Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa Indonesia dan Dunia Islam Membutuhkan Saudi?

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

jokowi-salman
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah saat berkunjung ke Kerajaan Arab Saudi, 11-12 September 2015. [Sumber: Tribunnews.com/Biro Pers]
Kunjungan Raja Salman ke Indonesia punya arti penting dalam memperkuat hubungan Indonesia-Saudi. Menilik durasi kunjungan, jumlah rombongan, maupun lamanya jarak waktu antara kunjungan kali ini dengan kunjungan Raja Saudi sebelumnya, kunjungan ini menjadi catatan monumental dalam sejarah hubungan Indonesia-Saudi .

 

Saudi adalah negara yang sangat berpengaruh di Timur tengah dan dunia Islam. Bahkan negara ini juga dipandang sangat penting oleh negara-negara Barat, terutama dari sisi kemampuan ekonominya.

Pengaruh Arab Saudi di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia, begitu kuat. Negara ini memang hampir memiliki segalanya untuk menjadi patron bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Arab Saudi memiliki Mekkah dan Madinah, dua kota suci utama umat Islam. Di kota inilah, ajaran Islam diwahyukan dan diajarkan pertama kali. Di kota ini pula Nabi Muhammad membangun komunitas Muslim dengan segala peradabannya untuk pertama kali. Kalimat-kalimat seperti ini pula yang biasanya disampaikan para diplomat Saudi kepada negeri-negeri Muslim lain terutama yang di luar Arab.

Betapa hebat negeri ini. Hampir seluruh umat Islam di dunia bercita-cita dapat menunaikan ibadah haji di kota yang menjadi bagian wilayahnya. Persoalan kuota haji menjadi daya tawar yang begitu ampuh bagi Saudi di hadapan negara-negara Muslim lain. Kota ini juga merupakan tempat Ka’bah, kiblat umat Islam sedunia, saat menunaikan ibadah salat setidaknya lima kali sehari.

Intinya, otoritas “keislaman” menjadi salah satu kekuatan kerajaan ini. Dengan gelar khadim al-haramain, gelar yang juga pernah dikenakan oleh Sultan-Sultan Turki Ustmani, Raja Saudi hendak menegaskan dirinya sebagai pemimpin dunia Islam.

Mereka juga memiliki kemampuan ekonomi sangat besar dari minyak. Minyak telah mengubah kerajaan yang sebagian besar merupakan padang pasir tandus ini menjadi kota-kota termegah di dunia. Pada tahun 2018, status gedung tertinggi di dunia diyakini berpindah dari Buruj al-Khalifah di Dubai, kota terbesar Uni Emirat Arab, ke Jeddah, kota perdagangan Saudi.

Mekkah dan Madinah, khususnya Masjid Haram dan Masjid Nabawi, telah disulap seperti layaknya kota-kota metropolis dunia, itu semua berkat minyak yang kemudian berkembang ke usaha investasi.

Dengan kemampuan seperti itu, pantas saja jika Saudi memiliki pengaruh besar ke seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Mereka memiliki instrumen yang lengkap untuk itu.
Dengan kekayaan Saudi nan begitu besar, negara-negara Muslim yang sebagian besar merupakan negara miskin “mengantre” untuk memperoleh aliran investasi. Mereka akan rela melakukan banyak hal untuk memperoleh dana itu, termasuk penyesuaian undang-undang keuangan dan lain sebagainya.

Dengan kekuasaan atas dua tanah suci, negara-negara Muslim juga siap membungkuk kepada penguasa Saudi untuk sekadar memohon “sejumput” tambahan kuota haji. Kuatnya keinginan masyarakat negara Muslim untuk berhaji menjadikan isu kuota sebagai senjata yang ampuh bagi Arab Saudi di hadapan negara-negara Muslim lain, termasuk dalam konteks kedatangan Raja Salman kali ini.

