“Maybe time has come to say goodbye.”
Kalimat itu dilontarkan oleh Benjamin Netanyahu setelah mengetahui kegagalan Partai Likud dalam pemilu ulang 17 September 2019 di Israel. Dia enggan berkompromi dengan Benny Gantz dari Partai Biru dan Putih. Dia menolak tawaran apa pun bentuknya. Kegagalannya berarti menandai berakhirnya era Netanyahu sejak tahun 1996.
Baginya, dalam pemilu ulang, pilihannya hanya dua. Partainya yang menang atau Partai Arab yang berkuasa. Sebab, menurutnya, jika partainya tidak menang, yang terjadi adalah ucapan saat kampanye akan terbukti di kemudian hari. Arab ingin memusnahkan Israel.
Apakah anggapan itu bisa menjadi kenyataan? Entahlah.
Yang pasti, kekalahan Netanyahu sendiri lebih disebabkan pemilihan isu kampanyenya yang kurang memperhatikan sektor dalam negeri. Dia lebih fokus untuk mempedulikan bagaimana caranya membuat one state solution. Hal tersebut tampak pada ucapannya beberapa hari menjelang pemilu. Dia ingin segera melakukan aneksasi Dataran Tinggi Jordania dan sedikitnya wilayah Tepi Barat.
Sontak saja ucapan dan rencana tindakan tersebut memantik reaksi keras dari banyak kalangan, termasuk kalangan Muslim di Indonesia. Namun, Netanyahu sangat percaya diri dengan ucapannya. Sebab, dia telah memiliki teman yang kuat, yaitu Donald Trump. Toh, beberapa bulan yang lalu, Kedutaan Besar Amerika Serikat telah dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan itu sesuai dengan keinginan Netanyahu. Sayangnya, sepertinya ucapan tersebut sia-sia.
Seperti orang yang nelangsa, Netanyahu pun langsung memutuskan untuk tak mengunjungi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 September. Padahal, tema yang dibicarakan adalah konteks politik dalam negeri Israel. Dia seakan sadar bahwa jikalau melaksanakan kunjungan, tak akan menghasilkan benefit bagi Israel.
Lalu, mengapa Gantz bisa menang?
Isu yang dibawanya lebih menarik untuk diperbincangkan. Yaitu, korupsi. Seperti telah diketahui masyarakat di Israel bahwa Netanyahu terlibat skandal korupsi sejak 2017. Pertengahan tahun lalu pun sebenarnya dia telah dipanggil dalam sidang—walaupun akhirnya yang datang hanyalah kuasa hukumnya.
Dia terlibat tiga kasus yang berbeda. Gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, dan rekayasa. Ketiga kasus tersebut membuat popularitasnya sedikit menurun. Mengapa dibilang demikian? Toh, dengan isu yang dibawa Netanyahu, sebenarnya hasil yang diperoleh sebanding dengan hasil dari Partai Biru Putih milik Gantz.
Akan tetapi, partai-partai lain seperti Joint List dan Yisrael Beiteinu tampaknya enggan bergabung dengan Partai Likud. Joint List, yang lebih berafiliasi dengan kepentingan Palestina, jelas menolak tawaran apa pun dari Partai Likud. Yisrael Beiteinu pun demikian. Lieberman, dedengkot Yisrael, lebih memilih apa yang ditawarkan oleh Joint List.
Jika Gantz menang, apakah ini berarti ada jalan untuk perdamaian? Tunggu dulu. Tidak semudah itu.
Gantz memang tidak secara eksplisit mengatakah hal tersebut. Namun, dia mengatakan bahwa jalan perdamaian dengan Palestina akan selalu terbuka. Yang jelas, kepentingan Israel tetap menjadi nomor satu. Dia justru lebih fokus membenahi kepentingan dalam negeri. Seperti pembenahan tata kelola keuangan, meningkatkan pendidikan untuk anak muda, dan memberikan porsi yang setara antara laki-laki dan perempuan di ruang publik.
Gantz mungkin sadar. Dia sedang membangun kepercayaan dan meraih simpati publik. Dia tak mau gegabah dalam mengambil keputusan yang justru tak menguntungkan bagi dirinya. Partai Biru dan Putih pun melihat bahwa ini saat yang penting untuk mengonsolidasikan kepentingan apa pun dari partai lain. Apalagi melihat Joint List yang enggan bergabung dengan Likud menjadi poin keuntungan bagi Gantz.
Israel dan Palestina
Raja Shehadeh, salah seorang pengacara di Palestina, menuliskan opininya di New York Times. Dia mengatakan bahwa siapa pun yang menang dalam Pemilu Israel, rakyat Palestina tetap kalah. Israel hanya menginginkan tanah Palestina sesuai rencana Netanyahu. Bahkan, seminggu sebelum pemilu berlangsung, Gantz menyatakan bahwa tempat terbaik bagi orang Arab [Palestina] hanyalah di Israel, dan tempat kedua yang memungkinkan bagi mereka berada di Tepi Barat.
Padahal, bagi orang Palestina, tempat tersebut justru tidak begitu ramah. Saya pun sangsi dengan ucapan salah seorang megaseleb Facebook yang baru-baru ini pergi ke Israel. Dia menyatakan bahwa orang-orang di sana [Muslim di Israel] dan tempatnya sangatlah ramah. Entah siapa yang ditemuinya. Yang jelas, pernyataan tersebut janggal. Dan tentu saja, aneh.
Yang menarik lagi adalah tulisan Thomas L. Friedman tentang masa depan kedua negara. Menurutnya, yang dilakukan mereka tak akan pernah terjadi perdamaian. Sebab, sebenarnya mereka memiliki prinsip yang sama: We have peace plans with no partners and movements with no peace plans.
Kedua negara tersebut memang bisa jadi tak akan pernah sepakat dengan kata damai. Ya, rencana mereka hanyalah menggagalkan rencana lawan tanpa meraih tujuan akhir. Mengerikan, bukan? Dan, perlu diketahui bersama, bukankah selama senjata terus diciptakan, apakah perdamaian bisa diwujudkan?
Bacaan terkait
Tiga Alasan Trump Berani Mengakui Yerusalem Ibukota Israel
Yerusalem dan Ilusi Ibu Kota Suatu Negara