Jumat, April 19, 2024

Bagaimana Cara Ibnu Rusyd Mendamaikan Akal dan Wahyu?

Akbar Darojat
Akbar Darojat
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Surabaya Angkatan 21

Bagi para pelajar filsafat Islam, nama Ibnu Rusyd tentu tak asing. Ia adalah salah satu filosof besar yang dimiliki oleh umat Islam. Ia menulis banyak karya yang dalam pelacakan Ernest Renan berjumlah 78 buah. Karya-karya tersebut tak hanya dalam bidang filsafat, melainkan juga teologi, fiqih, kedokteran, hukum, astronomi, sastra dan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Rusyd adalah sosok pemikir yang multidisipliner.

Nama ibnu Rusyd biasanya dikaitkan dengan dua hal: pertama, pertentangannya dengan Al-Ghazali. Sebagaimana sudah kerap dibicarakan, Ibnu Rusyd membantai habis-habisan kitab Al-Ghazali yang berjudul Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) melalui masterpiece-nya yang berjudul Tahafut At-Tahafut (Kerancuan Buku Yang Rancu).

Dalam kitab tersebut, Ibnu Rusyd membela para filosof yang dikafirkan oleh Al-Ghazali karena argumen mereka mengenai qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular dan pengingkaran kebangkitan jasad di hari kiamat.

Kedua, ulasan dan komentar atas karya-karya Aristoteles. Ibnu Rusyd diakui hebat bukan saja karena menulis karya dalam berbagi bidang kelimuan, melainkan juga memberikan ulasan bernas atas hampir seluruh karya Aristoteles. Oleh sebab itu, Dante menjulukinya sebagai The Grand Commentator Aristotle (Komentator Agung Aristoteles).

Menulis komentar atas karya-karya Aristoteles itu dikerjakan oleh Ibnu Rusyd setelah ditugaskan oleh Abu Yakub Yusuf Al-Manshur, seorang khalifah Dinasti Al-Muwahhidun yang sangat gandrung dengan filsafat Aristoteles. Ada tiga bentuk komentar yang dituliskan oleh Ibnu Rusyd: Jami’ (komentar pendek), Talkhis (komentar menengah) dan Syarh (komentar panjang).

Dari sekian kehebatan itu, ada satu kehebatan Ibnu Rusyd yang tak boleh dilupakan yakni, upayanya mendamaikan pertentangan antara akal dan wahyu yang menjurus pada pertentangan filsafat dan agama. Memang dalam sejarah pemikiran Islam kedudukan dan hubungan antara akal dan wahyu dalam proses pengambilan hukum adalah persoalan yang pelik. Persoalan ini tak jarang melahirkan kecaman, pembid’ahan dan pengkufuran yang terkadang berujung pada tindakan persekusi.

Dalam bentang pemikiran Islam, ada tiga kubu yang berbeda pendapat mengenai kedudukan dan hubungan antara akal dan wahyu. pertama, kelompok yang mengutamakan wahyu dan mengesampingkan rasio. Kelompok ini umumnya terdiri dari para ulama non-filosof. Al-Syafii’, misalnya, adalah salah seorang yang termasuk dalm kelompok ini. Dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah, ia menegaskan bahwa satu-satunya sumber kebenaran aadalah wahyu. Hanya wahyu yang dapat dijadikan pegangan dalam pengambilan keputusan.

Kedua, kelompok yang mengutamakan rasio dan mengesampingkan wahyu. Kelompok ini umumnya terdiri dari kaum rasionalis ekstrem atau para filosof yang tak terlalu mengindahkan ajaran agamanya. Ar-Razi adalah salah seorang yang berada dalam kelompok ini.

Ia berargumen bahwa akal memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah. Akal juga memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan dan mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan salah. Dari argumen tersebut, ia kemudian mengatakan bahwa adanya seorang nabi dan turunnya wahyu pada dasarnya adalah sesuatu yang berlebihan.

