Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan langkah politik mengejutkan dengan memerintahkan serangan militer ke Suriah. Keputusan ini menjadi intervensi militer langsung (direct military intervention) pertama Gedung Putih dalam kurun enam tahun berkecamuknya konflik di Suriah.
Trump menyatakan bahwa operasi militer udara ini bentuk balasan terhadap serangan gas beracun yang, menurutnya, dilakukan oleh pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Tuduhan itu sendiri dibantah keras oleh pemerintah Suriah, yang justru menuduh gas beracun tersebut ada di gudang persenjataan milik pemberontak.
Keputusan Trump ini termasuk tergesa-gesa, parsial, dan berisiko politik tinggi. Tergesa-gesa, karena proses investigasi atas serangan gas beracun sedang berlangsung. Meski Turki sudah mengeluarkan hipotesa bahwa serangan gas beracun tersebut benar terjadi, validitas siapa pelaku sebenarnya masih polemis. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) belum mengeluarkan hasil resmi tentang ini.
Saat investigasi dan polemik soal siapa pelaku serangan gas beracun ini masih berlangsung inilah, Trump secara terges-gesa memutuskan untuk menyerang Suriah. Keputusan ini mendadak, tanpa konsolidasi pada tingkat internal Kongres AS maupun negara-negara Eropa. Bandingkan dengan pendahulu Trump, Presiden Barack Obama, yang selama enam tahun memilih bersikap hati-hati dan menghindari intervensi militer langsung ke Suriah.
Tak disangsikan lagi bahwa investigasi harus dilakukan tanpa pandang bulu. Dan hasilnya harus ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi, siapa pun pelakunya. Namun, kehati-hatian model Obama sangat dibutuhkan guna menghindari konfrontasi militer yang kontraproduktif bagi penyelesaian damai di negera itu. Kita tentu masih ingat bagaimana invasi politik George W. Bush ke Irak atas tuduhan penggunaan senjata kimia oleh Presiden Saddam Hussein sampai saat ini tidak pernah disertai bukti objektif dan konkret. Keputusan itu lebih didasari tuduhan subjektif dan tendensius.
Selain tergesa-gesa, keputusan menyerang Suriah juga tergolong parsial. Trump tidak melakukan konsolidasi politik terlebih dahulu di tingkat dalam negeri maupun luar negeri. Meski pada akhirnya mendapat dukungan dari beberapa di antaranya, terutama negara-negara Eropa dan Arab Teluk. Bahkan tidak ada “prolog” diplomatik dari Trump yang mendahului keputusannya tersebut. Semua serba dadakan.
Juga tak ada indikasi politik yang bisa dibaca sebagai pertanda akan diambilnya keputusan tersebut. Malah sebaliknya, sebelumnya Trump justru menunjukkan sikap politik tidak berselera untuk mengambil langkah politik interventif ke Suriah. Ia bahan mengkritik keras Obama yang dianggapnya terlalu sibuk mengurusi kemanan dunia ketimbang keamanan negaranya sendiri.
Serangan militer ke Suriah tersebut memiliki risiko politik yang tinggi. Keputusan itu potensial memantik instabilitas politik-keamanan di kawasan Timur Tengah. Terutama jika muncul aksi balasan dari Suriah plus Rusia-Iran sebagai mitranya. Problem di Suriah sangat kompleks, karena melibatkan blok-blok politik dengan latar kepentingan berbeda. Serangan militer AS ini dapat memicu risiko militer yang tinggi dari kompleksitas ini.
Sebagaimana karakteristik Trump yang tak terterka (unpredictable), keputusannya untuk menyerang Suriah juga sulit dideteksi motif dan visinya. Apa target politik yang diinginkan Trump melalui serangan ini? Apa pula pesan politik yang hendak disampaikan kepada Rusia dan aliansinya serta kepada dunia? Jika serangan ini dimaksudkan untuk menekan Presiden Rusia Vladimir Putin, rasanya Putin bukan personalitas yang bisa dihadapi dengan strategi ini. Terbukti, sejauh ini AS dan Eropa gagal untuk melakukan dikte dan “penjinakan” politik kepada Putin.
Signifikansi serangan militer ke Suriah tersebut ini juga tidak begitu meyakinkan. Karena tidak akan secara signifikan memukul mundur basis kekuatan pemerintah Assad maupun Rusia. Malah sebaliknya, serangan ini berpotensi membuat Assad kembali resisten terhadap inisiatif perdamaian yang selama ini digulirkan oleh PBB.
Pada sisi yang lain, Trump juga cenderung menunjukkan karakter ambivalen, alias politik zig-zag. Keputusan menyerang Suriah ini kontradiktif dengan garis politik dan komitmen kampanyenya. Sebelumnya, Trump selalu menegaskan untuk memilih fokus mengurus “rumah tangganya sendiri” (AS), ketimbang sibuk dengan urusan dalam negeri orang. Trump juga menunjukkan iktikad politik untuk merehabilitasi relasi politik Washington-Moskow, sementara serangan ke Suriah, bagi Putin, melukai hubungan keduanya.
Tapi ironisnya, pekan depan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson berencana melakukan kunjungan ke Rusia. Artinya, ada sebuah komunikasi politik yang ingin dibangun Gedung Putih pasca serangan ke Suriah. Sekali lagi, sepintas ini terkesan seperti gaya ambivalensi politik model Trump: menyerang, lalu merangkul. Jika tidak lebih berhat-hati menerapkan karakter ambivalensi dan taktik zig-zag model seperti ini, Trump bisa menuai risiko politik yang berbahaya.
Sebenarnya, dalam satu tahun terakhir basis-basis kekuatan militer kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) melemah signifkan. Kolaborasi militer Rusia-Suriah-Turki berhasil memukul mundur ISIS di kota-kota utama yang dikuasainya. Jadi, sebetulnya satu pekerjaan rumah sudah selesai. Jalan menuju perdamaian tinggal selangkah lagi. Sebab, selama ini perilaku teror ISIS menjadi salah satu duri di sepanjang peta jalan damai Suriah.
Dilihat dalam perspektif ini, serangan AS ke Suriah berpotensi menarik mundur kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di atas. Keputusan Trump ini bisa mengembalikan Suriah pada kondisi “semula”, yaitu konflik bersenjata berkepanjangan. Apalagi, jika ada serangan militer episode kedua. Hal ini rentan memicu perang terbatas dan berkepanjangan di kawasan tersebut.
Saat ini pilihan paling strategis bagi Trump adalah merehabilitasi hubungan politiknya dengan Rusia dan Suriah. Setelah itu merancang peta jalan damai antara Bashar dan oposisi.