Narasi dan perdebatan tentang hubungan antara agama (Islam) dengan negara atau din wa siyasah bakal terus berlanjut di masa depan karena beberapa faktor. Lebih daripada sekadar narasi. Dalam narasi juga terjadi kontestasi, konflik, kekerasan sektarian di antara kelompok-kelompok mazhab dan aliran politik di batang tubuh umat Islam.
Perdebatan, tarik tambang, kontestasi dan konflik itu mengakibatkan ketidakstabilan banyak negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim. Ketidakmampuan menyelesaikan kontestasi mengundang campur tangan kekuatan asing.
Narasi Tak Berujung, Kenapa?
Ketiadaan konsep yang jelas dalam al-Qurán dan Hadits. Yang ada hanya beberapa prinsip dasar tentang politik/pemerintahan/negara seperti: al-ádalah (keadilan), al-musawa (kesetaraan), syura (musyawarah/konsultasi). Hasilnya berbagai bentuk negara muncul sepanjang sejarah sejak masa Nabi Muhammad, pasca-Nabi (masa klasik, abad pertengahan dan modern) sampai sekarang.
Adanya bagian umat Islam yang meyakini tentang kesatuan antara agama dan negara. Pandangan ini menguat terutama setelah terjadinya pertemuan keras antara masyarakat-masyarakat Muslim dengan kekuatan perdagangan, ekonomi, politik dan kekuasaan Eropa (kemudian Barat keseluruhan).
Masyarakat Muslim umumnya tidak pernah mengalami sekularisasi seperti umat Kristianitas yang sejak abad 18 mengalami sekularisasi/pemisahan antara agama dan politik/negara. ‘Berikanlah hak kaisar kepada kaisar dan hak Paus kepada Paus’ menjadi paradigma dasar sekularisme yang diadopsi banyak negara Barat.
Belum berhasilnya eksperimen sistem kenegaraan moderen ala Barat di banyak negara Islam. Banyak negara Islam sejak Perang Dunia II menjadi negara otoriter (militer atau sipil) yang gagal menjalankan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan para warganya.
Bentuk Negara Masyarakat Muslim
Negara Madinah—yang tidak disebut ‘dawlah Islamiyah—di bawah pimpinan Rasulullah; kewargaan majemuk secara agama dan ras; diselenggarakan berdasarkan ‘konstitusi Madinah’, dokumen pertama dengan prinsip-prinsip HAM.
Al-Khilafah al-Rasyidah dengan pemangku kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun; suksesi berdasar merit dan keutamaan pribadi. Abu Bakr Shiddiq diangkat secara aklamasi dengan bayát dan menyebut dirinya sebagai Khalifatu Rasulillah; Umar bin Khattab diangkat melalui wasiat Abu Bakar mengganti sebutannya sebagai Amir al-Mu’minin; Usman bin Affan diangkat setelah terpilih dari 6 sahabat yang dinominasikan Umar; Ali bin Abi Thalib diangkat sebagian umat setelah terbunuhnya Usman dalam pengepungan rumahnya.
Sejarawan-cum-sosiolog Ibn Khaldun (1332-1406) menyimpulkan, tidak ada ‘khilafah’ pasca-al-Khalifah al-Rasyidah, yang ada hanyalah ‘mamlakah’.
Dinasti Umaiyah (41H/661M-132H/760M), suksesi kekuasaan berdasarkan tali darah keluarga Úmaiyyah, karena itu adalah mamlakah, bukan ‘khilafah’.
Dinasti Abbasiyah (132H/750M-656H/1258M); suksesi juga berdasarkan tali dari darah keluarga Bani Abbas; karena itu adalah mamlakah, bukan ‘khilafah’.
Dinasti Turki Usmani (1229-1924), suksesi kekuasaan juga berdasarkan tali darah Usmani; nama resminya Devlet-i Aliyet-i Osmaniye (Dawlah Tinggi Usmani); bukan khilafah
Agama dan Negara: Masa Moderen
Sekularisme; pemisahan agama dan negara. Republik Turki moderen setelah penghapusan Kesultanan Turki Usmani; negara tidak bersahabat dengan agama.
Integrasi agama dengan negara dengan al-Qurán sebagai ‘konstitusi’ dan penerapan syariáh; contoh tipikal Arab Saudi.
Akomodasi Islam dalam negara: Islam menjadi dasar negara modern dengan penerapan sistem politik dan hukum modern, seperti Mesir, Malaysia, Pakistan.
Akomodasi Islam dalam dasar negara yang kompatibel atau bersahabat dengan agama, khususnya Islam; contoh tipikal Indonesia dengan Pancasila.
Narasi ‘Khilafah’
Istilah ‘khilafah’ tidak ada dalam al-Qurán, apalagi dengan konotasi sebagai sistem politik dan kenegaraan.
Kata ‘khalifah’ dalam al-Qurán (QS 2:30) tentang penciptaan manusia di muka bumi (QS al-Shad:26) dengan tugas memakmurkan bumi Allah, menegakkan keadilan dan menghindari diri daripada dikuasai hawa nafsu angkara murka dan merusak alam.
Wacana kontemporer tentang ‘khilafah’ adalah romantisasi, idealisasi dan ideologisasi atas ‘’khilafah’ melalui misreading dan miskonsepsi.
Narasi ‘khilafah’ dapat menguat jika negara dan masyarakat Muslim gagal mewujudkan kemajuan di tengah berbagai tantangan dan disrupsi politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, sain-teknologi, dan agama. Wallahu a’lam bish shawab.
Disampaikan pada Webinar LTN-NU Sudan dan PCINU Turki, 4 September 2020