Kamis, April 25, 2024

Menakar Ongkos Pembekuan Hasil Referendum Kurdistan

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Presiden Masoud Barzani [REUTERS/Azad Lashkari]

Setelah sempat dihantam perang yang ditengarai sebagai perang baru di kawasan Timur Tengah dan menelan korban nyawa yang tak sedikit, ada kabar baru yang cukup rasional tapi sekaligus naif bagi Kurdistan: mencabut hasil referendum! Referendum yang “dipaksakan” terlaksana oleh Presiden Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) Masoud Barzani pada 25 September lalu telah menjadi cerita menyedihkan dalam lembaran sejarah sebuah bangsa yang berhasrat membuat negara sendiri bernama Tanah Kurdi alias Kurdistan.

Pencabutan hasil referendum Kurdistan adalah pilihan paling pahit yang diambil pemerintah Kurdistan. Serangkaian tekanan yang dihadapi pemerintah yang berpusat di Erbil itu, khususnya langkah invasi militer yang tidak main-main diperagakan oleh pasuka Irak sebagai negara berdaulat, semakin membuat Kurdistan gamang. Tak ada banyak pilihan bagi suku bangsa yang negaranya tak diinginkan itu, selain hanya terbekap dalam manuver kepentingan negara-negara tetangga mereka.

Hari ini, pemerintah Kurdistan benar-benar berada pada titik nadir. Di samping hilangnya sumber penghasilan terbesar mereka berupa kilang minyak di Kirkuk, gelombang ketidakpercayaan masyarakat Kurdi terhadap pemerintahannya harus dihadapi secara langsung.

Pihak oposisi seperti Gorran Movement memanfaatkan sengkarut politik kekuasaan di tubuh pemerintah Kurdistan dengan menggalang lebih banyak lagi suara simpatisan—yang kecewa atas langkah politik pemerintahan—untuk menuntut pemunduran diri Barzani dan gengnya. Barzani harus menghadapi kenyataan begitu pahit dalam roda pemerintahan warisan yang dikuasainya sejak 25 tahun silam.

Masuk Akal tapi Naif

Keputusan Barzani menangguhkan hasil referendum memang masuk akal. Karena, kalau tidak (dan otomatis perang akan terus berlanjut tanpa ada usaha gencatan senjata dan dialog), rakyat Kurdi akan menjadi martir sia-sia dan negara yang dicita-citakan semakin mengabur dan menjauh dari kenyataan.

Di samping itu, pemerintahan Kurdistan mempertimbangkan secara kalkulasi logis melihat masa depan mereka pasca-referendum semakin buram. Ancaman kekerasan sektarian sudah di depan mata yang akhirnya akan berpotensi memicu perang sipil seperti terjadi di Suriah adalah takaran logis yang harus mereka ambil.

Namun, saya melihat ada kenaifan yang sulit ditutupi dari situasi terakhir di Kurdistan. Dalam konteks ini, saya melihat dua hal penting yang justru akan mengubur cita-cita mereka untuk melebarkan dan memperkuat segala basis hal ihwal Kurdistan.

Pertama, pengakuan pencabutan hasil referendum adalah proses menelanjangi diri sendiri di depan Irak, negara tetangga ataupun publik internasional.

Saya paham bahwa Kurdistan memang bukan siapa-siapa, selain pion-pion kecil yang bisa dipakai secara seporadis—untuk kepentingan perang ataupun lainnya. Artinya, kekuatan Kurdistan tetap saja sebagai kamuflase kekuatan di luar dirinya. Ada banyak agen yang memakai nama Kurdistan untuk kepentingan-kepentingan mereka.

Ambil contoh, misalnya, bagaimana respons publik internasional ketika Peshmerga berhasil menghalau militan ISIS dari Kirkuk. Gerakan ini menjadi semacam prestasi bagi Kurdistan lewat pasukan militer mereka dan media internasional mengekspos kesuksesan mereka secara berhamburan. Tetapi, penaklukan Raqqa, kota di Suriah yang diimpikan menjadi ibu kota ISIS itu, nama pasukan milter Kurdi Suriah justru ditempatkan nomor dua atau bahkan sama sekali tidak disebutkan.

