik dengan makhluk. Jadi, hakikat wujud mempunyai dua sisi yaitu, dari segi dzatnya ia eka, tapi dari segi tajallinya ia aneka. Prinsip tesisnya adalah bahwa tidak ada dalam wujud kecuali Allah. Maka, siapa yang berwujud karena wujud yang lain, maka dia sejatinya termasuk tidak ada.

Terdapat kesatuan antara tasybih dan tanzih yang transenden sekaligus imanen dalam konteks ini. Inilah yang dikenal sebagai prinsip coincidentia oppositorium atau al-jam’ bayn al-adad yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan ontologisme antara yang tersembunyi dan yang manifest, antara yang satu dan yang banyak.

Sebenarnya, jika di telisik, ide dasar pemikirannya bila ditelusuri akan bermuara pada Ibnu Masarah, yaitu Wujud Khalil al-Ghaffah. Wujud itu satu, adanya makhluk ini sebagai isyarat nyata wujudnya Khaliq. Jadi, hakikatnya tidak ada perbedaan antara wujud khaliq dengan makhluk kecuali dalam bentuk jisim dan rupanya saja.

- Advertisement -

Konsep ini melahirkan teori Nur Muhammad atau al-Haqiqat al-Muhammadiyah, yang berarti bahwa Allah swt. menciptakan alam semesta ini adalah pancaran dari esensi Allah. Inilah yang melahirkan wihdat al-wujud kemudian mengatakan bahwa Allah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan makhluk. Keduanya menyatu, sekalipun tidak secara fisik tetapi dalam konsep wahdaniyah Allah.

Yang jelas, jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn Arabi adalah: taubat, zuhud atau menjauhkan pikiran dari pengaruh keduniawian dengan jalan mengantarkan manusia kepada kehampaan diri dan peniadaan diri di hadapan keagungan Allah. Pun, juga khalwat atau keterputusan diri dari seluruh dunia luar, baik fisik maupun pikiran dengan hanya memikirkan Allah dengan dzikir dan merasakan kebersamaan denganNya.

Pada konteks ini, Ibn Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual agar jalan yang ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barang siapa menempuh jalan kesufian (suluk) tanpa seorang guru, maka ketahuilah bahwa gurunya adalah setan. Begitu sebaliknya, bagi salik yang mampu (alim), kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhahnya serta akan membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.

Konsep Sentral Wahdah al-Wujud

Konsep sentral wahdat al-wujud Ibn Arabi ini adalah tajalliyat al-Haq. Adalah menampaknya diri Allah swt. melalui penciptaan alam. Kata jalli dalam terma Ibnu Arabi identik dengan konsep faydh (emanasi, pelimpahan). Konsep dasar inilah yang secara ontologis menghubungankan antara khaliq dengan makhluk, yakni yang satu menjadi banyak. Dzat Allah yang asli tetaplah azali dan transenden secara absolut.

Dalam tajallinya, Ibn Arabi membedakan antara tajalli dzati (yakni penampakan diri esensial atau penampakan pada dirinya sendiri), dan tajalli suluqi (penampakan Allah dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas dalam alam wujud yang konkret). Dan ritual yang paling utama untuk mencapai taraf ini adalah dengan berkhalwat.

Ia percaya bahwa seseorang yang berlatih secara benar, disiplin dan intensif, maka ia dapat wushul atau bertemu kepada Allah di mana puncaknya adalah pencapaian pengetahuan dan kebenaran sejati dengan Allah. Demikian juga, seseorang yang sudah sampai pada tingkat spiritualitas ini, dipercaya mampu menembus tabir yang selama ini membatasi antara Allah dengan hambanya melalui mata hati (ain bashirah). Jika hal ini tercapai, maka kesatuan esensi dan rasa seakan telah berakar, di mana dia menjadi Anda dan Anda menjadi dia.

Tak hanya itu, Ibn Arabi juga memberi makna agama sebagai ketundukan kepada Allah, ketaatan, balasan dan kebiasaan. Ia memetakan dua macam agama, pertama al-din indallah (agama yang diserukan oleh para Rasul Allah); kedua, al-din indal-khalq (ilham-ilham kebijaksanaan yang diperoleh melalui Rasul dalam tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat). Tentunya, yang pertama identik dengan agama samawi, sedang yang kedua dengan agama ardhi.

Pengaruh Al-Hallaj

Kita tahu, Ibn Arabi merupakan figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, yaitu al-Hallaj. Ia juga beranjak dari pembacaan atas Allah yang menurutnya tidak dapat terlihat oleh siapapun. Bahkan, ia menolak klaim para sufi yang mengaku melihat Allah dalam keadaan ekstase atau fana mereka. Allah hanya ahir dan majalli serta menjadi nampak dalam bentuk-bentuk ephipani atau penampakan (tersusun dalam alam semesta).

