Baru-baru ini berbagai kelompok perempuan bereaksi keras terhadap keputusan Komisi VIII DPR RI yang menunda pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020.
Reaksi berbagai jaringan perempuan tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat perjuangan panjang terhadap RUU ini pernah berakhir tragis pada periode DPR sebelumnya. Tidak hanya RUU ini saja, namun beberapa RUU yang memuat isu perempuan yang lainnya juga mendapat tantangan yang tidak jauh berbeda. Respon ini tak lepas dari keraguan atas keberpihakan politik legislasi terhadap nasib perempuan dan korban kekerasan seksual dalam penyusunan produk hukum.
Kebutuhan mendesak keadilan
Urgensi untuk segera lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah didorong kelompok perempuan sejak tahun 2014. Saat itu RUU tersebut sempat kandas di tahun pertama saat penyusunan daftar Prolegnas 2014-2019. Satu tahun kemudian, RUU ini dapat didorong masuk dalam daftar Prolegnas lalu kemudian dibentuk Panitia Pekerja (Panja) di Komisi VIII.
RUU ini memperoleh reaksi yang beragam di masyarakat, baik dari kelompok pendukung yang mayoritas dari lembaga-lembaga layanan yang menangani korban kekerasan seksual sehari-hari, dan dari kelompok yang tidak mendukung yang mengkampanyekan penolakan yang sangat massif dengan membawa nilai dan ideologi yang tidak sepemaham dengan tujuan dan muatan RUU ini. Media sosial digenangi dengan pro kontra yang menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendapat perhatian publik yang cukup luas.
Sedangkan di sisi lain, deretan korban kekerasan seksual telah menanti lama adanya payung hukum yang dapat mengakomodasi kebuntuan dalam perjuangan keadilan yang diharapkan. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2011-2019 setidaknya terdapat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan baik di ranah personal maupun publik.
Belum lagi peningkatan kasus masa pandemi Covid 19 yang menyebabkan kerentanan baru. Beberapa kantor LBH APIK mencatat, terdapat kenaikan angka pengaduan kasus kekerasan seksual antara 10-30%. Dari jumlah tersebut, yang paling marak adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO), dimana mayoritas adalah kekerasan seksual berupa revenge porn (LBH APIK Jakarta, Juni 2020).
Jumlah korban kekerasan seksual tersebut tentu saja bukanlah sekedar angka-angka yang hanya dipantau naik turunnya setiap tahun, namun merupakan representasi situasi kemanusiaan di tengah masyarakat. Kekerasan seksual merupakan serangan terhadap integritas dan martabat yang dapat meninggalkan trauma seumur hidup.
Dari banyaknya kasus tersebut, tidak sedikit yang proses hukumnya terhenti di tingkat Kepolisian karena dinyatakan tidak cukup bukti. Beberapa hal yang menghambat korban dalam memperoleh keadilan dari segi formil dan materiil diantaranya ketentuan mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual yang belum termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya kekerasan seksual verbal, kekerasan yang menggunakan relasi kuasa yang timpang akibat ketidakadilan gender, serta menggunakan tipu daya.
Hambatan lainnya adalah belum ditangkapnya situasi khusus korban kekerasan seksual dalam ketentuan dalam hukum acara (KUHAP), terutama mengenai pembuktian. Beban pembuktian ini seringkali terhambat karena kekerasan seksual terjadi di tempat tersembunya yang sulit adanya saksi dan alat bukti lainnya. Diperlukan terobosan hukum baru yang mampu menangkap situasi korban kekerasan seksual.
Selain itu, hambatan lain terjadi pula dalam budaya hukum yang masih melanggengkan budaya diam atas kekerasan (culture of silence) serta melekatkan stigma-stigma terhadap korban sehingga tidak mau melaporkan kasusnya. Budaya hukum inilah yang paling besar memberikan hambatan paling besar bagi perempuan yang ingin melaporkan kasusnya karena seringkali mengalami re-victimisasi. Hambatan ini perlu diterobos salah satunya regulasi yang memuat mandat pencegahan dengan membangun peran serta masyarakat dalam melindungi korban.
