Kota yang dikuasai ISIS, Marawi, di pulau Mindanao, akhirnya kembali ke tangan pemerintah. Pemimpin ISIS di Filipina, Isnilon Hapilon, dan komandannya, Umar Maute, juga telah ditembak mati Angkatan Bersenjata Filipina (AFP).
Isnilon Hapilon dan Umar Maute adalah tokoh penting di balik penyerbuan kota Marawi, di mana keduanya menjadikan aneksasi kota Mosul Irak sebagai cetak biru.
Dengan tewasnya mereka, jelas akan berpengaruh bagi organ ISIS di Filipina, sel-sel yang tersisa akan menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil bawah tanah. Mereka diperkirakan masih bisa melakukan teror skala rendah sebagai balasan untuk menunjukkan mereka masih eksis.
Kota Marawi adalah kota kedua yang pernah menjadi korban pendudukan ISIS di Filipina. Sebelumnya kelompok militan pada 2016 sempat menguasai Butig selama 14 hari, kota kecil 50 kilometer selatan Marawi. Yang membedakan adalah, aneksasi kota Marawi menjadi sangat monumental karena mendapat perintah langsung dari pusat ISIS di Suriah.
Seperti pernah penulis uraikan, tujuan mereka menguasai Marawi di Filipina untuk dijadikan cabang (wilayat) Kekhilafahan ISIS yang berfungsi di Asia Tenggara (baca: Proyek ISIS dan Krisis di Marawi).
Namun, faktanya, kelompok militan gagal dan mengalami kerugian, bahkan sejak hari-hari pertama menguasai kota. Semua penduduk Marawi memilih meninggalkan Marawi daripada hidup di bawah kelompok ini. ISIS di Filipina memang berhasil menduduki kota Marawi, tapi tak mampu mengontrolnya. Ditambah lagi, Angkatan Bersenjata Filipina yang langsung menggempur posisi militan dari darat dan udara, yang membuyarkan euforia kaum militan setelah menaklukkan kota.
Dalam doktrin Kekhilafahan, Ardh Tamkeen (tanah untuk memerintah) merupakan syarat utama. Bagaimana mereka mengendalikan kota dan menciptakan pemerintahan bayangan. ISIS Filipina gagal mencapai ini, operasi penaklukan kota justru membuat mereka terkunci dalam pertempuran mematikan berkepanjangan.
Meski kelompok militan melakukan “diplomasi teror” sebagai jurus utamanya dengan merilis video yang mempertontonkan tawanan dan mengancam membunuhnya jika Angkatan Bersenjata Filipina tidak menghentikan serangan, namun gertakan itu sia-sia. Angkatan Bersenjata Filipina terus menggasak posisi kelompok militan hingga makin terdesak.
Berbeda dengan kasus Mosul pada 2014, mereka berhasil menaklukkan kota hingga menjadikannya pegangan (basis) untuk ekspansi ke zona lainnya. Hal inilah yang membuat Irak membutuhkan waktu dua tahun lebih untuk melakukan serangan balik merebut Mosul.
ISIS di Marawi mungkin tidak memperkirakan hal ini: Angkatan Bersenjata Filipina cepat berkonsolidasi dan melakukan serangan balik merebut kota. Bahkan, Angkatan Bersenjata Filipina mendapat sokongan dari kelompok pemberontak terbesar di Mindanao, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), untuk mangatasi krisis Marawi.
Satu-satunya keuntungan ISIS di Marawi mereka memiliki kombatan dari klan Maute yang lahir dan tumbuh di Marawi, sehingga menguasai seluk beluk kota di bandingkan Angkatan Bersenjata Filipina yang didatangkan dari Manila.
Pertempuran Marawi akhirnya memang berakhir, setelah genap lima bulan pengepungan (23 Mei-23 Oktober). Yang jelas, peristiwa ini akan membekas bagi kedua belah pihak. Bagi Pemerintah Manila, ini akan diperingati sebagai simbol negara mengalahkan kelompok teror. Namun bagi pengikut ISIS (di luar Filipina), peristiwa ini adalah teater kemartiran yang menginspirasi.
Pertempuran Marawi telah meningkatkan daya tarik pengikut ISIS garis keras di luar Filipina. Semua ini efek dari massifnya mesin media ISIS selama lima bulan pertempuran Marawi. Organ media ISIS seperti A’maaq dan Al Hayat tidak pernah kekeringan mendapatkan bahan baku propaganda, karena selalu disuplai kombatan mereka dari dalam kota selama pertempuran.
Di forum-forum jihad internet, saya merasakan reaksi anak-anak muda radikal Indonesia dan Malaysia terpesona dengan pertunjukan heroik “saudara-saudara” mereka di Marawi. Gelora jihad mereka seakan dipompa, mereka mulai mencari tahu bagaimana bisa berhijrah ke Marawi (Filipina). Kali ini undangan terbuka Hijrah dan Jihad ke Filipina datang dari “tuan rumah”, tidak sekadar diserukan dari Suriah.
ISIS mengekspose lima bulan pertempuran Marawi sebagai momentum untuk mengubah paradigma mainstream kaum jihadis; yang mengimani status medan jihad yang legitimate adalah negeri Syam (Suriah Raya). ISIS ingin meyakinkan mereka bahwa berjuang di Filipina bukan lagi opsi, namun kini statusnya setara berjuang di Timur Tengah.
Isu status medan jihad selama ini memang masih jadi persoalan dan sering jadi perdebatan di kalangan kaum jihadi—termasuk pengikut ISIS—di internet, mereka umumnya memperhitungkan lokasi ke mana mereka akan berpetualang.
Contoh kongkretnya adalah militan Santoso yang beroperasi di Poso. Faktor utama kelompok ini gagal mendapatkan dukungan fisik pengikut ISIS di Indonesia, karena medan jihadnya dianggap tidak legitimate. Baiat Santoso pada ISIS pada tahun 2014 tidak mendapat “sambutan”, media-media resmi ISIS tidak pernah menganggap aktivitas kelompok ini bagian dari proyek Kekhalifahan. Maka, tak heran, pengikut ISIS di Indonesia saat itu tetap banyak memilih berangkat ke Suriah daripada bergabung ke Poso.
Sampai ada anekdot, berjuang di Suriah berarti mempertahankan eksistensi Kekhilafahan, sementara berjuang di Poso itu hanya demi kepentingan Santoso.
Kesimpulannya, kekalahan ISIS di Marawi ini adalah akhir dari pertempuran, bukan akhir dari perang. ISIS memang telah pergi dari Marawi, tapi tidak dengan ideologi mereka. Semoga otoritas Filipina tidak mengulangi kecerobohannya dan sungguh-sungguh untuk menetralkan.
Kolom terkait:
ISIS, Lionel Messi, dan Piala Dunia 2018
Khilafah Virtual ISIS dan Jihadis Millenial
Setelah Juru Bicara ISIS Muhammad Al-Adnani Terbunuh
ISIS, Ideologi Hari Kiamat, dan Kultus Al-Baghdadi