Sebuah adagium kuno berbisik bahwa kesopanan adalah cerminan kebijaksanaan. Namun, di ambang revolusi kecerdasan buatan yang mengubah lanskap interaksi kita, benarkah nilai luhur ini masih relevan, atau justru menjadi beban tak terduga? Coba renungkan sejenak: ketika Anda mengetikkan perintah sakral kepada entitas ajaib bernama ChatGPT, atau melontarkan pertanyaan penasaran kepada para chatbot AI yang kian canggih, apakah secara refleks bibir Anda mengucapkan “tolong” dengan intonasi mengharap? Dan tatkala rangkaian kata-kata jawaban tersaji di layar, apakah “terima kasih” meluncur otomatis, sebuah kebiasaan yang mendarah daging dalam interaksi antar manusia?
Siapa sangka, kebiasaan sopan santun yang kita junjung tinggi ini justru menjadi duri dalam daging bagi perusahaan raksasa di balik layar, OpenAI. Sebuah paradoks yang mencengangkan terungkap: keramahan verbal kita kepada entitas digital ini diam-diam menggerogoti pundi-pundi mereka hingga puluhan juta dolar! Ini bukanlah sekadar rumor belaka, melainkan pengakuan blak-blakan dari nahkoda OpenAI sendiri, sang visioner Sam Altman. Laporan yang akan menyusul akan mengupas tuntas misteri di balik biaya tersembunyi dari “tolong” dan “terima kasih” kita kepada para penguasa dunia digital ini.
Sejak kita membuka mata dan berinteraksi dengan dunia sosial, sopan santun telah ditanamkan sebagai fondasi hubungan yang harmonis. Ucapan terima kasih atas pujian yang menghangatkan hati, bantuan yang meringankan beban, atau jawaban yang memuaskan rasa ingin tahu, telah menjadi simfoni kecil dalam interaksi sehari-hari. Namun, kini, dengan kecerdasan buatan yang semakin merajalela dan menenun dirinya ke dalam hampir setiap aspek kehidupan kita, sebuah fenomena unik muncul: kita tanpa sadar memperlakukan entitas digital ini dengan tata krama yang sama. Berbagai survei di belahan dunia mengonfirmasi tren yang menarik ini. Di jantung inovasi teknologi, Amerika Serikat, 67% pengguna chatbot seperti ChatGPT kedapatan bersikap sopan dalam interaksi mereka. Di negeri teh dan tata krama, Inggris Raya, angkanya bahkan melambung hingga 71%. Fenomena ini bukanlah anomali regional; di berbagai penjuru bumi, pemandangan orang-orang yang mengetikkan “tolong” dan “terima kasih” kepada ChatGPT telah menjadi pemandangan yang lazim.
Namun, di balik kebiasaan luhur yang kita praktikkan tanpa sadar ini, tersembunyi sebuah paradoks ekonomi dan ekologis yang mengejutkan. Ini bukanlah sekadar asumsi belaka, melainkan pernyataan tegas dari pucuk pimpinan OpenAI, sang inovator Sam Altman, yang mengungkapkan bahwa keramahan verbal kita kepada ChatGPT ternyata menelan biaya hingga puluhan juta dolar! Sebuah angka yang mungkin terdengar fantastis dan sulit dipercaya. Bagaimana mungkin mengucapkan “terima kasih” atas bantuan ChatGPT menulis catatan sederhana bisa berimplikasi finansial sebesar itu? Tampaknya sepele, nyaris otomatis seperti kedipan mata. Akan tetapi, mari kita telaah lebih dalam mekanisme di baliknya. Setiap kata, sekecil apapun, yang kita lontarkan kepada chatbot AI memerlukan serangkaian proses rumit. Sistem harus menganalisis, menafsirkan, dan memproses pesan tersebut sebelum akhirnya merangkai jawaban yang seringkali panjang dan kompleks. Rangkaian operasi digital ini membutuhkan energi listrik, yang secara langsung berkonversi menjadi biaya operasional dan waktu komputasi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, bayangkanlah: setiap kali kita mengajukan pertanyaan kepada ChatGPT, kita secara tidak langsung mengonsumsi sekitar 2,9 watt jam energi. Sekilas, angka ini mungkin tampak insignifikan. Namun, jika kita membandingkannya dengan konsumsi energi untuk satu pencarian Google tradisional yang hanya membutuhkan 0,3 watt jam, perbedaannya menjadi mencolok—hampir sepuluh kali lipat! Dan ironisnya, semakin panjang dan kompleks perintah yang kita berikan, atau semakin detail dan ekstensif jawaban yang kita harapkan, semakin besar pula energi yang dibutuhkan. Ambil contoh sederhana: menghasilkan sebuah email seratus kata saja dapat menghabiskan 14 kilowatt jam listrik, energi yang cukup untuk menyalakan empat belas lampu LED selama satu jam penuh! Mengingat volume pencarian global di Google yang mencapai sekitar 9 miliar setiap harinya, kita dapat membayangkan betapa besar permintaan energi yang dihasilkan—hampir 10 terawatt jam per tahun, atau setara dengan 10 triliun watt jam, cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan listrik sebuah negara kecil.
