Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang paling mewarnai sejarah bangsa kita. Pendirian NU dan Muhammadyah merupakan pergulatan suatu komunitas lokal, sebagai bagian dari bangsa ini, terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Kedua ormas ini telah melahirkan dua tokoh intelektual besar yang memiliki pemikiran otentik, yaitu almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan M. Dawam Rahardjo.
Di tengah tuduhan orientalis Barat bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan dan seksis, kemudian munculnya gelombang Neo-Khawarij ala kelompok Negara Islam (ISIS) yang penuh dengan kekerasan brutal, maka Islam moderat Gus Dur dan Dawam menjadi jawaban tegas terhadap semua tuduhan dan kekerasan tersebut.
Gus Dur dan Dawam menolak untuk menjadi wacana yang didefinisikan oleh Barat dan Neo-Khawarij, namun memilih menyajikan wacana yang otentik kepada bangsa ini dan dunia.
Di satu sisi, Gus Dur sudah terbiasa dikafirkan dan dilecehkan karena sikapnya mengadvokasi kelompok minoritas, misalnya memperjuangkan ekspresi budaya Tionghoa. Menurut Gus Dur, NU tidak akan memperjuangkan Negara Islam, karena hal tersebut tidak lebih dari sekadar utopia. Pancasila sudah final sebagai dasar negara kita dan harus selalu diperjuangkan.
Islam, bagi Gus Dur dan kyai NU, adalah “ruh” yang bersifat universal, sehingga tak perlu diformalkan dan semua sudah termaktub dalam Pancasila. Dalam episteme Gus Dur, formalisme dalam bentuk Negara Islam maupun Khilafah Islamiyah bukanlah suatu wacana yang lahir dari kearifan lokal maupun pergulatan bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga tidak perlu diterapkan di sini.
Di sisi lain, Dawam Rahardjo adalah sosok kontroversial karena mengundurkan diri sebagai pengurus Muhammadyah sebagai konsekuensi sikapnya yang membela Ahmadiyah maupun kelompok minoritas lain. Walaupun demikian, Dawam Raharjo tetap percaya bahwa “dalam hati, saya tetaplah Muhammadyah”.
Bagi Dawam, kebenaran bukanlah “narasi besar” yang bersifat hegemonik atau singular, namun tersebar di berbagai kalangan atau bersifat plural. Oleh karena itu, membela aspirasi mereka yang berbeda menjadi suatu keharusan. Jadi, seharusnya negara mengayomi dan melindungi semua agama, tidak hanya yang mayoritas saja.
Landasan episteme pluralisme Dawam Rahardjo bukanlah filsafat atau ideologi Barat, melainkan berangkat dari al-Qur’an sendiri pada surat al-Hujurat ayat 13, yang mengajak manusia dari berbagai suku dan bangsa untuk saling mengenal.
Islam otentik ala Gus Dur dan Dawam Rahardjo adalah Islam moderat, yang selalu percaya bahwa menunjukkan kekuatan dan kesolidan suatu kaum adalah dengan menyebarkan amal baik dan kasih sayang, bukan dengan mengumbar kebencian. Islam moderat bertentangan secara total dengan Khawarijme, yang percaya bahwa La Hukma illa Lillah (Tiada Hukum selain Hukum Allah) harus ditegakkan dengan pedang, namun tidak percaya dengan sifat lembut dan penyayang dari Nabi Muhammad SAW itu sendiri.
Bagi Gus Dur dan Dawam Rahardjo, bersahabat dengan agama maupun mazhab lain bukanlah tanda-tanda kelemahan sebagai seorang mukmin, namun justru itu menunjukkan kekuatan mereka sebagai nara sumber maupun sumber inspirasi nilai-nilai untuk mempengaruhi kelompok mana pun secara positif (soft power).
Islam otentik keduanya lahir dari pergulatan eksistensial yang mendalam terhadap berbagai masalah kemanusiaan dan keIndonesiaan yang bersifat kelokalan, namun memiliki kearifan global. Barat tidak bisa mendefinisikan mereka, karena episteme Barat punya dialektikanya sendiri pada konteks lokalitas mereka. Islam moderat bukan berangkat dari episteme Barat maupun “pihak luar” mana pun, namun dari para ulama yang bijak dan menghidupkan agama itu sendiri.
“Ulama adalah pewaris para Nabi”, begitu kata sebuah hadist. Karenanya, bermazhab mengikuti mereka adalah sesuatu yang sangat baik. Dalam hal ini, Gus Dur dan Dawam Rahardjo pantas untuk diikuti karena otentisitas mereka. Gus Dur dan Dawam juga telah mencontohkan bahwa kembali ke al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa dilakukan jika kita menguasai ilmu-ilmu dari para ulama. Sebab, tanpa ilmu tersebut, hasilnya hanya sikap ekstrim dalam beragama.
Baik Gus Dur atau Dawam selalu menggunakan referensi keilmuan yang sangat kuat: mengkaji al-Qur’an maupun Sunnah. Pemikiran keduanya menghasilkan wacana yang mencerahkan dan menyegarkan segenap pengikutnya.
Di tengah konflik berkepanjangan di Timur Tengah dan Afrika karena munculnya gerakan ekstrim Neo-Khawarij seperti ISIS, Boko Haram, dan Taliban, moderasi Gus Dur dan Dawam seakan menjadi pelita di dalam kegelapan. Terlepas dari basis teori konspiratif yang mengatakan bahwa gerakan ekstrim tersebut adalah buatan intelijen Barat dan Israel, otentisitas gerakan Islam di Indonesia berada di persimpangan jalan. Sebab, sikap yang jelas dan lugas terhadap ideologi ekstrim tersebut harus tersedia.
Islam memasuki kepulauan Nusantara dengan cara-cara damai dan perdagangan yang egaliter ala Wali Songo. Bukan dengan pedang dan bom ala Neo-Khawarij. Otentisitas Islam di Indonesia, yang menurut NU adalah Islam Nusantara dan menurut Muhammadyah adalah Islam Berkemajuan, adalah Islam yang membuka diri terhadap dialog kemanusiaan dengan kelompok, agama, dan mazhab mana pun.