Jumat, Maret 29, 2024

Islamofobia di Eropa dan Strategi Indonesia

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

fobiaislamKabar terakhir dari Eropa hari-hari ini sungguh memprihatinkan. Ada indikasi dan gejala sentimen anti-Islam atau Islamofobia yang semakin meningkat di sana. Di Swiss, ada denda dan penolakan aplikasi kewarganegaraan bagi siswa yang tidak mau berenang pada kolam renang campur dan bersalaman dengan lawan jenis.

Di Jerman, masjid-masjid tertentu diawasi oleh verfassungschutz atau intelijen dalam negeri mereka. Bahkan sebuah masjid di Republik Ceko pernah digrebek oleh aparat atas dugaan terorisme.

Setelah serangan teror di Bataclan, Paris, situasi Eropa memang memanas. Hal ini diperburuk dengan situasi Inggris/Kerajaan Serikat pasca referendum Brexit (British Exit): sentimen xenofobia di sana semakin kental. Tokoh populis kanan di Eropa seperti Geert Wilders, Nigel Farage, dan Marine Le Pen justru semakin mendapat audiens pendukung Islamofobia. Bagaimana sebaiknya strategi Indonesia menghadapi hal ini?

Sebelum berbicara strategi, kita sebaiknya memahami bagaimana Eropa memahami agama dan budaya mereka sendiri. Berbeda dengan di Amerika Serikat, di mana pemerintah federal tidak intervensi dalam urusan budaya dan agama, di Eropa intervensi selalu dimungkinkan.

AS tidak mengenal nasionalisme yang terlalu kuat seperti di Eropa, karenanya pada amandemen pertama konstitusinya  menegaskan bahwa “negara tidak membuat pengaturan mengenai agama atau keyakinan”. Maka, masalah keyakinan diserahkan kepada warganya masing-masing.

Di Eropa hal itu berbeda. Karena beberapa negara seperti Jerman dan Skandinavia masih memiliki hubungan tertentu dengan gereja, terutama terkait dengan pemungutan pajak (kirchensteuer). Motif keengganan orang Eropa menjadi jemaah gereja tidak sama dengan AS yang karena pilihan pemikiran bebas, namun terutama karena tidak mau membayar pajak ke gereja.

Sewaktu Adolf Hitler berhasil menguasai Eropa, Gereja Evangelis Jerman (EKD) berhasil dia koptasi dan menunjuk kroni Nazi seperti Ludwig Mueller sebagai pimpinan gereja (Reichsbischof). Hal ini sangat ditentang dan dilawan oleh Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta juga, yang menolak intervensi negara terhadap urusan agama, dan menginginkan gereja menjadi lebih independen seperti di AS.

Kemartiran Dietrich Bonhoeffer di tangan para penjahat Nazi membuktikan bahwa nasionalisme brutal di Eropa bisa bertransformasi menjadi fasisme yang memiliki utopia akan kemurnian ras. Kita di Indonesia tentu masih sangat berharap supaya Eropa masih memiliki banyak pengikut Dietrich Bonhoeffer, yang selalu “menginjak rem” terhadap nasionalisme mereka yang kebablasan.

Islamofobia di Eropa sudah lama lahir, terutama sejak reconquesita atau penaklukan kembali Spanyol dari tangan kaum muslimin. Bagi yang kurang memahami alasan politiknya, ekspansi Turki Usmani ke jantung Eropa dianggap sebagai “gelombang Islamisasi” yang harus ditangkal. Setelah menguasai Konstantinopel, yang diganti namanya menjadi Istanbul, beberapa kali pasukan Turki menyerbu kota Vienna, ibu kota Austria Hapsburg, dan gagal.

Pengalaman mereka berhadapan dengan Turki Usmani menyebabkan Eropa cenderung kurang nyaman dengan Islam. Hal tersebut semakin memburuk ketika semakin banyak imigran Muslim berdatangan ke Eropa pada abad ke-20 sampai sekarang. Alasan penolakan terhadap imigran tersebut adalah klise, seperti merebut lapangan pekerjaan orang Eropa. Padahal, jika memang imigran tersebut sangat berkualifikasi untuk pekerjaan tersebut, taat hukum dan tak ada orang Eropa yang mampu atau mau mengerjakannya, mengapa harus ditolak?

Bukan kebetulan gelombang xenofobia di Eropa terjadi ketika ideologi kiri dan liberal semakin tergeser, dan ideologi nasionalis-konservatif dan populis kanan semakin menanjak di parlemen negara masing-masing. Gelombang pengungsi dari Suriah, Irak, dan Afghanistan ke Eropa justru memperparah sentimen xenofobik tersebut.

Keberhasilan Sadiq Khan menjadi wali kota London juga tidak luput dari serangan smear campaign kaum xenofobik, yang berhasil ditangkal dengan sangat elegan. Sadiq Khan berhasil menjadi wali kota, dengan melakukan aliansi bersama kelompok Sosial Demokrat dan Liberal. Tentu hal ini ada alasannya.

