Jumat, Oktober 4, 2024

Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali  meniupkan isu kontroversial. Isu baru itu sepertinya tidak bertujuan untuk mengeruk laba ekonomi sebesar-besarnya dari Timur Tengah seperti sebelumnya. Seperti diketahui, AS di bawah Trump tak ubahnya pedagang yang ingin mengeruk laba sebesar-besarnya dari apa saja. Begitu berkuasa, ia segera mendorong eskalasi hubungan Iran-Arab Saudi. Penguatan konflik Iran-Saudi, dan juga Qatar-Saudi, ternyata kemudian membuat AS di bawah Trump benar-benar berpesta dari keuntungan penjualan senjata kepada negara-negara yang bersitegang.

Kali ini, isu yang berkembang adalah rencana pengakuan AS terhadap status Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Media umumnya menyebut keputusan itu kemungkinan akan diumumkan pada hari Rabu ini. Ini jelas kontroversial, sebab sejak tahun 1948 AS menegaskan status kota Yerusalem akan ditentukan dalam perundingan damai final dengan Palestina dan pihak-pihak terkait. Itu artinya AS menginginkan dan cukup konsisten menjadi bagian penting dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Salah satu tiang penyangga perundingan damai Israel-Palestina terancam goyah jika keputusan itu benar-benar diambil. AS selama ini memang merupakan salah satu sponsor terpenting dalam negosiasi damai Israel-Palestina sejak Konferensi Madrid, Oslo, Camp David, dan seterusnya.

U.S. President Donald Trump (R) greets Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu at a joint news conference at the White House in Washington, U.S., February 15, 2017. Antara foto/REUTERS/Kevin Lamarque

Trump memang gembar-gembor akan mendorong proses perdamaian Israel-Palestina akhir-akhir ini. Tapi, rencana yang berhembus untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tentu sangat kontraproduktif dan bisa mengeleminasi posisi AS sebagai mediator perdamaian yang selama ini melekat.

Kendati belum menjadi keputusan resmi pemerintah AS, rencana itu telah memantik respons yang luas dari dunia, khususnya dunia Islam. Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Ismail Haniyyah yang selama ini jarang satu suara seketika kompak menyerukan protes rakyat atas rencana itu.

Menteri Luar Negeri RI juga memanggil Duta Besar AS untuk Indonesia untuk menjelaskan sikap AS yang sebenarnya. Jawaban sang dubes diplomatis, yang mengisyaratkan kebijakan itu mungkin saja akan benar-benar segera diambil. Lalu, apa yang dapat dibaca dari rencana Trump itu? Apakah itu untuk tujuan dagang seperti ketika mereka memeras Saudi, Qatar, dan negara-negara kaya Timur Tengah lain akhir-akhir ini? Atau untuk tujuan lain?

Trump tentu sadar tak akan mendapat keuntungan materi secara signifikan dari Palestina, bahkan dari Israel. Keduanya bukan negara kaya raya yang bisa diperas seperti negara-negara Arab Teluk. Jika keputusan itu tidak jadi diambil, maka Trump hanya ingin memberikan tekanan serius terhadap Palestina agar siap bernegosiasi dengan sungguh-sungguh dan berani memberikan konsesi untuk Israel. Bagaimanapun, ia juga mau dicatat sebagai orang yang sangat berjasa bagi perdamaian Timur Tengah yang sepertinya mustahil dicapai.

Karena itu, Trump langsung menusuk Palestina dengan persoalan paling sensitif. Sebagaimana diketahui, konflik Palestina-Israel selama 70 tahun lebih dan hingga kini belum mendapat penyelesaian adalah masalah perebutan tanah atau wilayah di Tepi Barat. Dari seluruh wilayah di Tepi Barat, yang paling diperebutkan adalah kota Yerusalem. Dari wilayah yang paling diperebutkan di kota tersebut adalah kota tua (Timur) yang memiliki situs-situs suci dan bersejarah bagi tiga agama penting dunia.

