Kamis, Oktober 3, 2024

Setelah Emmanuel Macron Menang Telak

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
Presiden Prancis Francois Hollande yang berakhir masa jabatannya menyambut Presiden terpilih Emmanuel Macron yang tiba untuk upacara serah terima di Istana Elysee di Paris, Prancis, Minggu (14/5). ANTARA FOTO/REUTERS/Benoit Tessier

Setelah melalui pergulatan panjang sejak 24 April hingga 8 Mei 2017, akhirnya pada putaran kedua pemilu, Prancis mendapatkan pemimpin baru. Ia adalah Emmanuel Macron, penggerak partai En Marche! (Bergerak!).

Macron memenangkan perolehan suara dengan hasil cukup telak dari Marine Le Pen, kandidat dari Front National. Macron mendapatkan suara sebanyak 65,1 %, sedangkan Le Pen mendapatkan suara 34,9%. Hasil ini tidaklah mengejutkan jika melihat pada jajak pendapat sebelumnya bahwa Macron diprediksi menang dengan suara lebih dari 60%.

Kemenangan Macron diklaim banyak pihak berhasil membuktikan praduga sebelumnya bahwa Prancis memang membutuhkan pemimpin yang membangun nilai-nilai Republik. Dengan slogan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan), Macron dianggap sebagian besar masyarakat Prancis mampu mengejawantahkan nilai-nilai sebenarnya dari Prancis.

Jika dilihat lebih jauh, sejatinya kemenangan Prancis bisa dicermati pada beberapa faktor. Pertama, faktor kebersamaan masyarakat Prancis dan dunia internasional untuk menolak Le Pen sebagai pemimpin Prancis. Usai kemenangan Macron pada putaran pertama yang berlangsung pada 24 April, tim kampanyenya bergerak untuk mencari dan mencoba mendulang suara dari kandidat yang tersisih. Ada tiga kandidat yang tersisih: Francois Fillon, Benoit Hamon, dan Nicolas Dupont Aignan.

Fillon dan Hamon berkomitmen tidak akan memberikan suara kepada Le Pen. Namun berbeda dengan Aignan yang melakukan tindakan sebaliknya. Tampaknya Macron berhasil mengendalikan situasi, kondisi serta pesonanya untuk mendulang suara dengan bantuan dari pendukung Fillon dan Hamon hingga memperoleh kemenangan mutlak.

Masyarakat Prancis lebih jeli dalam melihat situasi pemilu kali ini jika dibandingkan pada tahun 2002. Mereka tidak ingin terjebak pada situasi yang telah dialami Inggris dan Amerika Serikat. Macron berusaha menjelaskan pengaruhnya bahwa tidak ada jalan bagi orang-orang rasis dan radikal untuk menguasai Prancis. Secara tidak langsung, Macron menunjuk kepada kedua pemimpin dunia, yaitu Theresa May dan Donald Trump.

Kedua, munculnya pemimpin muda dunia. Pasca Swedia dan Kanada, kini Macron menjadi bagian dari ketiga pemimpin muda dunia. Dilihat pada sejarah Prancis pun, mantan Menteri Urusan Keuangan, Digital, Media era Hollande dinobatkan menjadi presiden termuda Prancis. Saat pemilihan telah selesai dilakukan, Macron menjadi presiden dengan usia 39 tahun.

Efek domino yang ditimbulkan dari ketiga negara tersebut tampaknya berhasil menginspirasi masyarakat Prancis untuk melakukan tindakan serupa. Kejenuhan dengan calon pemimpin tua, kebaruan pada pemimpin muda, semangat serta gairah pemimpin yang menyala membuat Macron dapat terpilih menjadi pemimpin Prancis. Hal tersebut seakan menjadi penanda bahwa partai-partai baru semacam En Marche! bisa juga menjadi pionir bagi kemunculan partai baru di belahan dunia lainnya.

