Hari ini, 15 Juli 2017, rakyat Turki merayakan dan memperingati perjuangan masyarakat sipil bersama pihak kepolisian yang berhasil menggagalkan kudeta militer setahun lalu. Salah satu lokasi utamanya adalah tepat di Jembatan Bosphorus. Sebagai informasi, Jembatan Bosphorus telah diganti menjadi 15 Temmuz Şehitler Köprüsü (Jembatan 15 Juli Para Syuhada) pada 26 Juli 2016 oleh Perdana Menteri Binali Yıldırım.
Pergantian nama ini merupakan penghormatan kepada para rakyat Turki yang tewas dalam perlawanan dengan militer Turki. Selain itu, juga telah dibangun dua monumen khusus untuk mengenang perjuangan tersebut. Monumen yang berbentuk dome dengan tinggi 9,5 meter dan diameter 11 meter ini dibangun tepat di sisi Asia jembatan yang di dalamnya tertulis 249 nama korban tewas dalam kudeta 15 Juli.
Peringatan setahun kudeta juga akan dihadiri oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan di Jembatan 15 Şehitler Köprüsü. Acara yang dibuka untuk umum ini telah diimbau beberapa hari sebelum perhelatan dengan tema “15 Temmuz Anma Töreni”.
Pada “15 Temmuz Destanı” (Perayaan Seremonial 15 Juli, Aksi Heroik 15 Juli), rakyat Turki akan mengenang aksi heroik (destanı) dan menyerukan untuk mencintai tanah air dengan tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Suasana ini terlihat dari salah satu selebaran yang disebar sehari sebelum perayaan, “Haydi İstanbul Bir Destan Daha Yazalım” (Mari, İstanbul, Sekali Lagi Kita Ukir Aksi Heroik).
Pasca kudeta 15 Juli tahun lalu, pemerintah Turki menetapkan status darurat (state of emergency). Situasi ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas nasional dan menjaga pembangunan bidang sosial, ekonomi dan politik tetap berjalan dengan baik. Pada 19 Juli 2017 nanti state of emergency akan berakhir.
Namun, Perdana Menteri Binali Yıldırım kemarin telah menyatakan akan mengajukan perpanjangannya pada pekan depan. Hal ini mendapatkan respons dari pihak oposisi, Partai Nasionalis CHP (Cumhuriyet Halk Partisi). Melalui Bülent Tezcan, CHP menyatakan bahwa pemerintah “kecanduan” dan mengibaratkannya sebagai drug addiction.
Setahun terakhir dinamika sosial, ekonomi dan politik di Turki sangat cepat. Turki kini semakin membangun dan mengembangkan potensi dalam negeri dan menjalin kerja sama bilateral dengan negara-negara, baik yang berada di kawasan Eopa, Afrika maupun Asia.
Kondisi ini tentu membuat peluang Turki untuk menjadi negara besar dalam perayaan 100 tahun kemerdekaannya pada 2023 mendatang semakin mudah. Mengutip Alfan Alfian, “kendati menghadapi perkembangan pelik di tingkat regional yang berdampak ke dalam negeri, Turki masih berpeluang untuk menjadi negara kuat dan berpengaruh. Kemampuannya mempertahankan stabilitas ekonomi, politik, integrasi sosial, ketidakterlibatan militer dari politik, dan upayanya menyeimbangkan keunikan Turki dalam aspek luar negerinya (Barat dan Timur), membuat peluang Turki menjadi negara maju dan berpengaruh cukup besar. Peluang tersebut mengemuka justru di tengah masih berlikunya jalan menuju konsolidasi demokrasi” (Alfan Alfian, 208).
Tetapi, dari dalam negeri Turki juga dihadapkan dengan permasalahan lainnya yang sekaligus menjadi tantangan untuk perkembangan nasionalnya. Di antaranya sorotan dan kritik serius terkait kebebasan pers, ancaman terorisme, penangkapan jurnalis dan akademisi, kejujuran proses hukum, pelanggaran-pelanggaran dalam penyelesaian masalah Kurdi dan isu-isu pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.
15 Juli 2016 menyimpan cerita bersejarah bagi masyarakat Turki. Pada malam itu Turki kembali diguncang oleh upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan pihak militer. Ibu kota negara yang berlokasi di Ankara dan kota bersejarah Istanbul adalah saksi nyata kerasnya suasana politik di tanah bekas Kesultanan Usmani ini. Sebanyak 249 orang tewas dan dua ribuan lainnya mengalami luka-luka akibat insiden berdarah tersebut.
Gedung parlemen Turki di Ankara, stasiun televisi pemerintah TRT, Bandara Udara Internasional Ataturk dan Jembatan Bosphorus yang berada di Istanbul adalah lokasi-lokasi strategis yang menjadi target kudeta.
Sebagai negara yang memiliki latar historis dan peradaban besar, Turki menyimpan banyak sekali dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam konteks politik, Turki termasuk negara yang cukup dekat dengan masalah kudeta. Hampir semua bermotifkan politik dan militer menganggap diri sebagai pengawal sekularisme Atatürk.
Sejauh ini sudah enam kali upaya kudeta di negeri yang telah memproklamasikan diri sebagai negara demokrasi pada 29 Oktober 1923 tersebut. Dan upaya kudeta yang keenam terjadi pada 15 Juli 2016 dan satu-satunya yang gagal dalam sejarah penumbangan politik di Turki.