Oleh karena itu, bagi Palestina, lepasnya kontrol atas wilayah Yerusalem (dari Yordania) pada perang 1967 menandai titik sejarah yang menyakitkan. Bukan hanya bagi Palestina (Muslim maupun Kristen) tetapi juga bagi bangsa-bangsa Arab dan Muslim secara umum. Orang Arab menyebut peristiwa itu sebagai al-naksah, suatu perasaan malu yang tiada taranya. Kali ini Yerusalem digunakan Trump untuk menekan habis Palestina.

[Foto: BBC.com]
Faktanya, tekanan Trump benar-benar efektif dan membuat pemerintahan Palestina kelimpungan. Mereka melakukan lobi-lobi intensif di kalangan pengambil keputusan AS agar kebijakan itu tak jadi diambil. Mahmud Abbas juga terus menggalang dukungan internasional untuk mencegah keputusan yang diibaratkan juru runding senior Palestina, Saeb Erakat, sebagai bencana itu.

Namun, jika keputusan itu akhirnya benar-benar diambil dan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, maka keputusan Trump itu berarti sejalan dengan strategi Israel di Yerusalem selama ini. Jadi, kebijakan Trump melengkapi rencana Israel.

Pasca kegagalan Camp David II (2000) atau bahkan jauh sebelumnya, sebagian kelompok agama Israel dan pemerintah Israel meningkatkan upaya “lembut” untuk mengubah karakter Yerusalem Timur menjadi lebih Yahudi. Inilah strategi terpenting Israel dan sebagian masyarakatnya di tengah ketiadaan agenda perundingan damai di atas meja dengan Palestina sekitar satu setengah dekade belakangan.

Pemerintah Israel dan beberapa kelompok agama orthodoks kadang sejalan dan saling menguatkan dalam hal ini. Namun, tak jarang pula mereka saling berselisih dan berhadapan. Ini bisa dicermati dari  beberapa upaya untuk mengubah karakter Yerussalem Timur.

Ada upaya sistematis untuk mendorong keluarga-keluarga Yahudi Orthodox (seperti Haredim dan Mifdel) untuk memperoleh tanah di Yerussalem Timur. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa memiliki anak yang banyak dan identitas keyahudian sangat tampak pada diri mereka baik pakaian atau penampilan yang lain. Mereka melakukan semacam serangan demografis untuk mengubah posisi mayoritas penduduk kota di sekitar al-Aqsha itu. Faktanya, usaha ini sangat berhasil, mayoritas penduduk Yerusalem saat ini adalah Yahudi.

Upaya lain yang dilakukan adalah memberi insentif dan mendorong agar warga Palestina mau menjual tanah dan rumahnya. Strategi lain adalah upaya memisahkan al-Aqsha dari komunitas-komunitas mayoritas warga Arab Palestina. Caranya tentu mengepung al-Aqsha dengan perumahan-perumahan baru, mengatur akses jalan, dan seterusnya. Pemisahan ini penting dilakukan agar intensitas kehadiran umat Islam Palestina ke masjid itu dapat diminimalisir sehingga karakter keislaman dan kearaban di daerah itu berkurang.

Usaha ini tak banyak membuahkan hasil. Bahkan ada aturan yang boleh salat Jum’at di tempat itu hanyalah mereka yang berusia di atas 50 tahun. Kendati banyak hambatan, warna keislaman dan kearaban di wilayah itu masih sangat kental di Yerussalem.

Meski dengan setumpuk keberhasilan Israel di lapangan, klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya tetap tidak memperoleh dukungan dan pengakuan internasional. Maka, kebijakan Trump, jika benar-benar diambil, akan memberikan dorongan berarti bagi dukungan internasional terhadap ambisi Israel di Yerussalem.

Kolom terkait:

Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]

Tragedi Al-Aqsa: Di Antara Palestina dan Israel

Konflik Israel Palestina, Siapa Musuh Bersama Sebenarnya?

Palestina Setelah HAMAS Merevisi Manifestonya

Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.