Janji-janji Macron
Janji-janji yang telah diucapkan Macron sebenarnya bukan ide baru dan segar bagi masyarakat Prancis. Peningkatan pasar bebas, reformasi bisnis, hingga mengatasi masalah sosial adalah janji-janji yang juga diucapkan oleh rival-rivalnya. Namun keuntungan Macron adalah janji bahwa dirinya akan mereformasi UU Buruh. Undang-undang tersebut diklaim yang menjadi biang kerok bagi menurunnya tingkat perekonomian Prancis.

Hal ini diperparah pula dengan meningkatnya pengangguran di Prancis menjadi 10%. Pada akhirnya menyebabkan naiknya angka kriminalitas, utamanya di kota-kota pinggiran.
Selain itu, banyak pengusaha yang ikut mendukung Macron karena ia menjanjikan penurunan pajak bagi pengusaha. Ini menjadi anomali karena sebelumnya Macron adalah anggota partai sosialis yang tergabung dalam pemerintahan Hollande.

Saat Hollande memimpin, pajak pengusaha cukup tinggi sehingga pengusaha agak kesulitan mengembangkan usahanya. Hal inilah yang menjaddi titik poin mengapa ia keluar dari partai sosialis kemudian mendirikan En Marche!

Ketiga, kemampuan bahasa Prancis bagi pelamar suaka. Ini bukan hal baru. Sejak era Sarkozy telah ada kebijakan serupa yang dinamakan dengan French Immigration and Integration Law. Tampaknya Macron mengantisipasi dan memperkuat argumen yang pernah dikeluarkan oleh Le Pen tentang gelombang imigran. Masalah imigran adalah masalah bersama bagi masyarakat Prancis.

Jika Le Pen dan Fillon dengan jelas menolak dan menganggap kaum imigran adalah biang kerok dari kriminalitas dan meningkatnya kaum ekstrimis di Prancis, Macron melakukan hal serupa namun agak lebih ‘soft’.

Terakhir adalah kebijakan pemerintah tentang Uni Eropa. Selama kampanye berlangsung, Macron mendengungkan bahwa Prancis adalah bagian dari Uni Eropa dan selamanya akan tetap mendukung Uni Eropa. Janji tersebut yang menarik perhatian bagi pemimpin dunia macam Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Komisi Uni Eropa Jean Claude Junker untuk selalu mendukung Macron.

Respons terhadap janji tersebut diungkapkan ketika Macron secara resmi terpilih menjadi pemimpin baru Prancis. Angela Merkel mengatakan bahwa ini kemenangan bagi Eropa yang kuat dan bersatu. Sedangkan Jean Claude Junker mengungkapkan bahwa pemilih Perancis telah memilih masa depan Eropa.

Meskipun Macron secara resmi terpilih sebagai presiden Prancis, masih ada jalan terjal yang menanti. Di antaranya adalah memastikan dukungan mayoritas di Parlemen pada pemilu legislatif Juni mendatang. Bukan tidak mungkkin, Le Pen dan Melechon akan berusaha mengimbangi pergerakan Macron dengan meraih suara mayoritas di Parlemen. Dengan begitu, ada perimbangan baik di kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Selain itu, apakah benar janji yang diucapkan tentang masalah pengangguran, kriminalitas, hingga ekstrimis mampu diselesaikan dalam lima tahun mendatang? Janji-janji itulah yang akan terus ditagih oleh masyarakat Prancis. Berkaca dari pemilu Amerika Serikat, sebaiknya Macron belajar dari Trump untuk mengimplementasikan janji kampanye dengan baik.

Meski janji Trump dilihat oleh dunia internasional menimbulkan perpecahan konflik, setidaknya Trump berhasil membuktikan janjinya. Hal inilah yang akan dibutuhkan oleh Macron jika dirinya tidak ingin bernasib buruk seperti yang telah dialami pendahulunya, Francois Hollande.

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.