Kamis, Oktober 3, 2024

Langgam 94 Tahun Nasionalisme Turki

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.
Presiden Turki Tayyip Erdogan menghadiri upacara Hari Republik di Anitkabir, makam pendiri Turki modern Mustafa Kemal Ataturk, untuk menandai ulang tahun republik di Ankara, Turki, Minggu (29/10). ANTARA FOTO/REUTERS/Umit Bektas

Rakyat Turki dikenal memiliki kecintaan yang sangat besar kepada tanah airnya. Dan hal ini sangat mudah dijumpai di Turki, dengan simbol dan perilaku sosial yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, bendera Turki yang bisa dijumpai di masjid, rumah, restoran, mobil, bus, kereta, kapal laut, sekolah, universitas, hotel, kantor-kantor pemerintahan dan swasta. Juga taman-taman kota yang selalu memberikan ruang khusus untuk tiang bendera Turki bersama patung sang pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk.

Satu frasa yang sangat terkenal dan populer di Turki adalah Ne Mutlu Türküm Diyene (NMTD, Betapa bahagianya seorang yang menyebut dirinya aku orang Turki). Frasa tersebut sebenarnya diambil dari kutipan pidato Mustafa Kemal Atatürk pada 29 Oktober 1933 yang menandai 10 tahun kemerdekaan Turki. Semboyan ini pada umumnya digunakan sebagai cara untuk mempertegas identitas sebagai seorang Turki.

Pada sisi lainnya, juga dijumpai masalah rasial perihal frasa tersebut, karena dianggap tidak mengakomodir kelompok identitas lain yang hidup di Turki. Selain itu, secara umum orang Turki tetap berprinsip bahwa semboyan tersebut adalah medium untuk bertanggungjawab dan melampaui rasa cinta tanah air dengan tujuan membawa Turki lebih maju dan kuat dalam segala bidang. 

Konteks lain kecintaan tanah air ditunjukkan dengan sangat menghormati lagu kebangsaan İstiklal Marşı. Dalam berbagai momen, lagu kebangsaan ini memiliki posisi yang sangat luhur. Orang-orang Turki terlihat sangat khusyuk bernyanyi dengan sikap tegap sempurna. Pun tidak mengenal lokasi, misalnya saja dalam acara resmi seminar, pembukaan pertandingan olahraga ataupun di lokasi makam Mustafa Kemal Atatürk, Anıtkabir.

Mereka setia mengumandangkan lagu kebangsaannya dan berusaha untuk menunda pekerjaan mereka. Catatan penting lainnya adalah kedisiplinan dan cara memperlakukan lagu dan bendera sebagai salah satu simbol dan bagian dari cinta tanah air. http://www.turkishspirits.org/2016/03/nasionalisme-ala-turka.html

Momentum sejarah terbentuknya Turki Republik terjadi pada 29 Oktober 1923. Saat itu, parlemen yang baru didirikan di Ankara memproklamasikan Turki sebagai sebuah republik. Kemudian nama yang dipilih adalah Republik Turki. Setelahs momen tersebut, pemungutan suara diadakan oleh parlemen, di mana Mustafa Kemal Atatürk terpilih sebagai presiden Turki pertama dengan suara bulat.

Sejak saat itulah, Turki secara resmi menjadi negara republik dan setiap tahunnya pada 29 Oktober dijadikan sebagai hari kemeredekaan. Dan pekan lalu  rakyat Turki kembali merayakan hari lahirnya republik tersebut.

Hadir dalam upacara kemerdekaan kemarin di antaranya adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, Perdana Menteri Turki Binali Yıldırım, ketua partai oposisi CHP (Cumhuriyet Halk Partisi), Kemal Kılıçdaroğlu, dan ketua partai MHP (Milliyetçi Hareket Parti) Devlet Bahçeli.

Dalam buku catatan resmi Anıtkabir, Erdoğan menulis bahwa “semangat yang menghidupkan republik kita hari ini, seperti 94 tahun yang lalu”. Dan juga Erdoğan menambahkan, Republik Turki, warisan yang Anda tinggalkan kepada kami, adalah hasil dari perjuangan yang penuh dengan keberanian dan pengorbanan.

Kota-kota di seluruh Turki melakukan parade dan merayakan hari kemerdekaannya dengan berbagai acara. Misalnya, di Ibu Kota Ankara, parade upacara kemerdekaan yang dihelat di Anıtkabir, lokasi bersejarah Republik Turki dideklarasikan. Sedangkan di Istanbul, 2.000 pengendara sepeda motor yang datang dari seluruh wilayah Turki melakukan konvoi melintasi jembatan 15 Temmuz Şehitleri (15 July Martyrs’ Bridge) menuju ke daerah makam para syuhada di Edirnekapı.

