Jumat, April 19, 2024

Merkel, Pemilu Jerman, dan Gerbang Terakhir Uni Eropa

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
Pemimpin partai Christian Democratic Union (CDU) dan Kanselir Jerman Angela Merkel berbicara setelah melihat jajak pendapat keluar pertama dalam Pemilu Jerman (Bundestagswahl) di Berlin, Jerman, Minggu (24/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Kai Pfaffenbach

Eropa memasuki putaran final. Jerman adalah salah satu negara besar yang melakukan pemilu paling akhir. Kemenangan Inggris dan AS membuat pihak Barat hanya berharap kepada Jerman. Meski telah ada Prancis berkat kemenangan Macron, toh Prancis dianggap belum mumpuni untuk menahan gelombang populisme yang kian berkembang di wilayah Eropa. Para pengamat politik Barat menilai hanya Jerman yang mampu menahan hingga menanggulangi gelombang populisme sekaligus ekstremisme di wilayah Barat. Mampukah Jerman memenuhi harapan Uni Eropa?

Pemilu Jerman yang berlangsung pada 24 September 2017 merupakan pemilu parlemen. Pemilu tersebut merupakan rangkaian yang terbagi menjadi tiga bagian sejak awal tahun 2017.

Pertama, pemilu parlemen diadakan di wilayah Saarland pada 26 Maret 2017. Angela Merkel sebagai petahana masih mampu memikat perhatian masyarakat dengan memperoleh suara 40%. Yang menjadi pusat perhatian adalah munculnya kaum ekstrem kanan yang mampu memperoleh suara 6,2% sehingga untuk pertama kalinya menempatkan wakilnya di parlemen.

Kedua, pemilu yang diselenggarakan di wilayah Schleswig-Holstein pada 7 Mei 2017. Untuk kedua kalinya, kelompok ekstrem kanan berhasil menempati wakilnya di parlemen karena partainya mampu melewati batas ambang 5%. Hal ini pun juga diikuti partai petahana, Christian Democratic Union  (CDU), yang mencapai suara 32%.

Ketiga, seminggu kemudian pemilu diadakan di Nordrhein Westfalen. Daerah ini merupakan bagian Jerman dengan jumlah warga paling banyak, yaitu 17,5 juta. Semua partai berusaha merebut dan memikat warga pada pemilu di bagian ini.

Pergolakan Masyarakat Jerman

Menuju pemilu yang diklaim sebagian kalangan sebagai pemilu yang adil, jujur,bersih, dan demokratis, rakyat Jerman pun berharap petahana masih mampu menguasai wilayah Jerman. Namun, ada beberapa pertanyaan yang mengganjal pada benak mereka. Setidaknya ada tiga hal pokok yang melingkupi permasalahan bagi masyarakat Jerman.

Pertama, pengungsi. Jerman adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang terang-terangan mau menerima jumlah pengungsi. Lebih dari 200 ribu pengungsi yang rata-rata berasal dari Irak, Afghanistan, dan Suriah mendapat suaka di Jerman pada pertengahan tahun 2016. Keadaan ini memicu kebencian dari warga lokal Jerman kepada pengungsi.

Peristiwa tersebut mirip dengan apa yang terjadi di Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. Di Jerman, muncul pula partai alternatif (AfD) yang mengusung slogan anti-imigran dan menyebarkan fobia Islam. Ini yang menjadi polemik tersendiri. Di satu sisi, Jerman “dianggap” negara baik karena tidak membeda-bedakan antara warga lokal dan pengungsi. Namun, di lain sisi, Jerman “dianggap” negara buruk karena memberikan keuntungan bagi pengungsi hingga menyingkirkan warga lokal.

Kedua, ekonomi. Jerman dianggap sebagai negara dengan perekonomian terbaik keempat di dunia setelah AS, Tiongkok, dan Jepang. Jumlah penganggurannya diklaim paling rendah di antara negara-negara Eropa. Belum lagi ditambah industri pabrikan kendaraan yang mampu ekspor ke berbagai belahan dunia.

Namun, yang menjadi perhatian adalah mampukah Jerman tetap stabil setelah menyeruaknya sistem Brexit? Inggis dianggap salah satu biang keladi merusak tali perekenomian yang telah dibangun Uni Eropa. Inggris, Jerman, dan Prancis adalah satu kesatuan penjaga perekonomian Uni Eropa. Inggris lepas, Prancis hampir kandas setelah demonstrasi besar-besaran kepada Macron, maka tinggal Jerman dan Angela Merkel yang menjadi harapan terakhir Uni Eropa.

Ketiga, fobia Islam. Gelombang fobia Islam masih menyebar di wilayah Eropa. Beberapa kasus terjadi di pusat kota seperti di London, Brussels, dan Paris. Jerman pun tak luput dari serangan teror. Beberapa kota kecil hendak dijadikan ajang bom bunuh diri. Pelakunya pun hampir pasti dikaitkan dengan Muslim.

Militan ISIS yang kian menggelora dan menyebar ke wilayah Eropa menjadi penyebab mengapa rata-rata masyarakat lokal mengidap fobia Islam. Hal ini menjadi santapan empuk bagi partai-partai ekstrem yang mengusung slogan anti-Muslim. Tak pelak, meskipun Angela Merkel mengeluarkan pernyataan bahwa Jerman sepenuhnya menjamin kebebasan berkespresi dalam hal keagamaan, sentimen terhadap kaum Muslim tak pernah luntur.

Jalan Panjang Angela Merkel

Semua pemimpin Uni Eropa berharap pemilu parlemen akan dimenangi Merkel. Dengan populasi pemilih mencapai 61,5 juta, Merkel melalui partai CDU diharapkan mampu meraih 51% suara. Namun, tentu saja harapan belum tentu akan menjadi kenyataan.

Gelombang populisme, fenomena krisis, menguatnya sentimen nasionalistik, dan melemahnya partai tradisional dianggap menjadi penyebab kekalahan Uni Eropa dari pihak ekstrem. Merkel diharapkan belajar dari pengalaman Hillary Clinton. Dalam polling, dia selalu diunggulkan dan diperkirakan menang telak dari Trump. Namun, kenyataannya berbalik. Suara mayoritas justru dimiliki Donald Trump. 

Tampaknya Merkel pun mulai sadar bahwa ada batasan pengungsi untuk tinggal di Jerman. Terjalin kesepakatan dengan Turki adalah salah satu strategi politik yang dapat dibilang cukup sukses untuk menjaga, bahkan mendongkrak, elektabilitas Merkel.

Meskipun ada fakta bahwa Merkel telah memimpin Jerman selama 12 tahun, tak ada calon yang lebih pantas selain Merkel. Gayanya yang tenang dan tak mudah terpancing emosi membuat Merkel masih diharapkan penuh bagi stabilitas Jerman maupun Uni Eropa. Jika Merkel memimpin lagi, dia akan menyamai rekor pendahulunya, Helmut Kohl, yang memimpin selama 16 tahun.

Di Jerman, memang tak ada pembatasan jabatan. Hal inilah yang membuat partai CDU berani mencalonkan Merkel untuk menjabat Kanselir selama lima periode. Apakah Merkel akan mampu memenuhi ekspektasi Uni Eropa atau justru jabatannya hanya berhenti di empat periode saja? Menarik disimak!

Kolom terkait:

Wilders dan Gagalnya Hat Trick Populisme Barat

Geger Brexit, Populis Kanan Eropa, dan Indonesia

Setelah Emmanuel Macron Menang Telak

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.