Belum lama ini Hamas mengumumkan manifesto barunya yang, konon, memakan waktu bertahun-tahun untuk mendiskusikannya di antara anggota Hamas, baik yang di dalam penjara ataupun pelarian. Manifesto yang diumumkan menjelang pertemuan antara Donald Trump dan Mahmoud Abbas itu seolah ingin memberi pesan bahwa Hamas siap untuk melanjutkan rekonsiliasi dan kerja sama dengan Fatah. Bagaimana dengan nasib perdamaian dengan Israel?
Seperti diketahui, Hamas (Harakat al-Muqawwamah al-Islamiyya/The Islamic Resistance Movement) merupakan salah satu kelompok perlawanan di Palestina yang mulanya menginduk ke Ikhwanul Muslimin. Didirikan pada tahun 1987, Hamas bercita-cita untuk membebaskan tanah Palestina.
Selain berjuang melalui jalur militer dengan pasukan paramiliternya, Brigade Izzudin Al-Qassam, Hamas juga berjuang di jalur elektoral. Dengan sayap militernya, mereka melawan Israel, walau bermodalkan pelontar batu seperti ketapel hingga roket-roket buatan rumah tangga. Dengan modal ini, Israel dibuat keteteran.
Di jalur elektoral, Hamas mengejutkan dunia ketika berhasil memenangkan pemilu Palestina di tahun 2006 dengan mengalahkan Fatah, walau kemudian dunia internasional tidak mengakuinya.
Kelahiran Hamas diinisasi oleh Syeikh Ahmad Yassin, seorang ulama kharismatis yang berjuang melawan Israel. Dengan keterbatasan penglihatannya, beliau sanggup melahirkan organisasi yang konsisten dan militan sebagai koreksi atas strategi Fatah dalam membebaskan Palestina dari okupasi Israel.
Sepanjang perjalanan organisasi perlawanan ini, Hamas seolah merupakan antitesis dari Fatah yang sekuler, akomodatif, kalau bukan pragmatis, kompromis terhadap Israel dalam berbagai perjanjian kerjasama antara Palestina dan Israel. Garis perjuangan Hamas tegas-tegas menyebut Israel harus dihapuskan dari peta dunia (manifesto Hamas 1988) dan kemudian mendirikan negara Islam di tanah itu. Tidak ada tawar menawar dalam hal kemerdekaan Palestina.
Sepanjang Intifada pertama, Hamas turut memainkan peran penting dengan pasukan intifada yang menyerang pasukan Israel. Sepanjang tahun 1992-2005, organisasi ini memicu kampanye bom bunuh diri yang menargetkan rakyat sipil di lingkup kawasan yang diduduki Israel, yang menyebabkan ratusan rakyat sipil tewas. Selain itu, Hamas juga melakukan serangan roket ke wilayah Israel dari basisnya di Jalur Gaza.
Di tahun 2006, HAMAS menguasai mayoritas parlemen setelah pemilu Palestina dengan 76 kursi dari 132 kursi parlemen Palestina dengan mengalahkan faksi Fatah. Mandat demokratis yang diperoleh Hamas ini tak pelak melahirkan kekhawatiran di Timur Tengah dan dunia internasional.
Berbagai kelompok mendesak Hamas untuk menaati aturan kesepakatan antara Otoritas Palestina dan Israel, menolak kekerasan dan mengakui negara Israel. Namun desakan ini malah dijawab HAMAS dengan tawaran gencatan senjata dan penarikan tentara Israel ke perbatasan sebelum tahun 1967. Hal ini malah memperburuk situasi dan menyebabkan kebuntuan serta pembekuan bantuan untuk otoritas Palestina.
Di tahun 2007, tak lama setelah Hamas memenangi pemilu di Palestina, anggaran nasional juga tak kunjung dicairkan oleh Fatah. Demikian pula salah satu sumber keuangan Palestina yang cukup besar, yakni bea masuk, dibekukan oleh pemerintah Israel. Selama masa blokade di Jalur Gaza, Hamas dan rakyat Palestina di Jalur Gaza bertahan dengan membangun terowongan bawah tanah untuk menyeludupkan bahan makanan, keperluan sehari-hari, hingga senjata.