Di satu sisi, sosialisme dan liberalisme percaya akan kebebasan berpendapat, beragama, dan berserikat, yang tentu lebih disukai oleh umat Islam. Di sisi lain, nasionalisme percaya akan pemujaan terhadap tanah air dan “budaya asli” dan dapat cenderung mencurigai Islam. Uni Eropa (UE) adalah produk ideologi liberal yang ingin melemahkan sentimen nasionalisme pada setiap anggotanya sehingga lebih terbuka dengan agama dan budaya yang berbeda.

Dialektika keduanya di Eropa berlangsung seperti pendulum, yang bergerak tergantung sentimen kepentingan warganya. Hanya sekarang pendulum tersebut bergerak semakin menjauhi liberalisme dan mendekati nasionalisme. Menguatnya keinginan banyak negara Eropa pasca-Brexit untuk referendum keanggotaan UE adalah bukti menguatnya sentimen nasionalisme. Hanya saja, apakah Islamofobia akan selalu abadi dan tidak pernah berubah seperti dogma?

Politik tidak mempercayai postulat “berbeda agama dan adat istiadat berarti musuh”, namun lebih percaya pada postulat “berbeda kepentingan berarti musuh”. Contoh dalam sejarah adalah aliansi antara Kesultanan Turki Usmani dan Kerajaan Prancis yang punya musuh bersama yaitu Kekaisaran Austria Hapsburg. Walau sama-sama beragama Katolik, saat itu Dinasti Bourbon di Prancis dan Hapsburg di Austria sama-sama bersaing untuk prestise trah masing-masing.

Kedekatan Turki dengan Barat akhirnya “dihadiahi” dengan keanggotaan NATO. Aliansi militer tersebut yang menyebabkan komunitas Turki di Jerman juga mendapat keistimewaan dibanding komunitas Muslim lain, karena relatif bebas dari pengawasan verfassungschutz. Perspektik Islamofobia adalah masalah mindset yang dalam sekeja bisa dikesampingkan menjadi aliansi politik dan militer jika memiliki kepentingan yang sama.

Tidak jauh berbeda, Indonesia juga harus menunjukkan kepada Eropa bahwa Islam di tanah air adalah di satu sisi moderat dan toleran, namun di sisi lain modern dan berkemajuan. Ormas Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah sama-sama menolak tegas berdirinya negara Islam, anti-kekerasan, dan mendukung Pancasila/UUD’45.

Pemerintah kita juga secara tegas melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) maupun organisasi teroris apa pun yang membawa nama agama. Hal-hal positif ini yang seharusnya ditonjolkan pemerintahan Jokowi kepada Eropa, supaya mendapatkan kepercayaan penuh dari mereka. Kita harus membantu pemerintah untuk menunjukkan pada Eropa bahwa Indonesia tidak berniat memusuhi, namun justru berhubungan baik dengan mereka.

Kembali lagi, apa yang terjadi di Swiss sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah di Indonesia. Sebab, Islam moderat arus utama tidak pernah mengeluarkan fatwa melarang kolam renang campur maupun bersalaman dengan lawan jenis. Aksi pemerintah Swiss yang terkesan keras terhadap imigran Muslim bisa jadi disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap Islam itu sendiri, yang sesungguhnya juga mengusung ideologi moderat, toleran, dan modern juga seperti di Indonesia.

Ketidakpahaman ini yang sebenarnya bisa menjadi inisiatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperbanyak Rumah Budaya Indonesia (RBI) di luar negeri, terutama di area di mana kesalahpahaman terhadap Islam sangat kuat seperti di Swiss dan Inggris. Kementerian Pendidikan sudah mendirikan RBI di Timor Leste, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Prancis, Singapura, dan Turki.

Rumah Budaya Indonesia diharapkan juga dapat berperan menjelaskan Islam di Indonesia kepada Barat, yang tidak sesuai dengan praduga buruk mereka selama ini. Sementara itu, RBI juga bisa bekerja sama dengan organisasi non-struktural lain seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) maupun Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU dan Muhammadyah luar negeri sebagai perwakilan Islam moderat untuk mengoptimalkan program-programnya.

Lebih spesifik lagi, di Eropa kita seyogianya mendekati komunitas-komunitas yang memiliki ideologi sama dengan Dietrich Bonhoeffer, yang selalu terbuka untuk bekerja sama dengan kelompok mana pun. Seandainya Bonhoeffer masih hidup, saya sangat yakin dia bersama pengikutnya akan sangat terbuka untuk berdialog dan bekerja sama dengan komunitas Muslim moderat.

Kita tentu tak boleh kalah dengan Tiongkok, yang memiliki Konfucius Center di seluruh dunia, yang sukses menjadi proxy bagi soft power Negara Tirai Bambu tersebut.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.