Ketiga, kelompok yang mensintesa dua kutub yang saling menegasi itu. Kelompok ini beranggapan bahwa akal dan wahyu berada dalam posisi yang sejajar dan karenanya, tak patut untuk dipertentangkan. Adalah filosof muslim dan mereka yang peduli dengan ajaran keagamaan berada dalam kelompok ini seperti, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufayl, Ibnu Miskawaih dan Al-Sijistani. Ibnu Rusyd berada dalam kelompok yang terakhir ini.

Ibnu Rusyd berusaha untuk mengembangkan apa yang sudah dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Menurutnya, wahyu adalah hikmah (kebijaksanaan) yang dimaknai sebagai pengetahuan yang tertinggi tentang eksistensi-eksistensi spiritual. Dari hikmah inilah Nabi memiliki pengetahuan yang sejati mengenai kebahagiaan di akherat kelak. Sehingga, Nabi sebenarnya juga seorang ahli hikmah. Namun, seorang yang sekedar ahli hikmah saja tanpa mendapatkan wahyu, belum tentu seorang Nabi.

Nabi kemudian memanifestasikan pengetahuan itu pada undang-undang agama (syari’at) agar manusia juga dapat mencapai kebahagiaan yang sejati. Konten syari’at tersebut terdiri dari ajaran tentang ilmu yang benar dan (al-ilm al-haq) dan perbuatan yang benar (al-‘amal al-haq).

Ilmu yang benar adalah ilmu yang mengenalkan kepada Allah SWT, realitas wujud yang utamanya bersifat metafisik dan pahala serta siksaan di akhirat. Sedangkan, perbuatan yang benar adalah perbuatan yang dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan dan terhindar dari penderitaan.

Uniknya, konten syari’at tersebut tak hanya berasal dari wahyu, melainkan juga dari intelek. Walau demikian, ia segera mengingatkan bahwa tingkatan intelek sebagai sumber syari’at berada di bahwa wahyu. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa syari’at yang paling unggul berasal dari wahyu sekaligus intelek (Khudori Soleh: 2012, 82).

Penegasan itu tampak bahwa ia berpretensi untuk mendamaikan akal dan wahyu. Bahwa penalaran rasional tak akan menghantam tubuh wahyu. Tak perlu heran karena syari’at sendiri justru memerintahkan manusia untuk menggunakan penalaran rasional. Sangat banyak ayat Al-Qur’an yang mewajibkan manusia untuk melakukan nadzar (penelitian) terhadap segala wujud realitas agar dapat mengambil ibrah di dalamnya: surat al-An’am ayat 75, surat Ali ‘Imran ayat 191 dan surat al-‘Araf ayat 184.

Ibnu Rusyd percaya bahwa penyimpangan atas syari’at tak akan terjadi apabila kita melakukan penalaran rasional yang begitu mendalam dan mendasar. Dalam konteks ini, ia mempunyai cara yang unik untuk menengahi konflik antara akal dan wahyu yang sulit didamaikan.

Menurutnya, ketika ada sebuah wahyu yang kelihatan bertentangan dengan akal, maka wahyu tersebut harus ditakwilkan. Artinya, kita tidak kemudian langsung menerima kebenaran wahyu dan mengabaikan kebenaran akal atau, sebaliknya. Kebenaran dari wahyu harus diinterpretasikan agar sesuai dengan kebenaran akal. Sehingga, kita tetap bisa menggunakan akal dan wahyu sekaligus dalam menyelesaikan persoalan syari’at. Karena itu, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sepersusuan dengan agama” (Ibnu Rusyd, 1968: 58).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penalaran rasional tak akan bertentangan dengan syaria’t. Sebab, alih-alih bertentangan, akal dan wahyu justru saling menggenapi dan mendukung dalam mengartikulasikan kebenaran.

 

 

 

 

 

 

Akbar Darojat
Akbar Darojat
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Surabaya Angkatan 21
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.