Sinopsis dari beberapa upaya kudeta lainnya adalah sebagai berikut. Kudeta pertama kali terjadi pada tahun 1960. Pada masa tersebut Perdana Menteri Adnan Menderes memberikan ruang kepada umat Muslim untuk beribadah dan memaksimalkan tempat-tempat ibadah (masjid) sekaligus untuk kembali menggunakan pengeras suara saat adzan dikumandangkan. Era 1960 adalah masa di mana kelompok sekuler masih sangat kuat dalam bidang sosial dan politik Turki.
Sebagai respons dan desakan atas kondisi politik yang ada saat itu, Menderes berupaya menerapkan jam malam sebagai cara mencermati lawan-lawan politiknya. Puncaknya, pada 27 Mei 1960, atas desakan rakyat Turki, militer menggulingkan Perdana Menteri Adnan Menderes yang kemudian dihukum mati pada 17 Juli 1961 di Pulau Imralı, Provinsi Bursa.
Sebagai catatan, Adnan Menderes adalah kepala pemerintahan pertama di Turki yang dipilih langsung oleh rakyat. Dan selama masa pemerintahannya, kekuasaan Menderes dan Partai Demokrat diwarnai dengan pelanggaran HAM dan semangat untuk mengembalikan syariat Islam ke pemerintahan Turki. Dan Jenderal Cemal Gursel adalah orang yang berkuasa sampai tahun 1965.
Kudeta kedua di Turki terjadi pada tahun 1970. Selang 11 tahun dari kudeta pertama, politik kembali bergejolak. Dan faktor yang melatarbelakanginya adalah pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Suleyman Demirel dinilai gagal memenuhi tuntutan rakyat, terutama penurunan harga pangan, inflasi serta masalah lapangan pekerjaan.
Selain itu, militer Turki juga melayangkan memorandum yang menyebutkan bahwa pemerintah telah menyeret negara dalam anarki dan kerusuhan sosial. Akhirnya, surat yang ditandatangi oleh beberapa perwira tinggi tersebut mengultimatum pemerintah untuk segera membubarkan diri dan membentuk pemerintahan kesatuan. Suleyman Demirel turun dari posisinya sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Nihat Erim yang berlatar belakang dari Partai Republik.
Kudeta ketiga terjadi pada tahun 1980. Dalam kurun waktuu 11 tahun pasca kudeta 1970, Turki telah mengalami pergantian perdana menteri sebanyak 11 kali. Faktor pertarungan antar elite partai dianggap oleh pihak militer tiidak mampu berkontribusi positif terhadap stabilitas negara. Puncaknya terjadi ketika Jenderal Kenan Evren melancarkan kudeta dengan tujuan menyingkirkan pemerintahan sipil.
Dalam catatan sejarah, tahun 1980-an Turki ikut terseret dalam arus perang dingin yang ditandai dengan konflik berdarah di akar rumput. Dan tercatat pada era akhir 1970-an negeri yang berada di Benua Asia dan Eropa tersebut mengalamai 10 pembunuhan per hari terhadap aktivis komunis atau sayap kanan.
Selain itu, ribuan orang ditangkap, puluhan orang disiksa adalah sisi kelam yang tidak bisa dilupakan. Dalam statistik pertumbuhan ekonomi, tahun 1980 adalah momen terburuk di Turki, ketika kondisi ekonomi hampir bangkrut. Tahun 2014 Jenderal Evren akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan di Ankara. Akan tetapi, karena faktor usia Evren, vonis tersebut hanya bersifat simbolis saja.
Tahun 1997 militer memberikan reaksi terhadap pemerintahan Necmettin Erbakan yang dinilai telah meninggalkan prinsip sekularisme Mustafa Kemal Atatürk. Panglima Jenderal Ismail Hakki Karadayi bersama dewan jenderal memberikan ultimatum kepada pemerintah untuk melaksanakan tuntutan yang bertujuan membatasi gerak kelompok Islam.
Ujungnya, kudeta ini berhasil menjatuhkan Erbakan dari pemerintahannya. Presiden berhaluan kanan tersebut mengundurkan diri dari jabatannya. Meskipun demikian, para jenderal yang terlibat dalam kudeta diadili pada tahun 2012.
Lalu Recep Tayyib Erdoğan yang menjabat sebagai perdana menteri pada tahun 2012 melakukan penangkapan terhadap lebih dari 300 perwira militer kemudian dipenjarakan. Mereka dituding merencankan kudeta kepada pemerintah.
Upaya kudeta keenam terjadi tepatnya pada malam 15 Juli 2016, militer Turki mendeklarasikan kudeta dan mengklaim telah merebut pemerintahan dari Presiden Tayyib Erdoğan. Pada momen tersebut, Erdoğan sedang berlibur di Kota Marmaris, Provinsi Muğla, salah satu destinasi terbaik yang terletak di pantai Mediterania, Turki. Tercatat, militer bergerak cepat dan merebut tempat-tempat strategis di antaranya kantor berita CNN Turki di Istanbul, TRT (media resmi milik pemerintah), dan berusaha menduduki bandara Atatürk yang terletak di Istanbul.
Pesan singkat yang disampaikan Erdoğan melalui video face time kepada rakyat Turki untuk turun ke jalan akhirnya berhasil menggagalkan kudeta. Berdasarkan sumber dari pemerintah Turki, pelaku kudeta 15 Juli 2016 diduga kuat dilakukan oleh kelompok Fetullahçı Terör Örgütü (FETÖ) atau yang lebih populer sebagai para pengikut Fettulah Gülen melalui gerakan hizmet (service).
Adapun ringkasan perihal kudeta berdarah tersebut, dapat disimak di sini:
dan lima fakta yang menguatkan keterlibatan Gülen dalam kudeta 15 Juli 2016 telah dirilis oleh pemerintah Erdoğan, dapat dilihat di sini: