Nakhoda baru AS, Donald Trump, sepertinya menyadari benar bahwa konflik di Timur Tengah adalah potensi yang menguntungkan bagi Amerika Serikat. Trump punya ambisi besar untuk mengembalikan kejayaan AS khususnya di bidang ekonomi melalui barter politik dan keamanan dengan uang.
AS di bawah Trump berupaya keras mengembalikan pola konflik Iran versus Saudi dan negara-negara Sunni di Timur Tengah. Padahal polarisasi lama itu sebetulnya mulai mencair dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di Suriah, Irak, Yaman, dan negara lainnya, serta tercapainya perjanjian nuklir 5+1 dengan Iran.
Trump sangat memerlukan polarisasi itu untuk meneguhkan kehadirannya di Timur Tengah, meningkatkan kontrol, serta mengeruk uang dari negara-negara Arab Teluk. Caranya adalah dengan menjalankan politik sumur pompa. Di satu sisi, ia akan menekan habis-habisan Iran terutama di Irak. Di sisi lain, ia berupaya menyuburkan persepsi besarnya ancaman Iran bagi negara-negara Teluk yang kaya raya itu.
Faktanya, Trump telah menawarkan program prestisius bagi pembangunan pertahanan negara-negara Teluk itu dari kemungkinan ofensif Iran. Trump sadar benar bahwa negara-negara itu memiliki kekhawatiran besar terhadap ancaman Iran dan yang pasti mereka mampu membayar mahal pihak yang membelanya. Singkatnya, ibarat pompa air, satu pihak ditekan seintensif dan sekuat mungkin sementara di pihak lain akan mengucurkan air yang deras.
Inilah yang diinginkan Trump seorang yang mungkin paling pragmatis dalam sejarah keprisidenan AS. Ia barangkali tak menginginkan perang terbuka dengan Iran. Tetapi, Iran harus sesering mungkin dan seintensif mungkin ditekan. Dan beriringan dengan itu, sikap garang negara yang punya harga diri sangat tinggi ini pun akan semakin keras melawan. Itu artinya ancaman besar bagi negara-negara Arab Teluk, sekutu AS, yang persis berada di depannya.
Semakin tinggi ketakutan rezim negara-negara Arab Teluk itu, maka semakin tinggi pula air mengalir ke kantong mereka. Trump tanpa tedeng aling-aling menyebut negara-negara Teluk itu pantas membayar mahal untuk jasa keamanan AS selama ini, khususnya negara-negara seperti Arab saudi, Kuwait, bahkan juga Irak.
Trump memang berbeda dengan Obama yang cenderung memiliki idealisme dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, masyarakat sipil, dan semacamnya. Trump adalah orang lapangan yang pragmatis. Obama menjaga jarak dengan sekutu lamanya, yaitu Mesir, Saudi, bahkan dengan Turki. Sedikit banyak sikap AS di bawah Obama itu berkaitan dengan dinamika di dalam negeri negara-negara tersebut yang semakin hari semakin tidak demokratis, tak menghargai masyarakat sipil, dan seterusnya.
Bagi Trump, pertimbangan semacam itu kurang berguna. Mesir yang sudah mulai mendekat ke Rusia dan secara lambat tapi pasti menjauh dari AS kemudian dirangkul kembali. Turki juga demikian. Apa yang terjadi di dalam negeri Turki selama tahun 2016 lalu sepertinya tak banyak menjadi pertimbangan Trump. Yang penting, negara-negara itu memiliki arti penting dan signifikan bagi kepentingan AS, maka negara-negara itu akan dirangkul. Trump berupaya mengembalikan kesatuan sekutu-sekutu Arabnya dengan cara membuka kembali front permusuhan dengan Iran.
Kontestasi dengan Rusia?
Bagaimana dengan Rusia yang sedang naik daun di Timur Tengah beberapa tahun terakhir? Di bawah Putin yang kuat, Rusia memantapkan kehadirannya di Timur Tengah. Rusia berhasil mempertahankan sekutunya Assad dan membuat kelompok oposisi tercerai berai secara militer maupun politik. Putin juga mulai memantapkan kehadirannya di Libya dan kini terus didekati oleh banyak negara Timur Tengah lain.
Kekuatan-kekuatan utama kawasan seperti Mesir, Saudi, dan Turki sebelum naiknya Trump telah berupaya mendekat kepada Rusia. Postur negara ini sangat meyakinkan di kawasan terutama dalam pembelaannya terhadap sekutu-sekutunya. Sikap Rusia itu sungguh menggiurkan bagi rezim Arab yang mencemaskan survivalnya, baik karena Iran maupun gerakan protes rakyat. Mampukah AS di bawah Trump mengembalikan lagi pamornya yang hilang dan menggeser Rusia?
Trump sangat pragmatis. Berkonflik dengan Rusia sepertinya baginya tak akan membawa untung. Oleh karena itu, ia sepertinya akan melepas Suriah untuk diberikan kepada Assad sekutu Rusia dan Iran. Padahal AS sebelumnya berupaya keras sejak awal memberikan bantuan besar-besaran kepada kelompok-kelompok oposisi bersenjata Suriah. Tujuannya tentu adalah jatuhnya Assad.
Korban kemanusiaan di Suriah sudah tak dapat diterima akal sehat lagi. Biaya perang dari banyak pihak tentu juga sangat besar. Tapi, dengan kalkulasi yang pragmatis, Trump sepertinya akan melepas Suriah untuk diurus “Rusia” dan mencari kompensasi yang lebih menggiurkan, yaitu Irak dan negera-negara Teluk. Toh, Suriah tak memiliki gula-gula semanis Irak dan negara-negara Teluk itu.
Sebagaimana diketahui, Irak adalah salah satu produsen minyak dunia. Negara itu pernah menempati rangking kedua dalam produksi minyak. Demikian pula negara-negara Arab Teluk yang berlimpah kemakmuran, terutama Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, dan pada tingkat tertentu Oman.
Kerajaan-kerajaan superkaya itu memang memiliki kemakmuran luar biasa, tapi mereka tak memiliki kemampuan militer mandiri yang tangguh dan juga kohesi masyarakat yang kuat. Kelemahan inilah yang akan dieksploitasi habis-habisan oleh Trump. Ia secara tegas akan memerah “sapi” dari kawasan itu. Sebab, di mata Trump, negara-negara itu tak memiliki apa-apa, kecuali uang!