Yang lebih buruk lagi adalah terjadinya konflik antara Hamas dan Fatah yang menyebabkan 600 orang tewas dan pemerintahan Otoritas Palestina mengalami kekacauan sepanjang tahun 2007. Di akhir tahun 2007, pemerintahan Palestina pecah ke dalam dua faksi, yakni Hamas yang memerintah di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat.
Setelah mendapat tekanan dari berbagai komunitas internasional, akhirnya Fatah dan Hamas menandatangani kesepakatan untuk pemerintahan nasional bersatu. Persatuan ini diiringi dengan langkah selanjutnya untuk mendaftarkan Negara Palestina yang berdaulat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Manifesto Baru
Namun, dalam pertemuan nasional beberapa waktu lalu, HAMAS merevisi manifestonya. Dalam manifesto tersebut dinyatakan bahwa HAMAS akan mengambil langkah yang lebih moderat dalam perjuangan menghadapi Israel. Bagaimanakah langkah-langkah yang lebih moderat ini? Apakah ini strategi HAMAS untuk memulai suatu proses perdamaian dengan Israel dan membuka rekonsiliasi dengan Fatah?
Apakah konsitusi baru Hamas ini akan mendorong HAMAS menjadi lebih moderat dalam membangun hubungan dengan Israel? Apakah konstitusi ini juga akan mendorong perdamaian di Timur Tengah di tengah keinginan Hamas menghadapi “dinamika politik regional dan internasional dengan lebih realistis, dengan tetap mewakili kepentingan rakyatnya”?
Pertama, Hamas menetapkan bahwa perjuangan mereka bukanlah perjuangan agama melawan Yahudi, namun perjuangan melawan zionisme. Walau kelompok zionis juga selalu membawa-bawa aspek Yahudi dalam perjuangan mereka. Hal ini mengonfirmasi para penganut paham yang mendukung kemerdekaan Palestina bahwa pembebasan Palestina bukanlah perjuangan satu agama, tapi lintas agama, yang merupakan perjuangan melawan ketidakadilan dan pendudukan di tanah Palestina.
Kedua, dokumen konstitusi baru tersebut tidak serta akan membangun proses perdamaian yang lebih baik dengan Israel, walau tertulis di dalamnya bagaimana Hamas menghapus kata-kata dramatis yang sering diungkapkan oleh mantan Presiden Iran, Mahmoudinejad, “menghapus Israel dari peta dunia”. Hamas nyatanya tetap akan memperjuangkan untuk ‘membebaskan’ negara Palestina, termasuk yang saat ini masuk teritori Israel. Namun, persetujuan Hamas untuk mendukung pendirian negara Palestina sebagaimana batas teritorial tahun 1967 merupakan perkembangan tersendiri.
Ketiga, dokumen tersebut merupakan strategi Hamas agar tidak diisolasi oleh dunia internasional sebagaimana yang mereka alami selama 10 tahun ini (blokade oleh Israel), serta ditutupnya Gerbang Rafah oleh Mesir.
Keempat, Hamas juga menjaga jarak dengan Ikhwanul Muslimin, organisasi yang pernah menjadi induk Hamas saat di awal-awal pendiriannya—demi menghormati dan mengambil hati penguasa Mesir saat ini, Abdel Fatah Al-Sisi. Hal ini ingin menegaskan bahwa Hamas bukanlah kekuatan yang akan mengintervensi dan ikut campur urusan domestik negara lain.
Kelima, suasana domestik politik Palestina yang memburuk juga menjadi latar belakang dikeluarkannya manifesto ini. Pemerintahan Abbas dari Fattah mengancam akan membekukan dana untuk Jalur Gaza bila Hamas tidak mengubah perilakunya.