Salafisme adalah sebuah doktrin yang mengusung gerakan pemurnian (puritan) teologis. Pada posisi ekstrimnya, salafi menganut doktrin jihad. Kata ini berarti “perjuangan”, “berjuang” dalam bahasa Arab, dan memuat banyak definisi. Akan tetapi, ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979, definisi utama jihad dalam konteks ini menjadi “perlawanan bersenjata”.
Kaum salafi yang kuat mengusung tema jihad bersenjata ini kemudian dikenal dengan Salafi Jihadi. Contoh kelompok atau organisasi yang berideologi Salafi Jihadi adalah al-Qaidah dengan segenap cabangnya.
Jadi, Salafi Jihadi adalah varian baru dari gerakan salafi atau yang selama ini kita kenal dengan Wahabi. Memang, secara teknis istilah Wahabi tidak diakui kalangan salafi. Namun, banyak kalangan tetap menggunakan sebutan “Wahabi”, karena semata-mata menisbatkan pada nama pengasas sekte ini yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan kalangan salafi sendiri keberatan dengan nama Wahabi, karena istilah tersebut dianggap bernada peyoratif ketika dilafalkan.
Doktrin jihad sebagai perlawanan bersenjata atau perang memang tak dimonopoli oleh kaum salafis. Banyak gerakan militan non-salafi bersenjata seperti HAMAS di Palestina dan Taliban di Afghanistan juga menyebut dirinya adalah mujahidin (jihadis). Kaum jihadis ini memiliki keyakinan bahwa lemahnya umat Islam sehingga bisa dijajah lantaran umat meninggalkan ibadah jihad.
Tak bisa dibantah, kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sebagai “anak kandung” al-Qaidah juga termasuk dalam aliran Salafi Jihadi, meski dalam perjalanannya si anak ini akhirnya “durhaka” pada induknya. Pada fase berikutnya jihadis ISIS berkenalan dengan konsep takfirisme, mengkafirkan sesama umat Islam, memasukkan kelompok Syiah dan setiap muslim Sunni yang tidak mengikuti ajaran Salafi Jihadi yang menimbulkan konsekuensi hukum yang hampir selalu berupa hukuman mati.
Usamah bin Ladin tak pernah menggunakan kategori kafir ini, sebab ibunya adalah keturunan Alawite Suriah, dan salah satu leluhurnya adalah Syiah.
Pada posisi ekstrim, jihadis salafi ISIS memperluas definisi kuffar (orang-orang kafir) bahkan mengkafirkan kelompok Salafi Jihadi yang lain karena tidak segaris dengan misi “jihad” ISIS. Dengan kata lain, ISIS telah menjadi ultra-salafi jihadi.
ISIS puritanisasi sebagai ciri khas salafi ditegakkan ISIS di setiap wilayah yang dikontrolnya; penghancuran situs-situs purbakala karena dianggap berhala, dan segala praktik keagamaan yang menyimpang karena dianggap bercampur dengan tradisi lokal diberangus.
Sebagai pewaris Salafi Jihadi al-Qaidah, ISIS menolak ide-ide sekuler sepert demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain karena dianggap warisan Barat atau kafir. Penerapan syariat Islam hanya sah di bawah naungan khilafah, sehingga negara yang menerapkan formalisasi syariat seperti Saudi Arabia dan Brunei tak lebih dari thagut (tiran) bagi ISIS. Maka, mustahil memahami ISIS tanpa mengenali lebih dulu apa itu aliran salafi, khususnya salafi jihadi.
ISIS juga menganggap jihad sebagai ibadah yang rentan dengan penyimpangan dalam praktiknya. Bagi ISIS, jihad tak bisa dicampur dengan semangat nasionalisme atau dibatasi sekat-sekat negara bangsa, seperti yang dilakukan militan HAMAS yang berjihad untuk kemerdekaan Palestina atau Taliban yang hanya beroperasi di Afghanistan.
ISIS ingin menawarkan jihad yang murni tanpa terkontaminasi nasionalisme. “Wahai umat Islam, perangi negaramu. Ya, negaramu. Karena Suriah bukan untuk orang Suriah, Irak bukan untuk orang Irak.” Abu Bakar al-Baghdadi, yang saat itu berkhutbah di Masjid al-Nuri, Mosul, 28 Juni 2014, beberapa hari setelah kota tersebut berhasil dicaplok ISIS.
Di Suriah, ekspansi ISIS dipuji sebagai langkah yang strategis. Suriah menjadi tanah paling ideal, baik secara geopolitik maupun geoideologis, sebagai habitat jihad, setelah meletus perang saudara. Daya tarik ini dirasakan hingga luar kawasan. Tak ada aktivis salafi jihadi di belahan bumi mana pun, kecuali tertarik untuk datang. ISIS mendapat sumber daya manusia (SDM) melimpah jihadis salafi di negeri ini.
Dalam perang Suriah, jihadis salafi pindah haluan dari kelompok satu ke kelompok salafi jihadi yang lain adalah suatu hal yang biasa, sebagaimana kelompok mereka berganti nama dan bendera, atau merger antar kelompok salafi jihadi. Seringkali ISIS memangsa milisi salafi jihadi yang lebih kecil yang tak mau bergabung dengannya guna merebut wilayah operasional mereka. Ini mirip dengan perang mafia untuk berebut wilayah kekuasaan.
Sementara itu, Jabhat Nusrah di Suriah yang belakangan berganti nama menjadi Jabhat Fath al-Sham (Front Penakluk Syam) pasca-cerai dari al-Qaidah memilih memposisikan diri sebagai jihadis “nasionalis” tanpa ambisi internasional. Hipokrisi ini menyebabkan ISIS semakin memonopoli narasi jihadis-salafi global dan visinya untuk menaklukkan dunia.
Peperangan di Suriah telah menjadi “universitas” salafi jihadi dari berbagai gerakan dan organisasi. Bersaing tak hanya untuk memenangkan predikat menjadi siapa jihadis yang paling sejati, tapi juga siapa yang paling “Wahabi” di antara mereka.