Di tengah dunia yang makin sunyi terhadap penderitaan Palestina dan makin tuli terhadap jeritan Gaza, Iran tegak berdiri: bukan sekadar negara yang tersudut oleh sanksi dan serangan, tetapi sebagai kutub perlawanan dalam arsitektur geopolitik global yang timpang. Iran hadir demi melawan ketidakadilan ketika bangsa-bangsa membisu: menyaksikan kemanusiaan diinjak-injak secara telanjang oleh keangkuhan rezim Netanyahu dan Donald Trump yang brutal.
Konflik Iran-Israel yang kembali meletus sejak 13 Juni 2025 bukanlah sekadar bentrokan militer biasa. Ia adalah manifestasi dari asimetri kekuasaan internasional yang, meminjam istilah Edward Said, menetapkan siapa yang berhak dianggap “beradab” dan siapa yang terus dicurigai sebagai “ancaman.” Dalam dunia pasca-Perang Dingin, Israel menjelma menjadi tangan panjang kekuatan adidaya, sementara Iran dicap sebagai “the Other” yang harus dikendalikan, bahkan dimusnahkan.
Namun Iran tak sekadar mampu bertahan. Ia dengan tegas menolak tunduk: menjelma menjadi kekuatan simbolik-psikologis; mewakili jeritan jutaan manusia di belahan ufuk yang marah pada Israel. Dengan semangat post-kolonial dan keberanian historis, Iran memahami bahwa dunia hari ini masih dijalankan oleh logika unipolar, di mana suara satu blok diklaim sebagai kebenaran universal. Melalui kaca mata world-system theory Immanuel Wallerstein, Iran berdiri sebagai kekuatan semi-periferal yang menolak dikooptasi pusat kapitalisme global. Ya, dengan begitu, Iran menolak kolonialisme baru dalam bentuk apa pun.
Iran bukan pecundang nekat. Dengan rudal balistik, drone kamikaze, dan kekuatan cyber warfare yang tak bisa diremehkan, mereka membangun strategic deterrence, yakni sinyal bahwa mereka takkan dikebiri tanpa perlawanan. Lewat pendekatan realisme struktural Kenneth Waltz, kita menjadi mafhum bahwa di tengah sistem internasional yang anarkis, setiap negara punya hak mempertahankan eksistensi. Bagi Iran, serangan atas markas atau fasilitas nuklir bukan sekadar agresi, melainkan ancaman ontologis yang jawabannya hanya satu: melawan. Kita tahu, martabat atau harga diri itu tak bisa dibunuh.
Perlawanan Iran bukan semata-mata karena amarah, melainkan karena keyakinan bahwa diam adalah bentuk lain dari mati. Penghuni semesta sadar bahwa Palestina bukan sekadar isu agama, melainkan luka kolektif dunia ketiga yang dibiarkan membusuk di depan mata dunia.
Banyak negara memilih diam seribu-bahasa demi stabilitas. Tapi Iran tahu, stabilitas yang dibangun di atas ketidakadilan hanyalah jeda menuju kehancuran yang lebih besar. Dan dalam jeda itu, kita menyaksikan, Gaza dibakar.
Iran, dengan segala paradoks dan kelemahannya, memilih bersuara ketika dunia memilih sunyi. Menjadi suara sumbang yang menggugat konsensus dan kesadaran palsu. Menjadi yang berdiri, ketika banyak yang tiarap dan bisu. Dalam lanskap global hari ini, keberanian semacam itu jauh lebih langka—dan tentu lebih berharga dan bermartabat—daripada misil-misil presisi.
Akankah perang ini meluas? Kemungkinan besar, ya. Meskipun dunia teriak lantang minta perang segera diakhiri. Setidaknya sebagai bentuk perang dingin akan terus berkepanjangan. Iran tidak akan mundur. Israel tidak akan melepas kontrol. Pun Amerika, seperti biasa, akan terus bermain sebagai penyulut di balik layar sambil menyebut dirinya “penjaga stabilitas.”
Namun satu hal jelas: kita sedang menuju fragmentasi tatanan dunia. Dunia multipolar bukan lagi mimpi. Ia tengah lahir di atas puing perang dan luka simbolik. Dan dalam realitas baru itu, Iran bukan hanya pemain, tetapi penanda zaman bahwa Global South belum mati; bahkan kapan pun terus menyala.
Indonesia tidak harus memilih pihak secara militer, tetapi mesti menentukan sikap secara moral. Sebagai bangsa yang sama-sama pernah merasakan ketidakadilan dan kebrutalan kaum penjajah, seharusnya kita bersikap lebih tegas. Bila kita benar menjunjung keadilan dan kemerdekaan, maka perilaku diam hari ini bukanlah netralitas: melainkan pengingkaran terhadap sejarah kita sendiri.
Karena jika tak satu pun negeri Muslim bersuara lantang, apa arti “dunia Islam” yang kita banggakan itu? Dan jika tak satu pun negara Dunia Ketiga berdiri di sisi perlawanan, maka kekalahan kita bukan soal senjata, tapi soal martabat yang kita buang sendiri.