Rabu, April 17, 2024

Turki 103 Tahun Silam: dari Çanakkale ke Afrin

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

18 Maret adalah perayaan kemenangan bagi seluruh rakyat Turki. 103 tahun silam, saat Perang Dunia I mulai berkecamuk, bertempat di sebuah selat yang memisahkan Asia-Eropa di ujung barat laut Turki bernama Çanakkale, pasukan Osmani yang digelorakan oleh semangat nasionalisme untuk menjaga sisa tanah Anatolia berhasil memukul mundur pasukan sekutu yang dikenal dengan sebutan yedi düvel.

Yedi düvel merupakan istilah Turki untuk negara-negara raksasa pada masa Perang Dunia I, yaitu Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Italia, Austria-Hungaria dan Spanyol. Sejarah ditulis di sana yang hingga hari ini menjadi simpul kesadaran bangsa dan sekaligus lokus integrasi nasional bagi rakyat Turki.

Perang yang dikenal dengan sebutan The Gallipoli Campaign (Dardanelles Campaign), atau Çanakkale Şavası (Battle of Çanakkale) adalah perang penghabisan. Rakyat Turki hari ini bersepakat: andai saja pasukan Osmani waktu itu gagal membendung hasrat besar yedi düvel untuk mengontrol penuh Osmani dan Istanbul, geografi Turki sangat mungkin tidak seperti yang kita kenal sekarang.

Istanbul dan daerah sekitar yang sangat tipikal bagi negara-negara Eropa seperti Izmir sudah pasti dikuasai atas nama otoritas negara lain. Tapi, Allah korusun (Allah melindungi), teriak mereka, sehingga hari ini ada memori Çanakkale geçilmez (Çanakkale tak bisa dilewati) dalam lagu, puisi, dan sejarah besar bangsa Turki modern.

Serangkaian perang dari Februari 1915 – Janari 1916 itu menjadi fondasi penting dalam pembangunan kesadaran nasional Turki—kemudian menjadi benteng terkuat dalam membentuk nasionalisme. Karenanya, tidak perlu terkejut apabila di hari 18 Maret, momentum yang mereka sebut Çanakkale zaferi (kemenangan Çanakkale), rakyat seantero Turki merayakannya dengan seksama.

Pemerintah Turki pun terus memanfaatkan memori tersebut untuk spirit integrasi; dikapitalisasi sedemikian kuat untuk tetap “mengontrol” memori perjuangan para pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa Turki dari kekalahan. Çanakkale, hari ini, menjadi tempat untuk menengok sejarah kemenangan paling dekat dalam memori mereka.

Rakyat Turki modern tidak mempunyai arena sebagai rumah bagi memori perjuangan perang paling masif, selain Çanakkale. Maka, proses penyatuan paradigma tentang kepentingan nasional dan integrasi dengan visi nasionalisme relatif sangat mudah bagi Turki.

18 Maret adalah perayaan paling masif yang tidak mempunyai faksi dan basis ideologis sebagai pendukungnya—tidak kelompok nasionalis, sosialis, komunis, agamais, sekuler atau kelompok liberal sekalipun. Momentum itu dirayakan bersama hari ini karena yang berperang di Çanakkale adalah mereka para pahlawan dari berbagai latar belakang, termasuk Kristen-Armenia, Kristen-Arab, dan Yahudi.

Kabar dari Afrin

Di saat semua rakyat tengah berada dalam emosi sejarah kemenangan di Çanakkale, ada kabar berderus cepat dari Afrin, Suriah: Pasukan Tentara Militer Turki dan Tentara Pembebasan Suriah berhasil menaklukkan kota Afrin! Mayoritas rakyat bersorak-sorai atas hadiah kemenangan ini, setelah lebih dari dua bulan tentara Turki secara intens menggempur para milisi yang dianggap teroris oleh Turki, yaitu YPG, PYD dan PKK—pasukan milisi kelompok Kurdi yang menuntut kemerdekaan Kurdistan dari Suriah, Irak, Turki dan Iran.