Media-media besar hanya mencatut nama Pasukan Demokratik Suriah (SDF) sebagai moncong yang dipoles dengan pasukan koalisi yang didukung oleh Amerika. Padahal, para pejuang yang turun dan berjuang secara militan di lapangan juga melibatkan Uni Proteksi Rakyat (YPG dan YPJ) yang notabene dari kelompok Kurdi. Tetapi, sekali lagi, nama mereka bisa sama sekali tidak disebutkan. Kenapa?

Jawabannya tentu saja karena Kurdistan memaksa referendum dan kemudian bersetegang dengan Irak, yang secara jelas memang tidak diinginkan oleh Amerika ataupun negara-negara lain di kawasan.

Fakta di atas sebagai justifikasi bahwa Kurdistan dan pasukan-pasukan militernya tidak mempunyai kekuatan yang sebenarnya. Mereka terus saja dipakai dan sekaligus ditelanjangi sesuai dengan kebutuhan oleh agen-agen di luar dirinya. Kenyataan tersebut kemudian diperkuat oleh langkah Barzani untuk membekukan hasil referendum sehingga kekuatan dan suara rakyat yang sejati itu menjadi rongsokon yang sama sekali mencoreng dan merendahkan martabat suku Kurdi.

Sejak awal saya melihat proses referendum sebagai kekonyoalan karena secara prinsipil mereka belum mempunyai basis dan pijakan yang kuat, baik secara hukum legal ataupun politik bilateral.

Kedua, langkah pencabutan itu akan menjadi preseden buruk terhadap proses penguatan internal Kurdistan. Kurdistan ke depan akan menghadapi gerakan-gerakan masif yang mengekspresikan ketidakpercayaannya kepada pemerintahan Barzani. Bahkan, sangat mungkin Kurdistan di Irak utara akan menjadi pertarungan yang tidak sehat di antara faksi di internal mereka.

Gorran Movement yang mempunyai banyak basis setelah kegagalan hasil referendum akan menjadi penggerak utama dengan menawarkan paket-paket demokrasi untuk Kurdistan.

Di satu sisi, manuver dan suara Gorran dapat dilihat sebagai ikhtiar untuk mewujudkan mimpi Kurdistan yang demokratis dan komunitarian. Tawaran tersebut tentu menjadi langkah awal untuk menyedot simpati dan kepercayaan rakyat Kurdi yang sudah tergerus karena ulah pemerintah mereka.

Tetapi di sisi lain, jaringan oligarki politik Barzani yang sudah menjadi tulang bagi berdirinya pemerintah Kurdistan tidak akan membiarkan kekuasaan mereka direbut begitu mudah. Dua kekuatan tersbeut akan membuat langkah mereka justru semakin pincang dan terporak-poranda tanpa ada ruang yang bisa menyatukan mereka secara deliberatif.

Solusi tentu saja sangat tersedia secara terbuka di kedua pihak. Tetapi gengsi dan nafsu kekuasaan, apalagi menyangkut klan dan kelomok sektarian, seringkali menjadi batu sandungan yang paling tajam dalam konstelasi politik di Timur Tengah secara umum. Penyakit komunal begini susah dihindari dalam praktik-praktik politik dan kekuasaan.

Terlepas dari kekhawatiran di atas, hasil negosiasi dan dialog pemerintah Kurdistan dengan Baghdad mendedahkan langkah politik optimistik di mana pihak-pihak yang ingin membangun Kurdistan secara demokratis dan bermartabat bisa bekerja bersama.

Kolom terkait:

Bara Menyala di Baghdad dan Kurdistan

Selamat Berperang, Kurdistan!

Menakar Skenario Pasca Referendum Kurdistan

Kemerdekaan Kurdistan yang Tak Diinginkan

Menuju Negara Kurdistan Merdeka

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.