Masih terpinggir
Sejumlah RUU telah dijadwalkan untuk dibahas secara massif, diantaranya RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU Haluan Idelogi Negara (HIP), dan sejumlah RUU lainnya yang telah terjadwal dengan baik meskipun harus bersidang pada masa Pandemi Covid 19.
Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengalami nasib yang sebaliknya. Nasib ini tidak hanya terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun berbagai RUU yang pro perempuan yang seringkali mengalami berbagai penundaan hingga gagal disahkan oleh proses legislasi, diantaranya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), dan Revisi UU Perkawinan (selain pasal usia perkawinan) yang telah diperjuangkan lebih dari 10 tahun yang lalu.
UU PPRT yang telah diperjuangkan oleh jaringan perempuan bersama jaringan PRT, lebih dari 2 periode (10 tahun) mandek juga pembahasannya di DPR pada tahun pertama periode ini. Nasib PRT, yang dominan adalah perempuan, masih belum diakui sebagai bagian dari pekerja. Menurut JALA PRT (Kompas.com, 5/07/2020) tertundanya penyelesaian RUU ini dampaknya tidak sederhana bagi PRT karena mereka rawan ditelantarkan, mengalami pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa pesangon, dan tanpa jaminan ketenagakerjaan, terlebih lagi pada situasi seperti masa Pandemi Covid 19 seperti saat ini.
PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak, jam kerja panjang, beban kerja, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan dan cuti, serta jaminan sosial bahkan larangan untuk bersosialisasi berorganisasi. RUU lainnya adalah RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) yang diserang berbagai stigma yang tak kalah ramainya dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagitupun Revisi UU Perkawinan yang pernah didorong oleh LBH APIK bersama Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) juga pernah mengalami nasib yang sama.
Kebutuhan mendesak perempuan korban dan kelompok-kelompok rentan dari periode ke periode seharusnya menjadi salah satu kepentingan utama politik legislasi sebagai bukti komitmen dalam penegakan HAM. Diskriminasi sekaligus stigma yang seringkali melekat pada RUU-RUU pro perempuan memperlihatkan masih perlu upaya panjang dalam membangun pemahaman bersama bagaimana menempatkan isu perempuan dalam perumusan produk hukum, terutama agar dapat menangkap secara utuh akar dari ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan kelompok rentan.
Hukum harus berpihak
UU No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW, terutama Pasal 2, juga telah memberikan mandat untuk mewujudkan jaminan hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan.
Untuk mewujudkan produk hukum yang berperspektif perempuan, penting melakukan pendekatan yang berperspektif perempuan, diantaranya: pertama, memandang bahwa produk hukum yang seolah netral belum tentu berdampak netral bagi perempuan.
Kedua, penekanan pada pengalaman perempuan untuk mengidentifikan eksklusivitas hukum khususnya penderitaan-penderitaan perempuan yang tidak dikenali, dipahami dan direfleksikan oleh pengadilan atau peraturan perundangan atau telah diminimalisir, karena pengalaman perempuan tidak secara cukup terekspresikan dalam hukum (Martha Chammals: 2003). Terakhir, partisipasi kelompok perempuan agar menggali dan menangkap pengalaman perempuan, terutama kekerasan.
Alhasil, pada konteks hak asasi manusia itu, hukum harus memiliki keberpihakan yang jelas dan tegas. Produk hukum haruslah mencerminkan perwujudan pemenuhan dan penegakan HAM yang merupakan mandat dari Konstitusi, khususnya Pasal 28D, 28I, 28G, dan 28H yang telah memberikan rujukan yang jelas mengenai hak atas kepastian hukum dan keadilan serta hak bebas dari ancaman, diskriminasi serta bebas dari kekerasan.