Secepat kilat kabar penundukan Afrin (Afrin fethi) menyebar luas, foto-foto dan video-video yang merekam iring-iringan pasukan Turki yang masuk dan lalu menancapkan bendera Turki di pusat kota di Afrin disebar luas.

Yang menarik, ada banyak foto menyebar di media sosial Turki yang menyandingkan gambar seorang tentara yang tengah mengibarkan bendera Turki di Çanakkale dan di Afrin. Dua foto yang disatukan dalam satu bingkai (frame) itu sanggup membakar emosi nasionalisme Turki.

Sebagai orang luar yang tekun mengamati perkembangan Turki, saya cukup terkejut sekaligus tergelitik melihat momentum kemenangan Turki di Afrin. Sejak hari pertama memutuskan operasi militer di Afrin dengan nama Zeytin Dalı Herakatı (Operasi Ranting Zaitun), sebuah istilah yang diambil dari salah satu ayat al-Quran dalam Surat at-Tin seperti diakui sendiri oleh Presiden Turki Erdoğan, saya yakin bahwa operasi tersebut tidak akan memakan waktu panjang hingga dua bulan berikutnya.

Melihat persiapan operasi militer Turki dengan menerjunkan pasukan darat dan udara, Afrin yang baru lahir sebagai seumur biji kacang dengan kekuatan pasukan militer terbatas itu, semestinya, dalam hitungan saya, hanya akan bertahan maksimal satu bulan. Tetapi, Turki sangat hati-hati, khususnya ketika mulai merambah ke tengah kota karena strategi memakai tameng warga sipil juga sempat dipakai oleh pasukan musuh.

Milisi Afrin yang dilatih oleh Amerika itu memang tidak bisa secara cepat ditaklukkan karena penguasaan medan di darat dengan jebakan bom ranjau telah banyak memakan korban pasukan Turki. Di samping itu, milisi terlatih sebagai penembak jitu yang berada di antara bukit dan pegunungan juga menghalang pasukan Turki sebelum berhasil merebut dan mengontrol kota Afrin. Tercatat sekitar 46 orang anggota pasukan Turki meninggal dengan ratusan orang terluka. Sementara korban dari pihak musuh berjumlah 3.000 milisi lebih.

Melihat fakta di atas, prakiraan awal Turki bahwa Afrin akan menjadi ancaman baru bagi Turki sudah terbukti. Karena, di banyak tempat di Afrin, afiliasi faksi-faksi milisi Kurdi dari empat negara kawasan (Irak, Suriah, Iran, dan Turki) saling bahu-membahu dengan menunjukkan “identitas nasional” mereka dan nama tokoh yang menjadi simpul perjuangan negara Kurdistan, yaitu pendiri PKK Abdullah Ocalan.

Poster dan lukisan Ocalan di sebuah bukit di Afrin dengan ukuran yang sangat besar pernah ditembak roket dari pesawat udara Turki. Melihat fakta seperti itu, pihak-pihak opisisi yang awalnya meragukan bahwa operasi tersebut hanya untuk kepentingan Erdogan akhirnya terbungkam dengan sendirinya. Ada fakta penting yang tak bisa mereka tolak, bahwa faksi-faksi dan milisi Kurdi yang bersiap untuk memecah Turki terus menggalang kekuatan di luar negara Turki, termasuk di Afrin.

Akhirnya, selain pertimbangan taktik dan situasi di medan perang, saya melihat taktik merebut momentum tidak bisa begitu saja dilalaikan di balik kemenangan Operasi Ranting Zaitun di Afrin. Momentum itu adalah 18 Maret seperti yang saya jelaskan di awal.

Ada dua pahlawan dari dua momentum tersebut, Gazi Mustafa Kemal Paşa (Atatürk) di Çanakkale, dan Reis Recep Tayyip Edoğan di Afrin. Keduanya sudah tidak bisa ditolak dalam sejarah Turki modern, dua menara yang terus menjulang di Turki hari ini.

Kolom terkait:

Mencintai Militer, Bumbu Nasionalisme Turki

Langgam 94 Tahun Nasionalisme Turki

Egoisme Erdogan dan Ide Dialog Lintas Etnis di Arab Timur

Erdogan dan Satu Tahun Kudeta di Turki

Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.