Allah hadir dalam keyakinan di hati. Ia membuka rahasia diri-Nya sendiri kepada hati dalam suatu cara yang memungkinkan hati mengakui-Nya. Lantas mata ini menyaksikan hanya Allah dari keyakinan. Keyakinan melahirkan ukuran dari kapasitas hati. Itulah mengapa terdapat banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda.

Kepada setiap orang yang percaya, Allah adalah Dia yang menyingkapkan dirinya dalam bentuk keyakinan (iman). Jika Allah menampakkan dirinya dalam bentuk yang berbeda, orang yang percaya tidak dalam bentuk itu akan menolak-Nya. Dan inilah sebab mengapa keyakinan-keyakinan dogmatis bertikai satu dengan lainnya.

Konsepsi ketuhanan Ibn Arabi dengan demikian berdiri di atas dikotomi yang membedakan antara Allah yang sebenarnya dengan Allah yang merupakan persepsi manusia terhadap-Nya. Allah yang sebenarnya adalah Allah dalam diri-Nya sendiri, dalam Dzat-nya, yang tidak dapat diketahui karena keterbatasan akal manusia. Ibn Arabi menyebutnya sebagai al-Ilah al-Haqq, al-Ilah al-Mutlaq, al-Ilah al- Majhul, atau Ankar al-Nakirat, al-Ghayb al-Mutlaq, dan al-Ghayb al-Aqdas. 

Sementara itu, Allah dalam kepercayaan manusia, yang tentu diwarnai oleh kapasitas pengetahuan dan kesiapan partikular mereka (al-isti’dad al-juz’i) untuk mempersepsi-Nya, disebut oleh Ibn Arabi sebagai al-Ilah al-Mu’taqad, al-Ilah fi al-I’tiqad, al-Haqq al-I’tiqadi, al-Haqq alladhi fi al-mu’taqad, dan al-Haqq al-makhluq fi al-I’tiqad.

Namun, terlepas dari itu, di tengah-tengah berbagai bentuk keyakinan dan peribadatan yang berbeda tersebut, ahli ma’rifat hanya akan melihat satu hakikat objek sesembahan. Dari titik inilah semua tipe agama adalah sama, dan Islam tidak lebih baik dari pada kultus. Di sini tidak menjadi penting keyakinan apa yang seseorang miliki atau ritual apa yang ia kerjakan. Masjid sejati adalah hati yang suci dan jernih di mana semua orang menyembah Allah di dalamnya (jadi bukan di dalam masjid yang terbuat dari batu).

Ibn Arabi juga menasihatkan agar seseorang hendaknya tidak terlalu mengikatkan diri secara eksklusif kepada suatu paham keyakinan tertentu. Sebab, menurutnya, eksklusivisme tersebut hanya akan menggagalkan seseorang untuk menemukan dan mengakui kebenaran hakiki dari suatu persoalan, sehingga cenderung menyalahkan yang lain.

Padahal Allah yang Maha Wujud dan Kuasa tidaklah terbatasi oleh sekat-sekat sempit suatu keyakinan peribadatan. Dia hadir dalam tiap bentuk kepercayaan manusia. Ibnu Arabi menegaskan, bahwa tidak ada agama yang lebih mulia dari agama cinta dan rindu akan Allah. Cinta adalah esensi dari semua keyakinan, terlepas apapun yang menjadi kulit luarnya.

dalam kitabnya Futuhat al-Makkiyyah, Ibn Arabi mengatakan “Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya. Itulah agama dan keimananku.” Beliau mengungkapkan bahwa agama yang sejati adalah agama yang dilandasi oleh cinta kasih, agama yang sejati akan merangkul seluruh manusia, agama yang sejati -menurut beliau- membawa pesan-pesan universal yang menuju ke arah kebaikan dan kebahagiaan.

Tentu saja agama cinta yang dimaksud oleh Ibn Arabi adalah memahami agama sebagai sebuah lembaga yang membumikan cinta kasih. Ibn Arabi ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa jikalau kita menelusuri setiap ajaran, pesan, wejangan dan petuah dari  para nabi yang membawa agama-agama di dunia, bahwa pada hakikatnya dan esensi utama dari pesan tersebut adalah Cinta. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Selain menjadi kontributor tetap di E-Harian Aula Jatim, penulis juga kader PMII Probolinggo. Saat ini menjabat ketua III PC PMII Probolinggo.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.