Senin, Oktober 7, 2024

Islam dan Barat Bukan Teroris (Tanggapan untuk Anzi Matta)

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
teroris-jahat
Pelajar membentang spanduk tolak radikalisme dan terorisme saat “Deklarasi dan Komitmen Bersama Menolak Radikalisme dan Terorisme” di Semarang, Selasa (26/7). ANTARA FOTO/R Rekotomo

Anzi Matta menulis kolom berjudul Ketika Barat Menunjuk Islam sebagai Terorisme (Geotimes.co.id, Selasa, 2 Agustus 2016). Semula saya tertarik dengan judul tulisan tersebut sebelum membacanya secara lengkap. Dengan judul demikian, saya berharap akan mendapatkan perspektif berbeda dibanding sejumlah kolom lain yang banyak tersebar di media, jurnal atau buku selama ini.

Namun setelah membacanya, saya merasa bingung karena antara judul dan isi tidak memiliki cukup alasan untuk dikatakan saling berhubungan. Logika penulisan dari paragraf satu ke paragraf yang lain juga tidak sinkron.

Paling tidak ada dua hal penting yang membuat judul dengan isi tidak menjelaskan kesinambungan. Pertama, judul tersebut seolah-olah ingin menunjuk umat Islam secara keseluruhan sebagai tertuduh dari anggapan Barat (Amerika Serikat dan Prancis) sebagai pelaku teror yang bertanggungjawab atas aksi-aksi berdarah selama ini.

Kedua, identifikasi “Barat” dengan hanya menunjuk AS dan Prancis dalam tulisan itu tidaklah cukup, terlebih karena ada banyak negara di benua Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, dengan menyebut Barat berarti juga menunjuk semua warga berkulit putih, termasuk di Australia dan Selandia Baru.

Pemakaian judul seperti itu berpotensi menyulut provokasi umat Islam terhadap Barat. Pesan yang tersirat seakan-akan kita disuruh untuk memusuhi AS dan Prancis. Anggapan yang seperti ini tidak dapat dibenarkan karena pelaku teror yang mengatasnamakan agama selama ini adalah sebagian kecil dari umat Islam.

Lalu, siapa sebagian kecil umat Islam yang dituduh teroris itu, yaitu umat Islam yang merasa mengalami ketidakadilan ekonomi, politik dan budaya, serta bermimpi ingin mengembalikan kejayaan Islam, sehingga memusuhi Barat dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Lebih dari itu, orang-orang tersebut adalah sebagian kecil umat Islam yang tengah melakukan manifestasi islamisme, wacana, dan aktivisme yang menggebu-gebu, sehingga menuntut reposisi peran Islam dalam ruang diskursif dan lanskap politik kenegaraan (Noorhaidi Hasan: 2010).

Selain penggunaan judul bernada provokatif, isi tulisan Anzi Matta juga cenderung ingin membenarkan perilaku kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau kelompok teror yang lain, khususnya pada subartikel “Paris, Ibu Kota Prostitusi dan Kemaksiatan”. Seolah-olah karena Prancis modern itu menjadi tempat bagi aktivitas prostitusi dan kemaksiatan, lalu penduduk negari ini berhak untuk ditembak, dibom, serta ditabrak dengan truk berkecepatan kuat.

Saya beranggapan, (mungkin) maksud Anzi Matta dalam tulisannya itu ingin membela agama Islam agar tidak selalu menjadi tertuduh dalam setiap peristiwa teror. Tetapi, dengan menuduh AS dan Prancis sebagai dua negara yang nyata-nyata pelaku teror karena telah melakukan invasi ke Irak dan menyerang Suriah sehingga menewaskan banyak warga sipil, tetap saja tulisan itu tidak nyambung dan tidak dapat dibenarkan.

Pasca Reformasi 1998, gelombang fundamentalisme Islam di Indonesia semakin menguat. Satu demi satu gerakan Islam transnasional bermunculan, baik Jamaah Salafi, Hizbut Tahrir, maupun Harakah Tarbiyah. Meski berbeda-beda kelompok, sesungguhnya ada sejumlah pokok pikiran yang segaris di antara mereka, yaitu memusuhi Barat dengan segala produk pemikiran yang berkembang darinya.

Khamami Zada dengan tegas mengkategorikan sejumlah kelompok Islam yang memusuhi dan menolak segala produk pemikiran yang berkembang dari Barat sebagai gerakan-gerakan Islam radikal (Khamami Zada, 2012). Tentu kategorisasi yang menyebut mereka sebagai kelompok Islam radikal tidak dalam rangka kembali menyudutkan kelompok Islam secara keseluruhan. Akan tetapi, dalam kajian akademis pengelompokan dengan berbagai varian seperti ini penting dalam rangka memahamkan publik.

Di era yang serba terbuka seperti sekarang, menolak perkembangan pemikiran berarti sama seperti berjalan ke belakang. Nah, jika umat Islam tetap terjebak dengan bersikap anti-Barat dan tetap menolak segala produk pemikiran yang berkembang di sana (sekulerisme, liberalisme, pluralisme, HAM, gender, dan demokrasi), sulit bagi kita untuk hidup dan berdamai dengan kemajuan peradaban.

Yang juga penting dipahami, bersikap anti-Barat dan menolak progresivitas serta mengagungkan eksklusivitas pemikiran, dapat menjadi benih bagi tumbuhnya doktrin terorisme. Sebab itu, di awal tulisan ini saya menyebut judul tulisan Anzi seolah-olah ingin membenarkan aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi.

Sayangnya, tidak sedikit umat Islam di negeri ini yang masih belum memahami hal ini. Bahkan perilaku yang beraras pada ekstrimitas agama tampak meningkat, terutama pasca Orde Baru tumbang. Benih ekstrimisme tersebut berkembang dari semakin banyaknya masyarakat yang mengaku sebagai “pembela Islam” dengan menyebar ujaran kebencian di media sosial, menyebut orang kafir (takfiri), dan aksi massa mengecam pemimpin non-Muslim, atau bahkan menolak fakta bahwa yang melakukan tindak terorisme selama ini adalah sebagian kelompok Islam.

Menghadapi fenomena yang menggelisahkan tersebut, tidak perlu bagi umat Islam untuk menceburkan diri dengan mengidentifikasi diri sebagai “Laskar Islam”. Sebab, berbagai aksi yang ditampilkan oleh kelompok-kelompok ini cenderung menyulut terjadinya tindak kekerasan seperti selama ini terjadi.

Cendekiawan Muslim Ahmad Syafii Ma’arif dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan, sekarang ini ada kecenderungan sekelompok orang yang mengaku sebagai pembela Islam: memusuhi Barat, melakukan perusakan tempat ibadah agama lain, dan bersepeda motor dengan bergerombol sambil meneriakkan Allahu Akbar. Padahal Islam tidak perlu dibela, kita cukup mengamalkan nilai-nilai Islam dengan perbuatan dan lisan.

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.