Kamis, Maret 28, 2024

Menakar Komitmen Erdogan dalam Krisis Yerusalem

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Seperti biasa, di antara negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, Turki selalu berada di garis paling depan bersuara dan menyikapi langsung krisis-krisis kemanusiaan yang terjadi di dunia Islam, apalagi terkait langsung dengan sejarah masa lalu mereka (baca: wilayah Osmani), mulai dari Eropa timur seperti negara Balkan hingga ke jauh Afrika. Turki selalu menunjukkan sikap demikian sebagai komitmen pemerintahannya dan sekaligus untuk memperkuat pengaruh dan menggalang simpati sebagai Neo-Ottoman, cita-cita yang ingin dicapainya hingga tahun 2023 nanti.

Kali ini, pemerintah Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan dengan sangat lantang menyuarakan kutukan terhadap langkah Donald Trump yang memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan yang dilakukan Presiden Amerika Serikat ke-45 itu adalah pembuktian atas janji dirinya di depan Benjamin Netanyahu pada Juni 2016 silam.

It is time to officially recognize Jerusalem as the capital of Israel”, kalimatnya lugas dan tanpa tedeng aling-aling atau merasa bersalah, meski sudah jelas akan memancing perlawanan dari negara-negara berpenduduk Muslim dan khususnya negara-negara Arab sendiri.

Namun, menurut data yang disebarkan oleh para jurnalis bertanggal 6 Desember (hari yang sama dengan penyataan kontroversial di atas) dengan subjek Suspension of limitations under the Jerusalem Embasy, rencana perpindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem tersebut ditangguhkan dulu selama 6 bulan ke depan. Meskipun memo sudah diterbitkan, langkah politik yang penuh risiko dan mengancam kekacauan yang lebih besar itu sudah menggelinding menjadi bola api yang siap membakar kelompok Islam khususnya.

Pada hari yang sama (6/12/2017) di depan meja parlemen, Presiden Erdogan menyatakan dengan lantang: Sayın Trump, Kudüs Müslümanların kırmızı çizgisidir (Yang terhormat Trump, Jerusalem adalah garis merah umat Muslim). Kalimat tersebut seperti menjadi mantra yang mampu menggerakkan masyarakat Turki, khususnya kelompok Islam. Berselang sehari, masyarakat Turki langsung bergerak melakukan protes di depan kantor konsulat Amerika di Turki yang tersebar di lima kota (Ankara, Istanbul, Izmir, Adana, dan Gaziantep).

Pemerintah Turki bergerak cepat. Dalam sidang parlemen, empat partai besar yang duduk di parlemen mempunyai satu suara untuk mendukung langkah Turki menolak rencana Amerika yang hendak mengakui Yerusalem sebagai  Ibu Kota Israel. Partai-partai oposisi yang biasanya berseberangan secara sengit melawan rulling AKP ternyata bisa bersatu dalam konteks krusial seperti ini. Partai oposisi utama dari republikan CHP, partai nasionalis MHP, dan partai pro-Kurdi HDP sama-sama duduk di dalam satu meja dan menandatangani langkah pemerintah Turki.

Itu artinya bahwa langkah Trump berhadapan langsung dengan mayoritas rakyat Turki. Dalam sejarahnya, Turki menjadi salah satu negara pertama yang terlibat secara langsung menyokong pemulihan dan kebangkitan Palestina. Kita tentu saja masih ingat kapal Turki Mavi Marmara yang berisi bantuan kemanusiaan dan menjadi target serangan tentara Israel di di Laut Gaza pada tahun 2010 dan menelan korban nyawa.

Kenapa masyarakat Turki begitu antusias ketika berhadapan dengan isu Palestina? Saya melihat ada dua jawaban gamblang yang sudah tertanam dalam kesadaran dan memori kolektif mereka. Pertama, karena masyarakat Turki merasa memiliki tanah Palestina. Atau setidaknya, Palestina pernah menjadi bagian dari sejarah kebesaran mereka di bawah Ottoman. Nenek moyang mereka pernah berperang di tanah Palestina sebelum kemudian Ottoman hancur dan menyerahkan banyak wilayah kekuasannya kepada koloni Inggris, termasuk tanah Palestina.

