Sabtu, April 20, 2024

Irma Bule dan Teologi Kontra Kemiskinan

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

irma-bule-dead

Kita sering menghukum asap, tanpa melihat–apalagi menghukum–api. Allah memang sejak awal menyindir kita sebagai makhluk yang berkecenderungan tergesa-gesa (QS. Al Isra’: 11).

Itulah yang kita lihat dalam perkara Irma Bule, penyanyi dan penari dangdut Pantura yang identik dengan berjoget bersama ular. Dia, seperti wanita-wanita lain sepertinya, kerap dicibir, dilecehkan lantaran dihukum sebagai wanita tak seronok. Padahal, seperti ditulis Emha Ainun Nadjib di Kompas pada 4 Mei 2003, ketika ramai perdebatan soal goyang ngebor Inul yang melibatkan Bung Haji Rhoma Irama di garda depan sebagai penentangnya, pantat Inul (seperti juga pantat Irma dan pedangdut lain) adalah wajah kita semua. Ia lahir dari rahim budaya dangdut kita. Ia lahir dari permintaan, bahkan tuntutan mata konsumennya, yakni kita sendiri.

2 April lalu, Irma meninggal oleh bisa ular yang diajaknya berjoget. Kematiannya heboh, hingga ke seantero dunia, mengisi kolom-kolom media internasional. “Bagaimana mungkin dia bisa bertahan 45 menit, sedangkan secara medis seharusnya tak lebih 5 menit?,” tulis New York Daily News.

Saya pribadi punya pertanyaan lain, “Pernahkah kita bertanya mengapa ia sampai begitu (sesuatu yang kita nilai tak seronok itu)?” Kata pawang, Irma memaksa untuk terus menari demi honor. Begitu pula alasan ia memilih begitu. Ironi!

Lagi-lagi, ini soal kemiskinan. Kefakiran yang kata Sayyidina Ali bisa menyeret orang pada kekafiran. Irma salah satu korbannya. Meski ia tak sampai kafir. Bahkan, menghukum ia tak di surga juga kita tak bisa. Bukan hanya karena itu hak preogratif Tuhan. Tapi juga alkisah seorang pelacur pun bisa menghuni surga hanya karena di akhir hidupnya memberi minum seekor anjing.

Bagaimana dengan Irma, yang bahkan bertahan demi honor untuk memberi makan dan minum keluarganya?

Irma adalah korban. Ia “asap”. Asap dari api keserakahan sebagian kita. Karena, seperti kata Mahatma Gandhi, setiap ada yang berlebih (serakah), pasti ada yang kekurangan. Ia juga korban keserakahan pejabat kita yang korup. Uangnya “dicuri” mereka. Bahkan, janji negara dalam undang-undang untuk menjamin orang miskin seperti Irma, juga dikorupsinya.

Sejak dulu, orang-orang miskin seperti Irma telah menjadi salah satu problem dasar utama yang mencengkeram masyarakat kita. Tentu ada banyak faktor penyebabnya. Keserakahan salah satu yang utama. Namun, bukan itu yang akan saya bahas di sini.

Adapun yang akan saya kemukakan dalam tulisan ini mungkin bukan faktor utama. Namun penting untuk disadari agar kemiskinan takkan membuat kita jatuh ke titik nadir, pasrah meratapi nasib. Agar semangat untuk mengubah keadaan muncul, tanpa berharap pada negara yang pemerintahnya sudah terlalu sering mengecewakan kita. Mungkin, seperti yang dilakukan Irma, yang terus berjoget.

Faktor yang saya maksud, mengingat negeri ini mayoritas Muslim, adalah problematika teologi; teologi Jabariyah yang–diam-diam–memang masih kental dalam tradisi keberagamaan masyarakat kita. Teologi Jabariyah yang super determenistik dalam menggantungkan nasib dan kehendak manusia pada kehendak Tuhan menjadikan masyarakat kita pasrah sebagai seorang yang miskin. Alasannya pun sangat sederhana: “ini kehendak Tuhan atas nasib kita yang patut kita terima dengan lapang dada dan sabar”.

Semua itu merupakan ekspresi terdalam dari sebagian masyarakat kita yang secara teologis telah terdoktrin oleh logika jabr. Sehingga, mereka pun diam, tak berusaha, bahkan seolah menikmati kemiskinannya dengan tercandu oleh asumsi teologis bahwa suatu hari Tuhan akan memberikan imbalan baginya, baik dengan menjadikannya tak lagi miskin suatu hari nanti atau mengganjarinya surga di akhirat kelak.

