Kamis, April 25, 2024

Setelah Militer Turki Menaklukkan Afrin

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Operasi militer Turki di Afrin, Suriah, pada 18 Maret lalu, dibantu oleh Tentara Pembebasan Suriah (FSA), terbilang sukses. Lewat Zeytin Dalı Herakatı (Operasi Ranting Zaitun), diambil dari salah satu ayat al-Qur’an dalam Surah at-Tin, itu mereka memang berhasil masuk ke pusat pemerintahan provinsi utara Suriah tersebut.

Setelah sempat melawan dengan kemampuan militer seadanya, sejak perang dimulai pada 21 Januari 2018, Afrin akhirnya jatuh di bawah kendali Turki, tepat pada momentum yang sama ketika 103 tahun silam pasukan perang Osmani berhasil menghalau sekutu pada Perang Dunia I.

Meski bendera Turki sudah ditancapkan di sebuah gedung pemerintahan kota Afrin yang sekaligus menandakan berakhirnya perang langsung melawan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang berafiliasi dengan Unit Proteksi Rakyat/YPG dan Partai Persatuan Demokratik/PYD—tiga faksi milisi Kurdi yang beroperasi khususnya di Irak dan Suriah—geliat perlawanan tak pernah surut. Pendeknya, perlawanan kelompok milisi Kurdi yang ingin merdeka dan membentuk negara sendiri bernama Kurdistan itu tidak akan pernah padam.

Mereka sudah menyatakan secara terbuka untuk tetap bertekad membuat taktik dan strategi baru demi kembali mengambil alih Afrin dari Turki dan Free Syrian Army sendiri.

Pihak Turki sendiri, seperti sudah menjadi komitmen nasional untuk memerangi organisasi dan kelompok terorisme, tidak akan pernah mengendorkan perjuangan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara dan bangsa.

Maka, ancaman terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan Turki—seperti pernah terlontar dalam pidato Presiden Turki Erdoğan bir gece ansızın gelebiliriz (suatu malam kita bisa datang tiba-tiba)—akan terus mewarnai kebijakan luar negeri mereka melawan musuh-musuhnya di perbatasan.

Apa langkah Turki setelah Afrin? Ini pertanyaan yang bisa menjadi teropong untuk melihat langkah-langkah Turki ke depan di kawasan. Karena, faktanya, tidak bisa ditolak bahwa Turki, seperti juga Iran, telah ikut terlibat dan mengambil langkah strategis masing-masing di kawasan. Dalam situasi konflik yang kompleks di Suriah, Turki harus dilihat sebagai aktor penting yang tak bisa disepelekan oleh mereka yang juga terlibat konflik langsung seperti pemerintah Suriah, Rusia, Iran, Israel, Amerika dan sekutunya.

Bahkan, secara ngotot Turki juga menerjunkan pasukan militer mereka untuk mengambil bagian di perbatasan. Karena, dengan langkah begitu, Turki bisa mengukur secara lebih cermat apa yang terjadi di lapangan.

Secara keamanan, Turki sangat beralasan dengan menceburkan diri ke tengah kubangan konflik Suriah yang tak berkesudahan itu. Keamanan internal negara dan demi menjaga stabilitas di perbatasan menjadi pertimbangan utama. Namun begitu, saya mencermati ada sebuah misi penting yang sedang disusun oleh Turki dalam menghadapi konflik di perbatasan Suriah, yaitu pertimbangan peta geografi.

Peta Kawasan

Mari kita melihat kembali langkah politik luar negeri Turki, khususnya dalam konflik Suriah. Sebelum operasi di Afrin, Turki pernah menerjunkan pasukan darat mereka dengan nama Fırat Kalkanı Harekâtı (Operasi Proteksi Eufrat), yaitu operasi yang bertujuan untuk menumpas kelompok ISIS di perbatasan Turki-Suriah. Operasi yang dimulai sejak 24 Agustus 2016 hingga 29 Maret 2017 itu berhasil membebaskan kota seperti Jarabulus dan Manbij, yang sebelumnya dikontrol oleh milisi ISIS.

Setelah Fırat Kalkanı Harekâtı berhasil dan percobaan Turki mulai teruji secara lapangan di Suriah, operasi Zeytin Dalı di Afrin bisa dilihat sebagai langkah lanjutan untuk mengintervensi dan mengubah peta kekuatan dan geografi kawasan. Melalui penerjunan pasukan militer perdana bernama Fırat Kalkanı Harekâtı itu, langkah Turki terbukti mampu “mengganggu” permainan yang tengah diorkestrasi oleh aktor-aktor internasional.

Turki telah membuktikan diri untuk mengambil bagian dalam mengaburkan dan membuat peta ulang kekuatan di Suriah utara ataupun di Irak utara. Karena, Turki sangat sadar bahwa peta kekuatan di kawasan adalah skenario yang sama-sama melibatkan agen-agen regional maupun internasional demi menancapkan pengaruh dan kekuatan masing-masing. Jadi, dalam konteks ini, diam bukanlah langkah terbaik bagi Turki.

