Banyak orang bilang Donald Trump itu songong, tetapi sebenarnya dia seorang pemberani. Tahun 1995, Amerika mengesahkan undang-undang bernama Jerusalem Embassy Act of 1995. Isi pokok undang-undang ini tiga: (1) Yerusalem tetap merupakan satu kota tak terbagi yang menjamin hak setiap kelompok etnis dan agama; (2) Yerusalem adalah ibu kota Negara Israel; dan (3) Kedutaan Besar Amerika di Israel harus didirikan paling lambat 31 Mei 1999.
Jadi, menurut UU ini, Kedutaan Besar Amerika di Israel sebenarnya sudah harus dipindah dari Tel Aviv ke Yerusalem di era Presiden Bill Clinton. Tetapi Clinton (1993-2001), Bush (2001-2009), dan Obama (2009-2017) memilih hati-hati dan terus menunda pelaksanaan UU ini. Baru di era Trump, Amerika Serikat menegaskan posisinya soal Israel dan Pelestina.
Saya menduga sikap Trump dilatari oleh faktor dalam dan luar. Pertama, Trump ingin merebut simpati dari lobi Yahudi yang menguasai partai oposisi. Pengaruh lobi Yahudi lebih besar di Demokrat ketimbang di partai asalnya: Republik. Langkah ini perlu sebagai barter terhadap kebijakan proteksionisme Trump yang perlu dukungan “kamar sebelah.”
Kedua, revolusi shale oil & gas AS membuat ketergantungan AS kepada impor minyak Timur Tengah berkurang. AS trauma oleh embargo negara-negara Arab menyusul Perang Yom Kippur tahun 1973. Gara-gara membela Israel dalam perang, ekonomi AS terpukul akibat pasokan minyak impor Timur Tengah terhenti, padahal AS negeri yang kecanduan minyak. Dengan revolusi shale, AS kini menyalip Arab Saudi dan Rusia, masing-masing sebagai produsen minyak dan gas terbesar di dunia.
Ketiga, harga minyak hancur beberapa tahun ini. Negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, mulai mengurangi ketergantungan APBN dari pendapatan minyak. Di bawah Putra Mahkota, Muhammad bin Salman, Arab Saudi berkomitmen lebih terbuka terhadap investor dan budaya asing melalui Vision 2030. Agenda ini membuat Arab Saudi lebih tergantung kepada duit Amerika dan sekutu-sekutunya ketimbang Amerika tergantung kepada minyak Arab Saudi.
Dengan kalkulasi ini, kebijakan Trump akan didukung Arab Saudi dan GCC (Gulf Cooperation Council) yang beranggotakan Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab. Dukungan Arab Saudi dan GCC akan membuat OKI (Organisasi Konferensi Islam), yang akan rapat pekan depan merespons kebijakan Trump, tak lebih dari sekumpulan macan ompong.
Kombinasi faktor dalam dan luar ini membuat Trump yakin perhitungnnya tidak meleset. Trump memang songong, tetapi dia pebisnis yang penuh perhitungan. Dia yakin Arab Saudi dan GCC akan mendukung kebijakannya.
Di sinilah masalah utamanya. Krisis Palestina tidak berujung karena negara-negara Islam sendiri tidak kompak. Banyak negara, termasuk Indonesia, menolak membangun hubungan diplomatik dengan Israel sebagai bentuk simpati kepada penderitaan rakyat Palestina. Tetapi negara lain seperti Mesir, Yordania, Turki, telah menjalin hubungan diplomatik resmi. Negara-negara Islam lain, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, menjalin hubungan dekat dengan Israel tetapi rahasia. Banyak dukungan dan komitmen negara Arab terhadap Palestina palsu belaka.
Lalu, apa urusannya dengan khilâfah? Kita ini urusan tata cara salat aja tidak seragam, urusan terkait Palestina saja tidak kompak, apalagi soal khilâfah! Sekarang ada pandangan dari pendukung khilâfah bahwa kita tidak perlu membela Palestina karena perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan negara-bangsa juga, benderanya bendera nasionalisme juga, padahal nasionalisme harus ditalak tiga.
Jadi, biarin mereka mati, kecuali pejuangnya tidak lagi mengibarkan bendera Palestina, tetapi panji-panji khilâfah. Jalan pikiran seperti ini absurd, seabsurd mimpi mereka tentang imperium Islam dunia.
Kolom terkait:
Di Balik Klaim Trump atas Yerusalem
Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?
Menakar Komitmen Erdogan dalam Krisis Yerusalem
Membedah Islam Politik, Politik Islam, dan Khilâfah
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]