Tek Millet, Tek Bayrak, Tek Vatan, Tek Devlet

Ada tiga hal yang membuat masyarakat Turki begitu mencintai tanah airnya: Allah, tanah air (vatan), dan bendera (bayrak). Dalam praktik sosialnya, ketiga unsur tersebut sangat dekat dengan orang-orang Turki. Masjid misalnya. Hampir sebagian besar masjid di Turki, terutama yang berada di wilayah (bölge) kecil, juga memasang bendera Turki di dalam interiornya. http://www.turkishspirits.org/2016/09/menemukan-nasionalisme-di-dalam-masjid.html. Ini menunjukkan penegasan identitas yang luar luar biasa.

Bagian lain yang menjelaskan kecintaan tanah air adalah ketika doa dalam setiap salat Jum’at. Semua masjid di Turki selalu menyerukan doa perihal memohon keselamatan dan kemakmuran untuk negara dan tanah air, tak lupa juga untuk umat Muslimin yang ada di seluruh dunia. Ketiga unsur tersebut melebur dalam kehidupan masyarakat Turki dan secara tidak langsung menciptakan sebuah solidaritas.

Konteks politik dan dinamika sosial yang ada di Turki dalam kurun waktu beberapa bulan lalu membawa nuansa yang berbeda. Program pembangunan yang ada di wilayah-wilayah Turki terlihat sangat cepat. Turki modern yang menjadi agenda besar pasca kemerdekaan kini sangat mudah dirasakan. Sisi-sisi modernisasi bukanlah hal yang sulit ditemukan di Turki. Untuk kota besar seperti Istanbul, perpaduan antara budaya Eropa dan Turki sangat terasa. Remaja dan gaya hidup adalah serpihan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks modernisasi dan globalisasi yang ada di Turki.

Langkah startegis selalu ditempuh untuk memperkuat dan memperoleh simpati dari rakyat. Seruan perihal tek millet (satu bangsa), tek bayrak (satu bendera), tek vatan (satu tanah air), dan tek devlet (satu negara) adalah sebuah medium yang diambil untuk terus menciptakan rasa solidaritas dan mempertegas identitas sebagai orang Turki. Sekaligus ajakan untuk mengambil bagian partisipasi aktif dalam pembangunan.

Perspektif sosiologis melihat keempat unsur tersebut juga sebagai fakta sosial. Karena hal tersebut merupakan gejala yang riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik individu psikologis, biologis, atau karakteristik individu lain-lainnya.

Dalam pandangan Emile Durkheim, ada beberapa karakteristik fakta sosial. Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Sesudah memberikan beberapa contoh mengenai fakta sosial  (bahasa, sistem moneter, norma-norma professional, dan seterusnya), Durkheim menegaskan bahwa hal tersebut merupakan cara bertindak dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut yang dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu.

Jika dibenturkan dengan terma tek millet,, tek bayrak, tek vatan dan tek devlet, maka dari sini bisa dilihat fakta sosial itu bekerja. Meskipun Durkheim melihat banyak dari fakta sosial ini akhirya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial sebagai satu kenyataan eksternal.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa hampir setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai anggota baru dari organisasi, dan merasakan dengan jelas bahwa ada kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang sedang diamati yang tidak ditangkap atau dimengerti secara penuh. Dalam situasi seperti itu, kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.

Merujuk pada karya William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology, karakter fakta sosial yang kedua adalah bahwa fakta sosial itu memaksa individu. Dalam hal ini jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Seperti disampaikan Durkheim, “tipe-tipe perilaku atau berpikir  ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri.”

Hal ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya, jika proses sosialisasi itu berhasil, maka individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.

Tentu sosialisasi jarang begitu sempurna sehingga tidak ada ketegangan sama sekali antara fakta sosial dan kemauan individu. Namun, jika keengganan individu tersebut untuk dibimbing oleh fakta sosial yang sesuai harus mengarah ke pelanggaran yang benar-benar, maka kekuatan fakta sosial yang memaksa ini akan menjadi jelas, baik secara informal (misalnya ejekan) maupun secara formal (misalnya pengusiran atau penahanan) [Paull Johnson]

Transisi Turki Menuju 2019

Pada 29 Oktober 2017 lalu, rakyat Turki merayakan hari sejarah republik yang kini telah mencapai usia 94 tahun. Turki kini semakin menata pembangunan baik dari segi ekonomi, sosial budaya maupun pendidikan. Dalam jangka panjang, Turki memiliki ambisi menjadi negara yang maju, terutama dalam perayaan usia 100 tahun republik pada 2023 mendatang.

