Januari tujuh tahun lalu adalah titik penting dalam sejarah Timur Tengah. Gerakan rakyat mulai menggariskan harapan agar mereka menentukan masa depannya sendiri. Zaenal Abidin bin Ali, diktaktor Tunisia, pun tumbang. Dan pada Januari itu pula, gerakan rakyat di Mesir mulai membesar yang kemudian menjatuhkan rezim kuat Husni Mubarak dalam waktu kurang dari sebulan. Januari tujuh tahun lalu masyarakat Timur Tengah mengirimkan pesan harapan dan masa depan cerah ke penjuru dunia.
Namun, peristiwa-peristiwa di Timur Tengah sekitar enam tahun kemudian justru mencerminkan “kegagalan” akut. Seperti diketahui, jalan sejarah demokratisasi negara-negara Arab sangat terjal. Hanya Tunisia satu-satunya negara yang proses demokratisasinya bisa berjalan selamat, kendati juga sempat tergoncang hebat. Namun, negara ini pun kini menghadapi ancaman gelombang protes rakyatnya yang semakin meluas.
Lagi-lagi, isunya di sana adalah ekonomi, beban hidup yang semakin berat akibat kenaikan harga-harga. Jika Tunisia gagal melewati ujian sejarah ini, demokratisasi Arab benar-benar mengalami kegagalan.
Negara-negara Arab lain mengalami turbulensi hebat atau setidaknya justru berjalan mundur. Mesir yang menatap masa depan tujuh tahun lalu dengan penuh percaya diri sudah empat tahun ini kembali dikuasai militer. Tak ada tanda-tanda gerbong demokratisasi Mesir akan berjalan maju kembali. Pemilu sekitar dua bulan ke depan mustahil diharapkan menjadi momentum kembalinya pemerintahan sipil dan mundurnya militer ke barak. Apalagi Mesir menjadi salah satu pemain kunci dalam konflik yang semakin memanas di kawasan aliran sungai Nil dan Tanduk Afrika saat ini.
Yaman, Libya, dan Suriah justru mengalami turbulensi hebat. Ketiga negara ini terjerembab ke dalam jurang kehancuran luar biasa. Musim semi Arab yang semula harapan telah menjelma menjadi arena pertempuran telanjang antara kekuatan-kekuatan di Timur Tengah. Kekuatan-kekuatan itu telah lama berkonflik. Dan, musim semi Arab menambah panggung baru yang lebih terbuka. Kini, negara-negara itu dan kawasan secara umum menerima dampak kehancuran yang belum tentu bisa dipulihkan hingga 20 tahun ke depan.
Poros konflik menonjol terjadi terutama antara Arab Saudi dan aliansi pro-AS versus Iran, Hizbullah, Houtsi dan lain-lain, yang berkembang menjadi isu sektarian Sunni-Syiah di Suriah, di Yaman, dan di Irak. Juga Israel versus kekuatan perlawanan dan pendukungnya, jaringan Ikhwani versus anti-Ikhwani yang tercermin di Mesir dan kawasan secara umum, dan kelompok-kelompok sekuler versus Islamis. Empat pola konflik itu mewarnai pergolakan dan ketegangan di negara-negara Arab yang belum reda hingga sekarang ini.
Perkembangan gerakan yang demikian kompleks selama tujuh tahun ini juga menimbulkan pergeseran historik dalam konstelasi kekuatan di Timur Tengah. Pilar-pilar besar di Timur Tengah secara mengejutkan bergeser menuju perimbangan-perimbangan baru yang belum begitu jelas. Di luar dugaan, negara-negara Arab Teluk yang dikenal solid mengalami perpecahan hebat mulai pertengahan tahun lalu.
Di luar dugaan pula, Iran yang mulai membina hubungan tak bermusuhan dengan AS berkat perjanjian nuklir, tiba-tiba hubungan keduanya mengeras lagi seiring naiknya Trump sebagai presiden AS dan Muhammad bin Salman sebagai putra mahkota Saudi. Juga Arab Saudi kini justru ditengarai mendekat ke Israel, terutama untuk menghadapi sumber ancaman yang sama, yakni Iran. Kerajaan yang dikenal dengan Wahabismenya ini tiba-tiba juga menggencarkan liberalisasi masif masyarakat melalui pembukaan bioskop, destinasi wisata panyai, dan proyek-proyek lainnya.
