Sungguh mengejutkan. Pekan lalu (26 September), Raja Salman bin Abdul Aziz membuat keputusan yang mengundang perhatian luas dunia: perempuan diberikan hak untuk mengendarai mobil. Keputusan itu akan diberlakukan pertengahan tahun depan atau tepatnya pada 24 Juni 2018.
Sebenarnya tak ada undang-undang resmi kerajaan yang melarang perempuan di Arab Saudi mengendari mobil. Namun, pada praktiknya perempuan memang dilarang mengendarai mobil berdasarkan konvensi yang berlaku di masyarakat. Konvensi itu juga didukung oleh fatwa para ulama rujukan seperti Bin Baz, Bin Ali Syekh, Salih Fauzan, al-Utsaimin, dan lainnya.
Larangan perempuan mengendarai mobil antara lain didasarkan kepada syadz’ al-dzarah’, yaitu menutup kemungkinan terjadinya hal-hal buruk kepada perempuan. Pelanggaran terhadap “konvensi” ini juga dikenai hukuman.
Sejumlah pihak, termasuk para perempuan Saudi sendiri, tercatat berulangkali melakukan demonstrasi terhadap ketentuan tak tertulis ini. Pada tahun 1990-an, sekitar 47 perempuan di Riyadh melakukan aksi protes dengan mengendarai 17 mobil mereka. Ujungnya mereka semua ditangkap, sebagian di antaranya dipecat dari tempat kerja dan juga dikenai hukuman dilarang bepergian. Bahkan para suami dan anak-anak laki-laki mereka juga ditangkap sebab dipandang tak bisa mengontrol istri atau ibu mereka.
Perempuan Uni Emirat Arab juga pernah ditangkap dan dihukum sebab berusaha memasuki wilayah perbatasan Saudi dengan mobil. Pada tahun 2011, protes dengan slogan “saaqudu sayyarati binafsi” (aku kendarai mobilku sendiri) diikuti banyak orang dan melibatkan beberapa aktivis. Tapi protes ini kemudian juga berakhir sama.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah sikap lembaga para ulama yang dulu mengharamkan perempuan mengendarai mobil. Tak berselang lama dari pengumuman Raja Salman, mereka kemudian menyatakan perempuan halal mengendarai mobil. Keputusan rezim Saudi itu dipandang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Keputusan raja itu sudah sesuai dengan maslahah (kepentingan) luas rakyat Saudi. Ini tak mengejutkan sebab dukungan yang aneh semacam ini sudah biasa terjadi di kerajaan itu.
Alasan “maslahah” untuk membolehkan perempuan mengendarai mobil itu memang masuk akal sebab beban ekonomi dan sosial akibat larangan itu sesungguhnya tidak ringan. Masyarakat Arab Saudi membutuhkan sopir yang hampir seluruhnya orang asing dalam jumlah besar. Ini tentu menjadi beban yang semakin berat ketika situasi ekonomi Saudi menurun drastis akibat harga minyak yang terjun bebas dan konflik serta perang yang digeber kerajaan itu di mana-mana.
Namun, sulit untuk menahan senyum atas mudahnya ulama Saudi mengubah cara pandang terhadap satu persoalan.
Pilar Kerajaan
Kerajaan Arab Saudi mengklaim sebagai satu-satunya negara yang menerapkan Islam secara keseluruhan. Pilar kerajaan itu tercermin dalam bendera kerajaan tersebut yang terdiri dari dua, yaitu tulisan kalimah syahadah dan pedang. Tulisan syahadah mencerminkan pilar Islam bagi kerajaan itu, sedangkan pedang mencerminkan kekuasaan politik yang berada di tangan Bani Saud.
Jadi, dalam pandangan ideal pendiri kerajaan itu, Saudi adalah kerajaan yang disangga dua pemegang kekuasaan: kekuasaan politik dan otoritas agama Islam.
Ya, politik dan Islam adalah dua pilar utama kerajaan tersebut. Keduanya merupakan satu kesatuan. Tetapi, dalam perkembangannya kemudian kekuasaan kelompok agama ini melemah. Bahkan lembaga ulama belakangan tak ubahnya para tukang yang bertugas memberikan stempel Islam bagi setiap keputusan rezim yang berpotensi mendapat resistensi dari masyarakat.
Inilah yang terjadi pada sejumlah kasus seperti penempatan tentara Amerika Serikat di Saudi dalam jumlah besar saat perang teluk dan juga kasus menyetir mobil saat ini. Padahal, fatwa ulama Saudi sangatlah jelas bahwa perempuan dilarang mengendarai mobil demi menghindari terjadinya hal-hal negatif terhadap perempuan.
Namun, rezim Saudi dengan latar belakang tertentu kemudian tiba-tiba membuat peraturan mengejutkan tadi: membolehkan perempuan menyetir mobil sendiri. Sekali lagi, yang lebih mengejutkan adalah sikap para ulama, terutama di lembaga resmi Haiah Kibar al-Ulama. (Dewan Tinggi Ulama). Mereka langsung memberikan mubarakah (restu) dan legitimasi. Pendeknya, yang dulu mereka haramkan secara sangat keras dengan dasar dan dalil yang bermacam-macam, kini dengan mudahnya tiba-tiba menjadi halal.
Ini aneh bin nyata. Tetapi itulah yang acapkali terjadi terhadap keputusan rezim Saudi yang berpotensi dilawan oleh masyarakat. Ulama kemudian menjadi bumper rezim. Lembaga ulama seolah dipaksa untuk membenarkan apa saja yang dilakukan rezim. Ini tentu sungguh memprihatinkan.
Tetapi ini dapat dimaklumi. Sebab, ulama itu sudah lama tak lagi menjadi pilar dalam kekuasaan Saudi. Wujuuduhu ka’adamihi, keberadaan mereka atau ketiadaan mereka seolah tak ada bedanya di hadapan rezim Saudi. Haihah Kibar al-Ulama, lembaga amar makruf nahi munkar, dan semacamnya tak lain seolah hanya dipandang aksesori di hadapan rezim. Para ulama itu sangat tegas menghukumi kesalahan-kesalahan yang dilakukan masyarakat umum tetapi sepenuhnya tak berkutik terhadap apa pun keputusan rezim.
Perubahan yang terjadi di Saudi adalah perubahan topdown semata yang ujung-ujungnya sebenarnya untuk kepentingan rezim. Perubahan itu bukan didasarkan kepada kepentingan luas orang banyak. Hampir tak ada diskusi pendahuluan yang memadai di ruang publik terkait perubahan-perubahan ini. Yang jelas, rezim menentukan dan para ulama memberi penegasan.