Tak hanya itu, mereka juga mengontrol Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang bermarkas di Jeddah. Bagaimanapun sebagai negara tempat markas besar OKI dan negara donatur terbesar, Arab Saudi seolah menjadi “pemilik” dari organisasi kerja sama negara-negara Muslim itu.

Yang paling jelas menjadi sarana penyebaran pengaruh mereka adalah lembaga Rabithah al-Alam al-Islami. Lembaga ini menjadi lembaga amal yang paling berpengaruh di dunia Islam saat ini. Entah sudah berapa banyak Islamic center, madrasah, pesantren, gedung universitas yang didanai oleh lembaga ini atau lembaga-lembaga di bawahnya. Termasuk juga penerbitan-penerbitan buku “dakwah” yang mereka sponsori.

Mereka juga masih menyebarkan buku-buku keislaman secara gratis, baik secara langsung melalui jamaah haji maupun institusi seperti Saudi corner dan sebagaianya.

Khusus di Indonesia, jejak pengaruh mereka mudah sekali terlacak. Institusi besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) pada tahun 1980-an, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA), jaringan televisi dan radio Rodja, ratusan Islamic center, pesantren-pesantren dan madrasah baru, bantuan pembangunan gedung-gedung universitas, ribuan masjid, dan corner-corner di sejumlah perpustakaan. Jumlah orang yang aktif dalam lembaga-lembaga ini cukup banyak, belum lagi alumni-alumni Saudi yang biasanya memiliki militansi kuat terhadap negara tersebut.

Namun, kontribusi Saudi di negara-negara Muslim tak sepenuhnya menjadi berkah. Bahkan sering terjadi sebaliknya, menjadi persoalan tersendiri di masyarakat dan negara yang memperoleh “bantuan” itu. Baik itu di Yaman, Tunisia, Mesir, Afghanistan, Pakistan, hingga ke Indonesia, kontribusi Saudi tak jarang justru dipandang sebagai sumber persoalan.

Inti masalahnya biasanya terletak pada paham keagamaan yang dibawa yang sulit sekali menoleransi keragaman. Mereka juga membawa kesumat dan kebencian yang dalam terhadap Syiah, serta mengecam keras praktik-praktik sufisme, tradisi keagamaan setempat, dan kebudayaan yang beragam. Yang dimaksud di sini bukan saja keragaman beragama, tetapi juga keragaman dalam Islam. Paham yang sering disebut orang sebagai Wahabiyah inilah yang menjadi masalah kemudian.

Faktanya, ekpresi keberagamaan umat Islam tidak bisa dipandang sebagai tunggal, kendati mereka memiliki kesamaan dalam masalah-masalah dasar. Keberagaman inilah yang biasanya menjadi sasaran dari vonis bid’ah yang sangat kaku dari kelompok Saudian ini.
Mulai Maroko dan Mauritania di Barat hingga di Indonesia di ujung timur, konon, problem yang ditimbulkan dari “Saudian” ini adalah sama, yaitu pembid’ahan terhadap praktik-praktik keagamaan yang berbeda dengan yang mereka lakukan. Mulai dari perayaan Maulid Nabi, ziarah kubur, doa bersama, praktik-praktik sufisme, dan sebagainya, semuanya didiskreditkan sebagai ajaran yang sesat.

Padahal sebagian besar umat Islam di dunia, bukan hanya kalangan Syiah, cenderung memelihara tradisi itu dengan tingkat yang beragam. Aksi-aksi brutal pembongkaran kuburan orang “saleh”, perusakan tempat ziarah dan sebagainya memicu ketegangan yang hampir mereta di dunia Islam, kendati di Indonesia kita belum mendengar berita semacam ini.

Saya berkeyakinan bahwa sebagian besar umat Islam itu marah dengan pendiskreditan praksis kegamaan mereka. Mayoritas muslim juga kurang berkenan dengan sikap kelompok yang anti keragaman. Tetapi, negara Muslim mana yang tak membutuhkan Arab Saudi? Muslim mana yang tak memiliki keinginan untuk pergi haji? Negara Muslim mana yang tak ngebet dengan guyuran investasi?

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.