Aktor pertama yang berperan penting dalam perubahan peta dan letak geografi di perbatasan Turki-Irak dan Turki-Suriah adalah faksi dan kelompok militer suku Kurdi sendiri. Mereka bisa menjadi aktor tapi sekaligus pion bagi kepentingan internasional. Mereka menjadi aktor adalah ketika militansi perjuangan mereka didasarkan kepada kesadaran historis, yaitu pasca-Perang Dunia I dan khususnya tentang penderitaan bertubi-tubi terhadap kelompok suku Kurdi di Irak utara yang dibantai oleh mantan Presiden Irak Saddam Hussein.

Memori sejarah kekerasan seperti itu pelan-pelan menyebar dan kemudian meresap menjadi memori bersama (common memory) bagi suku Kurdi yang tinggal di empat negara (Turki, Irak, Iran dan Suriah). Memori kekerasan yang kemudian melahirkan identifikasi dan sentimen kolekif (collective identifications and sentiments) telah menjadi kajian ilmu-ilmu sosial mutakhir.

Dalam konteks ini, kebangkitan dan kelahiran solidaritas atas nama sentimen etnis (baca: Kurdi) menjadi contoh menarik untuk menelusuri sejauh mana memori sejarah kekerasan telah mereproduksi kesadaran anak cucu yang menjadi bagian dari sejarah hidupnya terpapar oleh konflik dan kekerasan masif.

Selain itu, faksi dan kelompok milisi Kurdi (bukan representasi suku Kurdi secara mayoritas) bisa dianggap sebagai pion bagi kepentingan global. Amerika dan Rusia adalah aktor nyata yang keterlibatannya tidak bisa dipahami secara gamblang dan kasatmata karena kehadiran mereka adalah ejawantah atas praktik proxy war.

Amerika adalah agen paling aktif yang berafiliasi langsung dengan milisi Kurdi di Irak dan Suriah. Tetapi, apa yang dilakukan Amerika tidak akan pernah terjadi kepada kelompok milisi Kurdi di Turki, yaitu PKK. Standar ganda seperti ini dipakai dalam praktik busuk kebijakan luar negeri negara seperti Amerika dan sekutunya.

Di satu sisi, Amerika mengikuti pola Turki dengan mengakui PKK sebagai organisasi teroris, tetapi di sisi lain, PYD dan YPG menjadi pion untuk kepentingan mereka. Padahal, YPG dan PYD ibarat kembar identik yang diisi oleh kelompok dengan ideologi dan tujuan yang sama pula. Mereka hanya berbeda tempat operasionalnya dengan konteks dan situasi lokal yang berbeda. Selain itu, mereka sama.

Kepentingan milisi Kurdi dan agen internasional di atas telah mengubah peta dan geografi di kawasan tersebut. Dimulai sejak berdirinya kawasan semi-otonom Irak Kurdistan di Irak utara pada awal 1990-an, lalu berdiri Rojava di Suriah utara setelah konflik perang sipil Suriah meledak.

Rojava ini menjadi pusat yang mulai melebarkan sayapnya dengan mengajak daserah-daerah di sekitarnya untuk menjadi bagian dari framework mereka, baik secara sistem pemeritahan maupun bentuk keamanannya. Daerah-daerah yang secara de jure di bawah Suriah seperti Kobane, Afrin, dan Al-Hasakah secara de facto telah berubah bentuk dalam aspek sistem pemerintahan dengan mengikuti kerangka Rojava sebagai pusat negara Kurdistan di Suriah.

Melihat manuver demikian, Turki tidak bisa tinggal diam. Sebelum terlambat dan membiarkan permainan dari aktor-aktor lokal dan internasional di kawasan tersebut semakin menggurita, sejak 2016 Turki benar-benar aktif terjun ke lapangan dengan membawa persenjataan militer. Dan terbukti, keterlibatan militer Turki di kawasan telah berhasil mengganggu rencana besar yang didesain oleh aktor lokal maupun global untuk memecah Irak dan Suriah menjadi negara baru dari bangsa Kurdi.

Langkah aktif baik diplomasi dan khususnya militer yang dilakukan Turki untuk sementara bisa menahan eskalasi perubahan besar yang akan terjadi di masa depan. Dengan ditaklukannya Afrin, secara simbolik Turki bisa mulai menempatkan kekuatan militer baru dengan membangun basis militer yang dipersiapkan untuk melatih milisi baru dari kelompok Arab (Islam maupun Kristen seperti Yezidi) maupun suku Turki yang berada di Suriah.

Untuk itu, keterlibatan Turki dalam konflik langsung di lapangan akan menuntut kewaspadaan yang lebih tinggi, baik di perbatasan ataupun di internal negara mereka. Dan langkah Turki dengan operasi Fırat Kalkanı ataupun Zeytin Dalı, dalam kacamata militer dan kemananan, adalah langkah taktis yang menjanjikan dan sekaligus memperkeruh posisi mereka di kawasan.

Ke depan, Turki harus tetap mengontrol kawasan-kawasan yang sudah ditaklukkan tersebut dengan semua pendekatan untuk menyusun langkah perdamaian bagi rakyat masing-masing negara.

Kolom terkait:

Turki 103 Tahun Silam: dari Çanakkale ke Afrin

Hasrat Kurdistan di Tengah Agresi Militer Turki dan Taktik Baru AS

Mencintai Militer, Bumbu Nasionalisme Turki

Erdogan dan Operasi Militer Turki di Suriah

Turki, Minyak, dan Referendum Kurdistan

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.