Pada Januari 2023, pemerintah baru Israel yang penuh horor mulai berkuasa. Pemimpinnya ditetapkan untuk itu mencapai empat tujuan—keamanan dan pemerintahan, mengatasi Iran, biaya hidup dan normalisasi dengan Arab Saudi.
Setahun kemudian, hasilnya seperti kita lihat hari ini. Pemerintah sibuk memastikan perang panjang di Gaza dan di perbatasan utara, dan melakukan kekerasan di Tepi Barat. Warga Israel selalu dijejali dengan sumpah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tentang “Kemenangan Total” dan Menteri Pendidikan Yoav Kisch yang menari di lokasi serangan sambil berteriak, “Kami tidak akan berhenti sampai kemenangan.”
Dalam jajak pendapat terbaru, pemerintah sekarang adalah pemerintahan minoritas. Mereka akan memperoleh 44 kursi Knesset jika pemilu diadakan hari ini. Karenanya, kelangsungan hidup kabinet Netanyahu ini sangat bergantung pada perang (“darurat nasional”) yang berkelanjutan tanpa batas waktu.
Sekarang, setelah 100 hari genosida terhadap Gaza dan kehancuran di perbatasan Israel, pemerintah Bibi telah menyelesaikan serangan baliknya dan bersiap untuk pertempuran selanjutnya demi kelangsungan hidupnya.
Tahun ini Israel masih akan diselubungi oleh kejahatan dan kegelapan. Kematian dan kelumpuhan di Jalur Gaza dan dekat perbatasan dengan Lebanon, persoalan sandera, tidak adanya solusi untuk memungkinkan pengungsi untuk kembali ke rumah mereka di kawasan dalam utara dan selatan, risiko serangan teror di kedua sisi Garis Hijau (Green Line) dan krisis ekonomi. Semua ini akan memicu kembalinya protes jalanan.
Pemerintah koalisi Netanyahu akan menghadapi oposisi yang kuat oleh kelompok yang tidak kehilangan apa-apa. Kelompok ini merasa bahwa negara adalah milik mereka, warisan dari Tuhan. Hasilnya adalah pecahnya perang saudara, dan pemerintahan “Persaudaraan Yahudi” sekarang ini sepertinya telah mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Dua tokoh krusial setelah pendirian koalisi adalah Bezalel Smotrich sebagai Menteri Keuangan dan Itamar Ben-Gvir sebagai Menteri “Keamanan Nasional” – yang mengurus kepolisian, penjara, dan distribusi senjata. Pada saat yang sama, portofolio strategis dipercayakan kepada UltraOrthodox, yaitu perumahan, kesehatan dan urusan dalam negeri.
Netanyahu melanjutkan isu-isu liberal-demokratik, tetapi memecah Kementerian Luar Negeri dengan rotasi tiga partai. Portofolio pendidikan dipercayakan kepada sosok ‘badut’ yang berpikiran dangkal seperti Kisch dan transportasi diberikan kepada Miri Regev. Penghancuran sistem peradilan, tentu saja, dipercayakan kepada Yariv Levin. Berbeda dengan sikap naif dari Pengadilan Tinggi, yang baru-baru ini menolak petisi terhadap hukum ketidakmampuan dengan klaim yang membingungkan bahwa “undang-undang tersebut tidak dalam posisi diajukan.”
Aksi pemboman dan penghancuran warga Palestina terus berlangsung. Mayoritas pemukim religius sayap kanan, mendapatkan tempat di Mahkamah Agung seiring pensiunnya Esther Hayut dan Anat Baron. Levin berupaya mencegah penggantian dan pemilihan Ketua Mahkamah Agung berikutnya.
Saat ini menjadi jelas bahwa polisi kembali beroperasi sebagai milisi Ben-Gvir, semacam Garda Revolusi seperti yang terjadi sebelum 7 Oktober. Lewat sosok menteri yang terkenal fasis dan komisaris polisi yang lemah dan tidak fungsional, para polisi dengan kekerasan membubarkan demonstrasi dan aksi unjuk rasa yang paling sederhana sekalipun.
Bayangkan apa yang akan terjadi ketika massa turun ke jalan. Di tengah gempuran kelompok perlawan Hamas, pengunjuk rasa akan dicap sebagai pengkhianat yang menikam Israel dan tentara dari belakang. Karenanya mereka dengan gampang dieksekusi. Jalanan akan terbakar. Belum lagi, Israel dibanjiri dengan senjata otomatis dan senapan yang didistribusikan sebagai bagian garis politik.
Desakan Ben-Gvir untuk mengganti Komisaris Layanan Penjara Israel tidak dimaksudkan untuk memastikan kondisi yang nyaman sekiranya nanti Netanyahu masuk penjara, tetapi untuk membakar penjara dengan memperburuk kondisi para tahanan keamanan Palestina. Dari sanalah awal berkecamuknya seluruh Tepi Barat.