Sabtu, April 27, 2024

Irman Gusman dan Mimpi Penguatan DPD

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
gusman
Ketua DPD Irman Gusman memasuki mobil tahanan KPK, Sabtu (17/9). ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma

Penangkapan Irman Gusman terkait suap kuota gula menyeret Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada situasi yang “pahit”. Penangkapan itu membuat rencana penguatan DPD menjadi tabu diperjuangkan.

Bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak menyetujui penguatan DPD, penangkapan Irman menambah alasan untuk mengabaikan mimpi penguatan kamar baru lembaga legislatif itu. Pada titik ini, kealpaan individu bisa saja dikapitalisasi menjadi kejahatan kelembagaan.

Agar isu penangkapan Ketua DPD itu tidak menjadi “liar”, DPD harus bersikap lebih tegas. Pilihan DPD untuk meminta maaf atas penangkapan Irman (Kompas, 19/9) tentu tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik pada institusi tersebut. Langkah DPD semestinya berbeda dari sikap DPR yang pasif ketika anggotanya terlibat perkara korupsi.

Salah satu sikap yang ditunggu adalah memberikan sanksi sosial-politik. Misalnya, pencabutan papan nama anggota DPD pada ruangan bersangkutan. Tindakan keras seperti itu diperlukan. Selain memberikan efek jera pada anggota DPD yang lain, langkah itu diharapkan mampu mengembalikan marwah DPD yang tercoreng.

Dampak negatif bagi DPD itu sesungguhnya dapat dicegah Irman Gusman dengan bertindak positif. Bukan melalui perlawanan terhadap upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi dengan membantu lembaga anti-rasuah itu membongkar perkara. Apalagi KPK tidak akan mungkin gegabah menangkap figur politik sepenting Irman Gusman tanpa alat-bukti yang kuat.

Memberikan pengakuan dan bekerjasama dengan KPK (justice collaborator) dalam kasus kuota gula impor tidak hanya berpotensi mengurangi hukuman Irman, tetapi juga akan “menyelamatkan” DPD dari bencana kelembagaan. Irman dapat pula memilih mundur dari jabatannya sebagai bentuk melindungi kelembagaan DPD. Sikap seperti itu membutuhkan jiwa besar yang kerap absen dari figur penting yang ditangkap KPK.

Sikap mengakui kealpaan pernah dicontohkan politisi senior Aaron Burr (mantan Wakil Presiden Amerika dan Senator New York) yang diduga membunuh Alexander Hamilton. Burr memilih melakukan pidato pengunduran dirinya di depan sidang Senat agar lembaga perwakilan tersebut tidak terimbas kasusnya.

Burr menyebutkan bahwa Senat (DPD Amerika) merupakan lembaga pelindung konstitusi terakhir dan benteng hukum yang dapat dirusak para politisi buruk dan berperangai korup, namun Tuhan akan menyelamatkan lembaga ini melalui konstitusi dan membiarkan pelakunya dihukum di hadapan Senat secara menyedihkan (Richard A. Baker; 2006).

Kalimat Burr itu merupakan bentuk hukuman pada dirinya sendiri. Sejarah mencatat bahwa pengunduran diri Burr menyebabkan dirinya dianggap sebagai patriot politik. Itu sebabnya langkah Burr meninggalkan Senat diiringi tangisan haru karena nasib politiknya yang malang dan sikap jantannya mengakui kesalahan.

Apabila Irman Gusman memilih bersikap seperti Burr, bukan tidak mungkin sejarah akan mencatat bahwa Ketua DPD itu telah melakukan upaya politik terakhir untuk menyelamatkan institusi yang dipimpinnya. Bersediakah Irman Gusman?

DPD dikenal sebagai lembaga perwakilan dengan kewenangan kerdil. Peristiwa tertangkapnya Irman tentu menyadarkan publik bahwa sekecil apa pun kewenangan yang dimiliki lembaga perwakilan selalu berpotensi disimpangkan. Apalagi jika kewenangan DPD disetarakan dengan DPR.

Prasangka publik itu tidak sepenuhnya benar apabila kewenangan DPD dirancang sebagai alat koreksi terhadap kewenangan DPR. Begitu juga sebaliknya, kewenangan DPR sebagai koreksi terhadap tindakan DPD. Tindakan menyimpang Ketua DPD yang kerap pula dilakukan anggota DPR itu bukan tidak mungkin berasal dari bangunan kewenangan yang tidak setara antara dua kamar parlemen.

Tanpa ada saling koreksi di parlemen, anggota DPR berpotensi bermain dalam “pasar korupsi” berskala nasional dan DPD menjadi pebisnis pengaruh politiknya pada korupsi di tingkat lokal.

Itu sebabnya peristiwa penangkapan Irman Gusman semestinya menjadi kesadaran baru untuk melakukan penguatan DPD agar tercipta dua lembaga parlemen yang setara dan mampu saling mengawasi (konsep strong bicameral). Mungkinkah mimpi buruk Irman Gusman berakhir menjadi mimpi indah DPD? Sebuah blessing in disguise.

Feri Amsari
Feri Amsari
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.