Di tengah pemberitaan aksi peledakan di kota Alexandria (kota terbesar kedua di negeri itu), Mesir menyelenggarakan Pemilihan Presiden pada 26-28 Maret 2018 ini. Pemungutan suara di luar negeri dilaksanakan lebih awal 10 hari.
Kandidat yang maju dalam pemilu ini ada dua. Pertama, Abdul Fattah al-Sisi. Ia adalah incumbent, Presiden Mesir, dan mantan menteri pertahanan di era Presiden Muhammad Mursyi. Ia naik ke tampuk kekuasaan sejak pertengahan 2013 melalui kombinasi kekuatan militer dan protes rakyat dan tandatangan jutaan warga yang digalang kelompok Tamarrud.
Presiden al-Sisi hampir bisa dipastikan akan terpilih kembali dengan suara di atas 90 persen, kendati tingkat partisipasi rakyat Mesir kemungkinan akan sangat rendah. Pasalnya, tak ada pesaing serius dalam pemilu kali ini. Orang-orang yang berpotensi menyainginya dalam pemilu ini dan sempat menyatakan akan maju menuju Mesir 1 telah disingkirkan.
Kedua, nama-nama pesaing kuat tapi tersingkir adalah Ahmad Syafik, mantan perdana menteri dan calon presiden pesaing Muhammad Mursyi dalam pemilu demokratis 2012. Ia hampir memperoleh suara 50 persen dalam pemilu demokratis itu.
Nama lainnya adalah Sami Hafiz Anan, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir yang sangat disegani tetapi kemudian ditangkap karena tuduhan korupsi dan memalsukan dokumen setelah menyatakan pencalonannya. Beberapa nama lain yang kurang menonjol juga muncul seperti pengacara Khalid Aly dan ketua partai Wafd Baru, Sayyid Badawi.
Pesaing al-Sisi dalam pemilu kali ini hanyalah Musa Mustofa Musa. Pimpinan Partai al-Ghadd ini jelas bukan tandingan al-Sisi. Ia kurang populer. Ia bahkan diketahui sebagai pendukung berat al-Sisi. Ia mencalonkan diri sehari sebelum pendaftaran ditutup. Kendati menolak tuduhan sebagai capres boneka, Musa jelas sekali maju bukan untuk memenangkan pertarungan tapi untuk kalah. Pencalonannya tak lain bertujuan menghindari calon tunggal yang bisa memperburuk citra demokrasi Mesir yang memang sudah sangat buruk.
Al-Sisi sendiri juga menyampaikan langsung ke publik bahwa ia sebenarnya menginginkan agar ada sejumlah pesaing berkualitas (afaadhil) sehingga rakyat Mesir bisa memilih yang terbaik bagi mereka dan masa depan Mesir. Namun, pernyataan yang disampaikan dengan lemah lembut dan “mengiba” kepada rakyat, sebagaimana kebiasaannya, itu tetap sulit dipercaya. Sebab, itu sama sekali bertolak belakang dengan praktik di lapangan.
Transisi yang Salah
Pemilu presiden kali ini jelas merupakan pemilu abal-abal. Tak ada kompetisi yang bebas dan sungguh-sungguh terjadi. Ini hanyalah proses peneguhan rezim militer Mesir di bawah kekuasaan Abdul Fatah al-Sisi. Tak ada yang bisa diharapkan dari pilpres kali ini untuk meningkatkan kualitas kehidupan politik dan kehidupan bangsa Mesir secara umum. Semua ini tak lepas dari kesalahan fatal dalam proses transisi yang terjadi sekitar 6 tahun lalu.
Kesalahan terpenting dalam proses transisi demokrasi Mesir adalah ketergesaan dalam menyelenggarakan pemilu tanpa kesepakatan aturan main terlebih dahulu. Aturan main yang dimaksud adalah penetapan konstitusi. Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wal Adalah), sayap politik Ikhwanul Muslimin, sangat egois, dan tak mau berkompromi terkait waktu pemilu.
Mereka terus mendesak pemilu diaksanakan secepatnya, kendati konstitusi belum ditetapkan. Padahal, kebanyakan mereka tentu juga belum siap untuk memegang kendali kekuasaan sebab banyak tokoh mereka berada di penjara.
Pemilu langsung akhirnya dilaksanakan terlalu cepat. Pemilu itu dilaksanakan hanya sekitar setahun dari jatuhnya rezim Mubarak yang berkuasa lebih 30 tahun. Setahun adalah waktu yang terlalu pendek untuk melakukan konsolidasi bagi sebuah pemilu baru yang sangat menentukan. Bandingkan dengan Indonesia yang memerlukan waktu 6 tahun pasca penjatuhan rezim untuk menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung.
Padahal, secara de facto militer masih sangat berkuasa di lapangan. Militer jelas tidak menerima untuk dikembalikan ke barak begitu saja. Politik dan ekonomi Mesir memang dikuasai militer. Melawan kepentingan politik dan ekonomi militer dalam situasi transisi yang masih sangat rapuh itu tentu sangat berbahaya. Akan tetapi, Ikhwan terlalu berambisi untuk berkuasa bahkan tanpa menggandeng kekuatan-kekuatan pemuda revolusioner.
Di sisi lain, banyak kelompok yang memang tidak menginginkan Ikhwan memegang kendali kekuasaan. Sebagian kelompok itu merupakan pilar-pilar yang aktif dalam proses “revolusi” penjatuhan Husni Mubarak. Maka, aliansi mereka yang tak menginginkan Ikhwan berkuasa dan militer kemudian memaksa para tokoh Ikhwan keluar istana dan kembali memenuhi penjara-penjara “bawah tanah” Mesir. Padahal, Ikhwan memperoleh kekuasaan itu melalui pemilu yang bebas dan bersih.
Sebagai penutup, penulis ingin sedikit bercerita. Di awal-awal kekuasaan Mursyi, penulis diundang berbicara mengenai perkembangan politik Mesir bersama Dr. Ali Mun’im yang berasal dari Mesir. Saat itu ketika euforia orang-orang Ikhwan di seluruh dunia Islam membuncah, secara mengejutkan pembicara itu menyebut bahwa kekuasaan Mursyi akan berlangsung hanya sekitar enam bulan kecuali ia bersedia mundur lalu berbaris bersama para pemuda revolusioner di lapangan Tahrir.
Ramalan itu memang sedikit melesat mengenai waktunya, tetapi faktanya memang tidak salah, yakni kekuasaan Ikhwan berakhir cepat bahkan dengan cara mengenaskan.
Yang berakhir dari proses sejarah itu bukan hanya kekuasaan Ikhwan yang sekarang kembali menjadi kelompok terlarang di negeri itu, tapi juga menandai kematian proses demokratisasi di Mesir. Pendek kata, perjuangan luas rakyat Mesir melalui revolusi 25 Januari berbuah sangat pahit: Mesir kembali kepada kekuasaan militer hingga sekarang yang tak mungkin akan dikembalikan kepada kekuasaan sipil melalui pemilu saat ini.