Melenceng Jauh
Jelas, perkembangan-perkembangan itu jauh dari semangat musim semi Arab dalam pengertian apa pun. Dalam pengertian demokratisasi (al-rabi’ al-Arabiy/Arab Springs) yang berpusat pada perjuangan ide kesetaraan dan antikediktatoran, perkembangan tahun ketujuh ini telah memperlihatkan dampak tragis dari arus balik demokratisasi yang membawa kehancuran dan kesengsaraan luas di mana-mana.
Pemerintahan hasil demokrasi justru bertumbangan. Jika tidak, mereka menjadi pemerintahan yang sangat lemah di tengah ketidakstabilan dan rendahnya konsensus. Jika mengetahui apa yang terjadi sekarang, arwah para martir (syuhada’) gerakan protes rakyat di Tunisia, Yaman, Suriah, dan Yaman mungkin ingin bangkit kembali untuk meluruskan jalan perjuangan rakyat yang telah dibelokkan sedemikian jauh.
Dalam pengertian gerakan yang lebih bertujuan material, yakni kesejahteraan (isy), perkembangan tujuh tahun ini juga kontraproduktif. Alih-alih mengangkat kesejahteraan bangsa-bangsa Arab, perkembangan Timur Tengah menunjukkan babak lanjut dari kemunduran kesejahteraan, bahkan mempertontonkan tragedi dan kehancuran yang memilukan. Alih-alih membangun kesejahteraan rakyatnya, stabilitas keamanan pun menjadi barang mewah saat ini. Tak ada satu pun negara Arab springs (Tunisia, Mesir, Suriah, Yaman) menikmati stabilitas keamanan saat ini.
Singkatnya, sebagai revolusi (tsaurah) yang lebih lengkap (ide dan materiil) dan dikenal luas di dunia Arab, perkembangan tujuh tahun ini sama sekali tak mendekatkan mereka kepada cita-cita revolusi. Revolusi yang telah lama menjadi “jiwa” bangsa Arab menginginkan kesejahteraan, keadilan, dan martabat atau kehormatan. Tujuh tahun gelombang revolusi Arab justru seolah menjadi badai yang memorak-porandakan semua yang ada.
2018: Tahun Diplomasi?
Kendati kurang realistis, kita tetap berharap tahun 2018 akan menjadi tahun diplomasi di Timur Tengah. Kita berharap, Iran dan Qatar dapat menyelesaikan persoalannya secara damai. Pihak-pihak yang sudah sangat letih berkonflik di Suriah juga legowo untuk melihat kenyataan sehingga mereka mau berkompromi damai dan bukannya terus memaksakan kehendaknya terhadap yang lain.
Demikian pula di Yaman dan Libya, kita berharap tahun 2018 menjadi tahun awal bagi upaya perdamaian dan membangun kembali negeri dari kehancuran.
Juga jabat tangan bersejarah Arafat-Rabin akan berulang dengan jabat tangan bersejarah antara Abbas-Netanyahu dalam kesepakatan final dan menyeluruh antara Palestina dan Israel, meski keputusan Trump berpengaruh sangat negatif terhadap proses perdamaian setidaknya dalam waktu dekat. Apalagi setelah ia menggunakan hak veto di DK PBB untuk mempertahankan keputusan itu, terdesaknya negara adidaya itu di Sidang Umum PBB, dan tamparan yang mereka terima dalam pergaulan internasional.
Namun, jika mimpi itu bisa tercapai sebagian saja, setidaknya itu sangat berarti bagi upaya menghentikan konflik yang paling lama di Timur Tengah. Capaian itu juga hampir dipastikan akan berdampak baik bagi hubungan Barat-Timur Tengah, Barat-dunia Islam, dan Muslim-Yahudi.
Dunia tentu berharap semua itu bakal segera terjadi dalam waktu yang tak lama lagi. Akan tetapi, kita sepenuhnya sadar, perkembangan politik di Timur Tengah sungguh sulit ditebak. Aktor yang terlibat dengan kepentingan beragam dan logistik yang kadang seperti tak terbatas, dimensinya yang kompleks, dan isu yang tumpang tindih selalu menambah keruwetan masalah di kawasan ini.
Tentu bukan perkara mudah mewujudkan semua mimpi itu, tapi mimpi itu penting guna memberi harapan untuk keluar dari tujuh tahun kehancuran ini.
Kolom terkait:
Arab Spring dan Enam Tahun Revolusi Suriah
Gonjang-Ganjing Iran: Arab Spring atau Intervensi?
Kaleidoskop 2017: Bara Timur Tengah yang Tetap Menyala