Faktor sejarah sangat kuat mempengaruhi cara pikir masrayakat Turki secara umum, khususnya terkait dengan kejayaan masa lalu mereka. Di samping itu, sejarah Palestina di bawah Kesultanan Ottoman relatif tidak mengalami pergolakan masif. Meski ada sejarah pemberontakan dalam rentang dua tahun yang dikenal dengan Naqib al-Ashraf revolt (1703-05), yaitu pemberontakan yang dipimpin oleh ashraf (ulama keturunan Rasulullah), Palestina masih bisa dikendalikan dan kembali menjadi bagian dari Ottoman. Hingga akhirnya mulai dirongrong oleh Inggris sejak medio abad ke-19 dan akhirnya lepas dari Ottoman setalah Perang Dunia I.

Sejarah di atas tentu berbeda dengan pemberontakan melawan Ottoman yang dilakukan oleh Ibnu Saud yang menjadi cikal-bakal kerajaan di Arab Saudi. Untuk konteks Arab Saudi, masyarakat Turki masih belum sepenuhnya berdamai. Mereka melihat bahwa Arab Saudi adalah pengkhianat karena bekerja sama dengan Inggris dan melawan kejayaan Ottoman yang kemudian menjadi salah satu faktor melemahnya Ottoman di jazirah Arab.

Faktor sejarah di atas ditambah pula dengan krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina telah menggerakkan masyarakat Turki secara umum untuk membela. Negara yang puluhan tahun dicampakkan oleh Israel—dan di waktu bersamaan negara-negara Arab tidak menunjukkan pemihakan yang bisa membawa mereka keluar dari hantaman penderitaan yang panjang—telah menaburi luka dan empati yang teramat dalam bagi masyarakat Turki.

Jadi, tidak mengejutkan apabila upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Turki di bawah Erdogan begitu keras untuk menentang segala bentuk kejahatan terhadap Palestina yang semakin ringkih itu.

Kedua, karena faktor sebagai sesama Muslim. Di samping itu, tanah Palestina mempunyai situs penting bernama Masjid Al-Aqsa yang tak akan pernah terhapus dari sejarah ingatan umat Muslim. Meski pernah mengalami pendangkalan terhadap praktik dan nilai Islam karena sejarah sekulerisme di negeri dua benua tersebut, kesadaran sejarah terhadap kebesaran masa lalu mereka yang disimpannya sebagai gurur (kehormatan) sedikit banyak ikut merawat ingatan dan membentuk karakter mereka.

Maka, kesadaran tentang pesaudaraan sesama Muslim yang pernah membawa mereka menjadi imperium terbersar di dunia tetap tertanam sebagai sumbu yang mengobarkan solidaritas Turki dengan masyarakat Muslim dunia.

Di samping itu, faktor kesungguhan Erdogan dan pemerintahannya dalam mengembalikan nilai-nilai keislaman dan menghadirkan wawasan Ottoman sebagai landasan gerakan ideologi politik Islam dalam satu dekade terakhir telah ikut membantu masyarakat Turki untuk kembali aktif dan bebas dalam berekspresi dengan simbol-simbol agama Islam. Pelajaran politik Islam dari seorang guru bernama Necmattin Erbakan telah membentuk karakter Erdogan untuk menghidupkan kembali relasi Islam transnasional dengan spirit Turki sebagai motornya.

Dua faktor di atas kemudian berintegrasi menjadi kesatuan sikap yang ditunjukkan secara masif oleh rakyat Turki melawan segala bentuk intimidasi yang keji terhadap bangsa Palestina. Ke depan, kita patut menunggu langkah-langkah strategis yang akan dilakukan oleh Erdogan dan pemerintahannya mengingat situasi semakin memanas.

Yang pasti, Turki tidak akan tinggal diam menghadapi provokasi dan langkah membahayakan Trump di tanah Palestina.

Kolom terkait:

Di Balik Klaim Trump atas Yerusalem

Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?

Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS

Konflik Israel Palestina, Siapa Musuh Bersama Sebenarnya?

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.