Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa ini mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia dan Iran saat ini terkait cadar, hijab, dan jilbab. Di Indonesia, sejak beberapa hari lalu, lebih tepatnya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dirundung dengan permasalahan cadar. Permasalahan yang memicu polemik di jagat nyata maupun maya.
Cadar, bagi sebagian pihak, dikatakan wajib karena berdasarkan keyakinan. Sedangkan pihak yang lain mengatakan bahwa cadar adalah tradisi Arab yang sesungguhnya tak elok jika dibawa ke Indonesia.
Selain itu, polemik cadar terkait dengan adanya indikasi bahwa perempuan yang menggunakan cadar adalah mereka yang terkena virus radikalisme. Virus tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk bagi bangsa Indonesia. Meski menuai pro-kontra, larangan penggunaan cadar akhirnya dicabut dan cadar tetap diperbolehkan dikenakan di kampus tersebut.
Lalu, bagaimana dengan Iran? Di Iran justru mengalami polemik sebaliknya. Sejak akhir 2017 hingga Maret ini para perempuan beramai-ramai melepaskan hijab. Caranya, dengan menarik perhatian publik, mereka melepas hijabnya di taman dan kemudian menggantungkannya di atas pohon. Tak lupa mereka mengunggahnya ke media sosial masing-masing.
Selain itu, ada pula perempuan yang melakukan atraksi dengan melepaskan hijabnya di dalam mobil. Kemudian, dengan menggunakan tongkat, ia kibarkan jilbabnya di kaca depan mobil setelah sebelumnya berkata dalam sebuah video,
“This is my flag of freedom. As an Iranian women, I like to choose what I want to wear.”
Tentu saja beredarnya video dan foto-foto tersebut menuai reaksi keras dari pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Beliau mengatakan bahwa sikap dari para perempuan tersebut sangat berlebihan. Bahkan, Khamenei tak segan mengatakan bahwa Islam telah menghalangi gaya hidup yang demikian.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang membuat para perempuan Iran melakukan sikap demikian? Membuang-buang hijab di ruang publik dan mengunggahnya di media sosial.
Faktor Sejarah
Berkaca dari masa lampau, peraturan hijab justru hadir saat kemenangan Revolusi Iran pada 1979. Saat itu Ayatulloh Khomeini mewajibkan kepada seluruh perempuan untuk mengenakan hijab di ruang publik. Ini berbanding terbalik ketika Reza Pahlevi yang memimpin di tahun 1930an. Ia justru melarang penggunaan hijab sebagai salah satu bagian dari modernisasi.
Entah apa yang melandasi Khomeini menerapkan peraturan baru di tahun tersebut. Namun, yang jelas, peraturan tersebut tak langsung dilaksanakan oleh para perempuan Iran. Malah pada 8 Maret 1979 mereka melaksanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut membatalkan kebijakan Khomeini yang dinilai kontroversial.
Merunut sejarahnya, protes perempuan Iran terhadap masalah hijab bukan terjadi sekali saja. Bahkan mungkin berulang kali, hanya saja isu tentang permasalahan hijab masih kalah dibanding isu nuklir maupun isu embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Iran. Menurut Janet Afary dalam bukunya, Sexual Politics in Modern Iran, kebijakan negara yang terlalu mentekstualisasikan Islam tidak menghadirkan kenyamanan ekonomi bagi rakyat Iran. Bahkan, gagasan-gagasan yang hadir melalui hukum Islam justru menyebabkan perempuan kurang berkembang.
Ada bentuk patriarki yang menyulitkan perempuan untuk menciptakan tatanan ekonomi maupun sosial politik. Selain itu, kebebasan untuk mengemukakan pendapat selayaknya laki-laki bagi perempuan ‘agaknya’ dikekang. Ia mencontohkan pada tahun 2005, ada jurnal daring Zanestan yang mengampanyekan hak-hak perempuan dalam keluarga ataupun pernikahan. Jurnal tersebut ingin mengakhiri adanya penindasan dan intimidasi terhadap perempuan.
Namun, yang terjadi adalah jurnal mereka ditutup oleh pemerintah. Tidak hanya itu, sekitar Januari 2008, sebuah majalah feminis yang telah berdiri selama enam belas tahun, yaitu Zanan, ditutup juga oleh pemerintah. Padahal majalah tersebut telah mengklaim dan menyebarkan virus baik dari zaman kegelapan menuju zaman pencerahan perempuan.
Yang terbaru bahkan Presiden Rouhani sampai memohon pimpinan tertinggi untuk melonggarkan aturan sosial tentang hijab. Permohonan tersebut mengacu pada laporan di tahun 2014 bahwa setidaknya 49,8% perempuan Iran menganggap bahwa penggunaan hijab menjadi milik pribadi. Uniknya, Rouhani tak menyampaikan laporan terkini dan yang diungkapkan adalah laporan pada saat ia tak menjabat sebagai presiden.
Korupsi Moral
Solidaritas yang telah diungkapkan pada saat Hari Perempuan Internasional 2018 mungkin tak bisa mengajak, bahkan mengubah, pandangan ulama terhadap perempuan Iran. Bagi mereka, sudah jelas bahwa sebagai Republik Islam Iran, penggunaan hijab adalah sesuatu yang sifatnya wajib. Tidak ada kompromi apa pun, termasuk peristiwa penangkapan tiga puluh perempuan pada akhir Desember 2017.
Menariknya adalah, pemberlakuan hukuman dua tahun penjara bagi perempuan jika terbukti melepaskan jilbab di ruang publik. Hukuman yang cukup aneh karena dakwaan yang boleh dibilang unik. Salah satu perempuan yang mengalaminya adalah Narges Hosseini. Ia telah dijatuhi hukuman dua tahun dengan dakwaan “mendorong korupsi moral”. Tentu ini dakwaan yang menggelikan.
Andaikan dakwaan tersebut diberlakukan di Indonesia, mungkin bukan perempuan yang terkena jeratan hukuman tersebut, melainkan laki-laki yang mengklaim diri ulama, dan sedang bermigrasi ke tempat yang lebih aman, namun melakukan korupsi moral. Bedanya jika perempuan di Iran dianggap mendorong korupsi moral, maka laki-laki itu justru menolak korupsi moral.
Moral memang layak diperdebatkan, namun alangkah eloknya negara tak mengambil alih untuk mengurus masalah pribadi seseorang. Iran seharusnya mawas diri untuk lebih baik memperbaiki kondisi perekonomiannya. Begitu pula dengan negara tercinta kita, Indonesia.
Kolom terkait:
Fenomena Melepas dan Memakai Jilbab
Cadar dan Kompleksitas Hubungan Agama-Budaya
Kuasa Gelap Jilbab dan Perempuan Aristokrat Arab
Solidaritas untuk Rina Nose dan Perempuan yang Melepas Jilbab