Meski sudah mendapatkan tekanan, khususnya dari pemerintah Irak ataupun dari negara-negara perbatasan yang mempunyai kepentingan seperti Iran dan Turki, pemerintahan otonom Kurdistan di Irak utara kemarin (25/09) tetap menghelat referendum untuk menyatakan merdeka dari Irak. Permintaan banyak pihak untuk bernegosiasi dengan Amerika dan Inggris agar menunda referendum rupanya tidak diindahkan oleh Presiden Kurdistan Masoud Barzani. Dia lebih memilih melanjutkan inisiatif dari pemerintahannya mewujudkan jalan independen kepada rakyat Kurdi di Irak utara.
Masoud Barzani dan pemerintahan semi-otonom mereka mengklaim mampu meyakinkan rakyat, meski tensi dan kekerasan sempat terjadi di beberapa daerah dalam satu pekan terakhir. Jargon referendum, yaitu suara untuk para pejuang, yang mereka usung mampu menjentik kesadaran ihwal perjuangan panjang suku Kurdi khususnya di Irak.
Kampanye yang digencarkan pemerintah lokal Kurdistan dalam referendum dikorelasikan dengan spirit kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat Kurdi di Irak, bahwa jalan kemerdekaan lewat referendum adalah satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh. Dengan begitu, di banyak kesempatan ajakan untuk memberi suara “yes” terdengar begitu masif.
Bagi suku Kurdi sendiri, referendum kemarin adalah sejarah. Mereka mencatatkan momentum atas perjuangan dan pergerakan suku Kurdi di Irak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri. Kemarin setidaknya ada tiga wilayah Kurdistan di Irak utara yang melangsungkan referendum, yaitu Erbil sebagai ibu kota, Duhok, dan Sulaimani.
Rakyat Kurdi, seperti dilaporkan oleh Komisi Referendum Kurdistan, berjumlah sekitar 5 juta penduduk dengan rincian: 1,2 juta di Erbil, 1,2 di Sulaimani, 750 di Kirkuk, 800 di Duhok, 759 di Mosul, dan 420 di daerah lain di Irak. Rakyat pro-referendum telah menyemut dan merayakan hari bersejarah tersebut sejak dini hari kemarin.
Sementara di Kirkuk, daerah selatan Kurdistan yang dihuni oleh multietnis seperti Kurdi, Arab, Turki dan lainnya, suara “yes” bisa saja tidak dominan. Tetapi secara umum, di tiga wilayah di atas, suara yang mendukung referendum sangat menentukan. Fokus mereka untuk menentukan keberhasilan referendum terletak pada tiga daerah tersebut.
Bertolak belakang dengan kegembiraaan yang dirayakan pemerintahan Barzani dan massa pro-referendum, pemerintah Irak secara resmi menolak langkah referendum yang dilakukan oleh presiden semiotonom Kurdistan di Irak utara. Perdana Menteri Irak Haidar Al-Abadi mengklaim bahwa referendum tersebut merupakan langkah inkonstitusional sehingga hasil apa pun yang diraih tidak dapat menjadi landasan hukum. Karena, bagi mereka, Irak tidak boleh terbelah berdasarkan apa pun, termasuk etnik seperti diperjuangkan oleh suku Kurdi dalam dua dekade terakhir.
Sejalan dengan itu, pemerintah Turki secara resmi mengeluarkan rilis bernomor 297 dengan mengatakan hasil apa pun yang dihasilkan referendum sebagai null dan void. Perdana Menteri Turki Binali Yildirim dengan jelas mengatakan bahwa referendum tersebut sebagai gayrimesru refarandum (referendum tanpa dasar hukum), baik berdasarkan pada konstitusi nasional Irak ataupun internasional.
Pemerintah Turki menanggapi serius langkah referendum tersebut dan sekitar pukul 10.00 waktu lokal Turki, Perdana Menteri Yildirim mengadakan siaran langsung sebagai sikap dan tanggapan kritis di balik terlaksananya referendum.
Turki sangat jelas mempunyai urusan dengan upaya kemerdekaan Kurdistan di Irak. Pasalnya, bukan tidak mungkin sentimen nasionalisme Kurdi akan dipakai untuk merongrong dan memecah belah negara mereka. Sejak berdirinya 39 tahun silam, kelompok separatis Kurdi/PKK (Partai Pekerja Kurdistan) telah dan akan menjadi duri dalam daging mereka. Untuk itu, Turki tentu tidak akan tinggal diam membiarkan eskalasi dan gerakan kelompok separatis Kurdi makin menghantui mereka dari hari ke hari.
Maka, segala upaya menolak apapun hasil referendum akan dijadikan langkah krusial untuk diperhatikan bersama pemerintah Irak sendiri. Turki seperti “memakai” dan menggunakan kekuatan otoritas Irak untuk menekan dan membuat perhitungan dengan Kurdistan pasca-referendum.
Ketidaksudian Turki melihat cara Kurdistan melanjutkan referendum kemarin dipertegas dengan kesiapan militer yang nanti akan lebih terbuka bermanuver di perbatasan. Turki sudah menyiapkan pasukannya untuk berlatih bersama pasukan Irak di perbatasan mereka, yang notabene menjadi daerah Kurdistan. Dalam konteks ini, ruang untuk mengekspresikan dan mengaplikasikan hasil referendum akan terhambat dan tensi di kawasan dengan sendirinya akan segera memanas.
Manuver di atas akan menghambat proses independensi dan normalisasi Kurdistan. Di samping itu, Turki justru mendapatkan banyak keuntungan di balik ketidakstabilan internal Kurdistan dan dapat menguntungkan dalam banyak aspeknya, khususnya dalam bisnis petrol. Dalam laporan Fınansial Times (21/09), misalnya, dilaporkan bahwa per hari tercatat sekitar 550 ribu barel minyak dijual ke Turki dan Kurdistan. Selain Azerbaijan, Kurdistan dan Irak telah menjadi penyokong sumber energi baru bagi kemajuan Turki selama ini.
Menghadapi situasi krusial di atas, Turki tidak ingin kehilangan momentum untuk mengaplikasikan perannya di perbatasan. Untuk itu, Turki bukan bergerak melulu dalam konteks etnik sorunu (problem etnis) tetapi aspek paling mendasar adalah persoalan bisnis minyak yang mungkin saja luput dari perhatian global.
Karenanya, sangat bisa dimaklumi sikap reaktif Turki terhadap problem di Kurdistan. Parlemen Turki sendiri sudah melakukan rapat paripurna (23/09) dengan mengabulkan perpanjangan operasi khusus di perbatasan Irak dan Syria dalam satu tahun ke depan. Yang menarik, menghadapi tantangan serius di perbatasan—karena adanya kesadaran akan mengancam negara dan bangsa Turki—semua oposisi di parlemen menyatukan suara untuk mendukung langkah strategis yang akan dilakukan oleh pemerintah di perbatasan.
Maka, dengan keputusan tersebut, pemerintah Turki dan pasukan militer mereka bisa semakin bebas menjalankan visi dan proyeksi di perbatasan, yang kali ini lebih fokus ke perbatasan Irak.
Menanggapi kenyataan referendum yang tengah berlangsung tersebut, hal menarik yang juga bisa dicermati adalah respons media-media lokal di Turki. Pemberitaan utama media, khususnya yang pro-pemerintah Turki, menurunkan berita tentang referendum dengan intrik dan tentu saja bombastis. Misalnya harian Vatan menuliskan gergin gun (hari yang berkemelut), Haber Turk menurunkan kaos sandigi (kota suara yang khaos), Hurriyet menulis atesten sandik (kota suara dari senjata), dan Milliyet dengan sorumlusu hesap verir (tuntut tanggung jawabnya). Semua berita utama media besar di Turki mengambil bagian dalam mengekspose referendum Kurdistan.
Di hari yang sama, Turki juga memperketat arah dari Irak di perbatasan langsung Turki dengan Irak di desa Habur. Untuk mengantisipasi keamanan, Turki dilaporkan sedang melangsungkan latihan militer di perbatasan dengan menurunkan pasukan pesawat tempur. Langkah tersebut diambil Turki demi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan dari hasil referendum yang berlangsung kemarin di Irak utara.
Kolom terkait:
Kemerdekaan Kurdistan yang Tak Diinginkan