Jumat, Maret 29, 2024

Yerusalem dan Kematian Perdamaian

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Donald Trump memang keras kepala sekaligus sangat provokatif. Ketika gelombang protes dan kemarahan terhadap keputusan sepihaknya tentang Yerusalem belum benar-benar reda, Presiden AS itu kembali melanjutkan provokasi dalam masalah yang sama. Melalui Juru Bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert belum lama ini, pemerintah AS mengumumkan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem Timur akan dilakukan pada 14 Mei 2018, tepat pada hari yang oleh masyarakat Timur Tengah disebut sebagai al-Nakbah (bencana).

Hari itu diperingati sebagai hari pendirian negara Israel yang ke-70. Awal pekan lalu Trump sendiri bahkan menyatakan akan menghadiri prosesi pemindahan tersebut (5/3).

Penolakan luas dan panjang masyarakat internasional terhadap keputusan Trump sebenarnya bisa diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap usaha perdamaian Israel-Palestina. Keputusan Trump untuk menindaklanjuti keputusan itu jelas mengecewakan para pendukung usaha perdamaian.

Banyak kalangan segera menyimpulkan bahwa sikap AS ini diperkirakan akan menutup usaha mendorong kembali proses perdamaian yang sedang macet. Apalagi AS telah bersikukuh mempertahankan kebijakan itu dengan beragam cara, termasuk menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB dan menebar ancaman kepada negara-negara lain jelang sidang Majelis Umum PBB beberapa waktu lalu.

AS, mediator terpenting dalam usaha perdamaian Israel-Palestina selama hampir tiga dekade, mengambil sikap yang sangat bertentangan dengan sikap yang harus dimiliki mediator. AS sudah melangkah sangat jauh dalam menunjukkan keberpihakan yang “terlalu” terhadap Israel. Negara ini seharusnya menunggu hasil perundingan final antara kedua pihak dalam memberikan keputusan. Apalagi ini menyangkut status kota suci Yerusalem yang memiliki sensivitas begitu tinggi.

Namun, apakah benar keputusan itu akan jadi penanda “kematian” proses perdamaian Israel-Palestina tahun ini? Apakah keputusan itu akan membuat Palestina berada di luar jalur perundingan dalam usahanya mencapai kemerdekaan?

Memprediksi masa depan hubungan Palestina-Israel sangat sulit. Apakah pasca sikap AS ini Israel-Palestina akan kembali terlibat konflik bersenjata sebagaimana sebelum tahun 1990-an? Ataukah keduanya justru akan masuk ke meja perundingan yang membawa harapan terwujudnya perdamaian?

Mencermati sekilas terhadap respons luas Palestina, Timur Tengah dan dunia Islam, kemungkinan pertama seolah lebih dekat dengan kenyataan. Hubungan kedua pihak semakin memburuk, dan potensi bagi pecahnya konflik bersenjata lebih besar. Sebab, Yerusalem, bagi Palestina, adalah garis merah yang tak boleh disentuh selama ini. Pengalaman sejarah juga menunjukkan, menyentuh isu itu sedikit saja, proses perdamaian yang digadang-gadang akan mencapai sukses besar seperti Camp David II tahun 2000 ternyata tumbang di tengah jalan.

Namun, penulis sangat pesimistis terhadap konsolidasi yang dilakukan sejumlah negara Timur Tengah dan dunia Islam untuk menekan AS dan Israel, khususnya melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab. Seperti biasa, tekanan itu berujung pada kecaman-kecaman yang tak berimbas signifikan di lapangan kecuali memperdalam perpecahan di anggota-anggota kunci. Sebagian pemimpin itu melakukan kecaman terhadap keputusan Trump hanya untuk mengurangi tekanan domestik dari rakyatnya atau dari kelompok-kelompok Islam di negaranya masing-masing.

Hal yang sama saat pengumuman Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel kemungkinan akan terjadi pada saat pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem pada Mei nanti. Kesungguhan para pemimpin itu dalam membela Palestina pantas diragukan.