Sektor pembangunan dalam negeri bergulir sangat cepat dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Hal ini terlihat di antaranya adalah melalui mega proyek di kota-kota besar seperti di Istanbul. Misalnya pembangunan bandara ketiga (üçüncü havalımanı) yang diperkirakan akan menjadi bandara terbesar di kawasan Eropa.

Selain itu, juga ada proyek Metro (kereta bawah tanah) yang masih terus dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan publik, terutama wilayah yang ada di dalam seluruh kawasan Istanbul. Dalam bidang pendidikan, Istanbul sebagai kota yang sangat strategis sampai saat ini menjadi kota dengan jumlah universitas terbanyak di Turki. Baik universitas yang berstatus negeri (devlet) maupun swasta (özel).

Situasi seperti ini menjadikan Istanbul sebagai salah satu pilihan untuk studi oleh pelajar yang datang baik dari kawasan Asia, Afrika maupun Eropa. Di samping itu, promosi dari universitas-universitas di Turki juga selalu giat memberikan beasiswa, terutama bagi pelajar internasional.

Sepanjang tahun 2017, dinamika politik di Turki cukup menarik untuk terus dikaji. Pasca hasil referendum pada April lalu, pemerintah Turki terus menyiapkan proses menyambut pemilihan umum untuk presiden dan parlemen pada November 2019 mendatang. Sampai saat ini, Turki masih menganut sistem parlementer dan hasil referendum April lalu rakyat Turki menginginkan pengubahan ke sistem presidensial.

Salah satu peristiwa menarik yang sedang menjadi perbincangan di Turki adalah deklarasi sebuah partai baru sepekan yang lalu. Partai itu adalah ‘İyi Parti’ (Partai yang baik/Good Party). Adalah Meral Akşener, politisi perempuan yang sebelumnya aktif di struktural Partai Gerakan Nasional (MHP/Milliyetçi Hareket Partisi-Nationalist Movement Party) yang kini dipimpin oleh Devlet Bahçeli.

Sebelumnya, Meral Akşener juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Turki. Pada 25 Oktober 2017 lalu, ia mendeklarasikan partainya, ‘İyi Parti’, dan secara terbuka memberikan pidato di depan pendukungnya di pusat kebudayaan Nazım Hikmet, Ankara. Dalam pidatonya tersebut, Meral menyatakan bahwa teman-temannya menginginkan ia sebagai (calon) presiden. http://www.hurriyetdailynews.com/aksener-hints-at-run-for-presidency-in-2019-as-she-forms-good-party-121370 .

Hal ini tentu saja menjadi dinamika yang baru bagi politik dalam negeri Turki, di mana keberdaaan presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdoğan, juga masih mendapatkan dukungan dari rakyat Turki. Di sisi lain, juga ada kritik yang terus disampaikan pihak oposisi dari partai Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi-Republican People’s Party), yang dipimpin Kemal Kılıçdaroğlu, perihal kebijakan publik dalam roda pemerintahan yang terjadi di Turki hari ini.

Pada dasarnya nasionalisme yang dibangun dan mengakar di Turki adalah sebuah warisan dari para pendiri republiknya. Misalnya, dalam konteks 10 tahun kemerdekaan Turki pada 1933, rasa cinta tanah air dan identitas telah dipupuk dengan semangat yang menggelora oleh Mustafa Kemal Atatürk. Sedangkan pada tahun ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan kembali menyerukan hal yang serupa, namun dengan frasa yang berbeda, tek millet, tek vatan, tek bayrak, tek devlet.

Ajakan ini tentu saja memiliki alasan yang kuat, mengingat Turki sedang dalam proses pemulihan pasca kudeta gagal 15 Juli 2016 lalu. Ini sekaligus beberapa agenda pembangunan yang harus dicapai dalam menyongsong 100 tahun 2023 mendatang.

Hadirnya partai baru di Turki menjelang pemilihan umum pada November 2019 tentunya akan menjadi hal yang menarik untuk perkembangan demokrasi Turki di masa yang akan datang. Cumhuriyet Bayramımız Kutlu Olsun!

Kolom terkait:

Ekonomi-Politik Turki Pasca Kudeta

Menakar Arah Referendum Turki

Menakar Skenario Pasca Referendum Kurdistan

Setahun Kudeta Berdarah di Turki

Erdogan dan Satu Tahun Kudeta di Turki

Demam Erdogan di Indonesia

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.