Corak teologi semacam itu telah lama masuk dalam sendi-sendi budaya bangsa kita dan menjadi paradigma umum sebagian masyarakat kita. Karenanya, walau mengalami penderitaan dan perlakukan tak adil dan sesadis apa pun, mereka tak pernah sadar. Mereka telah ditidurkan oleh candu teologi itu.

Roland Barthes telah mengingatkan kita tentang hal itu. Walaupun ia lebih menariknya pada konteks kaitan semiotika dan budaya, bukan teologi dan budaya. Dalam karyanya Mythologies (1957), kira-kira Barthes menyebutnya sebagai budaya konotatif; pergeseran makna denotasi menjadi konotasi. Sehingga, sebagaimana terjadi pada masyarakat kita, mereka lebih memilih dan senang berkonotasi; sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana adanya. Mungkin semacam prasangka baik (husnudzon) yang berlebihan dan tak kritis, hingga menyesatkan dan menyengsarakan.

Oleh karena itu, nyaris takkan pernah ada sesuatu yang salah; semua benar secara konotatif. Di sini, “kegagalan” disebut sebagai “sukses yang tertunda”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, dan yang terparah serta benar-benar menyengsarakan adalah “kemiskinan” dipahami sebagai “suratan takdir”.

Dengan begitu, masyarakat kita kemudian benar-benar telah dimandulkan jiwa kritisnya dan direngguh kesadaran hidupnya hingga titik nadir: ketika dalam penderitaan dan kesengsaraan mereka masih merasa survive, justru dengan manajemen membohongi diri sendiri.

Friedrich Nietzche menyebut sikap semacam itu sebagai sikap berkata “tidak!” pada hidup yang muncul dari moral budak yang terjajah, bukan moral tuan yang merdeka. Dan ia begitu membenci sikap itu. Sebab, jika suatu masyarakat dalam suatu bangsa telah berbudaya semacam itu, maka dekadensi akan terus menggerogoti bangsanya.

Sebagaimana dikemukakan Emha Ainun Nadjib (2005), dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal budaya “mupus”: tak ambil pusing terhadap suatu masalah, tapi juga tak pernah diselesaikannya. Semacam tagline acara Indonesia Lawak Klub (ILK): menyelesaikan masalah tanpa solusi.

Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural yang dirasakan oleh rakyat kita hingga saat ini kandas dengan kata sakti: “takdir Tuhan”. Korupsi yang kian ganas menggerogoti uang rakyat yang menjadi salah satu sebab utama kemiskinan dirasa cukup dijawab dengan ungkapan; “Gusti Allah mboten sare!”, (Tuhan tidak tidur!). Dan, masalah pelik itu pun seolah selesai. Dan, sebagaimana sejak kemunculannya, logika jabr semacam itu disukai, bahkan dirawat oleh penguasa yang korup.

Irma juga bisa jadi begitu. Ia mungkin kesal lantaran uangnya “dicuri” keserakahan. Berjoget dan dengan ular pula, mungkin bentuk protes kerasnya yang–ironisnya–justru kita lihat sebagai hiburan. Lalu, ia memilih “mupus”. Tanpa kepedulian lagi. Seperti mahasiswa yang berteriak setiap kenaikan bahan bakar minyak (BBM), lalu berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, dan kembali menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa peduli ini dan itu.

Maka, tragedi Irma seharusnya pukulan telak bagi kita. Kita yang abai dan terus korup, terus serakah.

Di sisi lain, kaitannya dengan logika jabr, di sinilah peran penting dan mendasar agama(wan) dalam tatanan kebangsaan. Sebagai ornamen paling dasar dan kokoh dalam menopang moral masyarakat, mendesak bagi mereka untuk segera mencerahkan–bahkan mungkin mendekonstruksi–paradigma teologi serta moral keagamaan dan kebangsaan masyarakat kita. Agar masyarakat tak lagi berteologi dan berparadigma pro-kemiskinan. Seperti yang pernah dikatakan Sayyidina Ali, mengajak masyarakat untuk “lari” dari satu takdir menuju takdir yang lain.

Bukankah Nabi Muhammad sendiri melarang umatnya untuk ber-tawakkal tanpa usaha? Bukankah pula Nabi memerintahkan umatnya untuk ber-husnudhon dengan tetap kritis? Menempatkan segala sesuatu secara adil, pada tempatnya.

Terakhir, yang tak kalah pentingnya, tuntutan bagi agamawan untuk tak hanya menghukum “Irma”, tapi mengantisipasi yang belum dan mendidik yang sudah.

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.