Apalagi bagi para diktaktor Timur Tengah yang sedang dilanda persoalan di dalam negerinya, satu-satunya yang dipikirkan adalah mempertahankan kekuasaan. Tindakan Trump itu tak ubahnya angin lalu saja bagi mereka. Sebab, tak ada sangkut pautnya secara langsung dengan survival kekuasaan mereka.

Di samping itu, mereka juga dalam keterpecahan hebat. Liga Arab diwarnai perpecahan akibat isolasi Qatar, perang Suriah, konflik Yaman, dan lainnya. Dalam situasi sekarang, negara-negara Arab hampir tak mungkin membuat keputusan besar bersama yang solid dan efektif.

OKI juga diwarnai perpecahan akibat eskalasi ketegangan poros Saudi dan Iran. Tak ada yang bisa diharapkan dari konsolidasi kedua organisasi internasional itu kecuali “belasungkawa” untuk Palestina dan mengecam keputusan Trump seperti yang sudah didengar. Dukungan kuat mungkin hanya berasal dari aksi “jalanan” di banyak negara.

Fatah dan Hamas

Beberapa waktu ke depan, Presiden Mahmoud Abbas kemungkinan akan bersikap realistis. Dia tentu sangat sadar dengan kualitas dukungan para pemimpin Arab yang suka “nggombal” dalam masalah Palestina. Mengambil jalan senjata sepertinya tak mungkin dilakukan lagi oleh Fatah saat ini. Tak ada perbedaan lagi antara mereka dan Israel.

Memilih kembali ke jalan senjata sama saja dengan menyiapkan jalan bagi Hamas, musuh domestik dan pesaing mereka, untuk kembali naik daun dan berkuasa. Saya meyakini itu tak akan dilakukan Palestina yang dikuasai faksi Fatah. Mengambil jalan unilateral melalui institusi PBB juga mentok dengan veto seperti nasib resolusi Yerusalem di DK PBB beberapa waktu lalu.

Palestina di bawah Fatah akan dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Tetap mengambil jalan negosiasi kendati posisi mereka semakin sulit akibat keputusan Trump, khususnya menyangkut Yerusalem. Ataukah mereka akan kembali mengangkat senjata?

Kendati seruan intifadha mulai menggema kembali, jalan realistis sepertinya akan diambil oleh Mahmud Abbas: tetap berupaya mewujudkan cita-cita Palestina merdeka melalui proses perdamaian meski sangat pahit.

Sinyalemen ini dapat terbaca dari beberapa hal. Pertama, Komunikasi intens Abbas dengan Raja Salman, sekutu AS, menunjukkan kebenaran sinyalemen ini. Arab Saudi seperti diketahui tidak ikut aktif dalam konsolidasi OKI dan Liga Arab dalam melawan keputusan Trump. Tapi, Palestina di bawah Fatah sepertinya terus menggencarkan diplomasi untuk mencari sponsor baru dalam proses perundingan, terutama ke Rusia dan negara-negara besar Eropa lain.

Kedua, pasca keputusan itu, selain mengecam, Abbas sempat menyatakan bahwa AS tidak akan berlepas tangan dari proses perdamaian. Mereka tetap akan menjalankan peran sebagai “sponsor” dan mediator.

Begitu juga pernyataan Kementerian Luar Negeri AS. Pernyataan ini sebenarnya sangat janggal dalam situasi akhir-akhir ini. Tapi, itu jelas menunjukkan sikap Abbas yang masih realistis, berharap mewujudkan Palestina merdeka melalui proses perdamaian.

Ketiga, adanya sinyalemen kuat bahwa skema penyelesaian masalah Israel-Palestina yang baru telah dibicarakan AS bersama para sekutu Timur Tengahnya, termasuk sikap AS terhadap status Yerusalem ini. Jadi, kemungkinan belum sepenuhnya tertutup bahwa proses perdamaian yang macet selama 18 tahun terakhir bisa saja justru akan dimulai lagi pasca “badai” luas akibat pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem ini.

Kolom terkait:

Yerusalem Sayang, Yerusalem Malang

Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Di Balik Klaim Trump atas Yerusalem

Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Trump yang Songong, Palestina, dan Khilafah

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.