Implikasinya jelas: kesopanan satu kata yang kita tunjukkan kepada ChatGPT tidak hanya membebani infrastruktur bot itu sendiri, tetapi juga kita sebagai pengguna secara tidak langsung. Di suatu lokasi yang mungkin jauh dari jangkauan mata kita, berdiri megah pusat-pusat data AI yang terus beroperasi, dan merekalah yang menanggung beban biaya energi yang terus membengkak akibat interaksi kita. Industri kecerdasan buatan memiliki ketergantungan yang sangat besar pada pusat-pusat data ini untuk melatih dan menjalankan model-model canggih mereka. Setiap kali kita mengajukan pertanyaan kepada AI, pusat data inilah yang bekerja keras, mengonsumsi energi dalam jumlah besar, dan tanpa kita sadari, turut menyumbang pada krisis senyap yang mengintai—perubahan iklim. Fenomena ini sama sekali tidak terbatas pada ChatGPT. Sejak tahun 2020, Microsoft telah secara agresif memperluas jaringan pusat datanya dalam upaya untuk memperkuat dominasinya di ranah AI. Konsekuensinya? Emisi karbon perusahaan tersebut melonjak hampir 30%. Pada tahun 2023, jejak karbon Google bahkan 50% lebih tinggi dibandingkan tahun 2019, sebagian besar disebabkan oleh permintaan energi yang luar biasa besar dari pusat-pusat datanya. Faktanya, pusat data yang mendukung operasional chatbot secara global kini menyedot sekitar 2% dari total konsumsi energi dunia, dan ironisnya, situasinya diperkirakan akan terus memburuk seiring dengan adopsi AI yang semakin meroket dalam kehidupan kita.
Maka, terperangkap dalam jaring kebiasaan yang mendarah daging, atau mungkin dihantui oleh bayang-bayang distopia tentang pemberontakan kecerdasan buatan di masa depan, kita mungkin akan terus melontarkan ucapan terima kasih kepada entitas-entitas AI ini. Sebuah refleks tanpa sadar, sebuah warisan dari interaksi antar manusia yang kita bawa ke ranah digital. Namun, ironisnya, dalam lanskap kecerdasan buatan yang serba efisien, keramahan verbal kita justru menjelma menjadi paradoks. Bersikap sopan, yang selama ini kita junjung tinggi sebagai fondasi interaksi yang baik, dalam konteks AI justru dapat dipandang sebagai tindakan yang kurang bijak. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada implikasi biaya energi yang tersembunyi di balik setiap kata yang kita ucapkan kepada mesin-mesin pintar ini. Setiap “terima kasih” yang terucap, setiap “tolong” yang terketik, berkontribusi pada jejak karbon digital yang semakin membengkak, sebuah konsekuensi tak terduga dari adab yang kita praktikkan.