Banyak kalangan percaya bahwa kunci mengalahkan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah mengerahkan kekuatan militer di darat dengan membebaskan sejumlah wilayah yang selama ini mereka duduki dan sulap menjadi tanah kekhilafahan.
Kekhilafahan ISIS telah berusia tiga tahun; daerah yang mereka kuasai di Irak dan Suriah satu demi satu jatuh ke pihak lawan. Anehnya, mengapa rentetan kekalahan itu seakan tidak mempengaruhi pandangan pendukung kekhilafahan? Khususnya yang berada di luar Timur Tengah, mereka justru semakin militan.
Misalnya yang terjadi di Indonesia, beberapa kali ada serangan brutal terhadap aparat keamanan terbukti dilakukan pendukung ISIS.
Tekanan militer memang membuat berantakan proyek khilafah ISIS yang dibangun di atas lahan, namun banyak yang tidak menyadari selama ini bahwa kelompok militan juga membangun “kekhilafahan” di atas “awan” (virtual caliphate).
Khilafah virtual adalah komunitas online yang awalnya dikembangkan melalui lusinan media internet ISIS. Kelompok ini sepenuhnya menyadari bahwa dunia virtual menawarkan kesempatan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafahan dan memperoleh anggota baru, sementara perjuangan di darat terus berjalan.
Dampak kecanggihan ISIS menjalankan khilafah virtual telah terbukti sejak awal tahun 2014. Melalui internet, khususnya media sosial, kelompok ultraradikal ini mampu merekrut puluhan ribu warga asing dari berbagai negara (termasuk Indonesia) untuk pergi ke Suriah dan bergabung bersama mereka.
Keberhasilan kekhilafahan virtual sangat bergantung pada dua aspek. Pertama, pada narasi yang kuat namun fleksibel yang memungkinkan para pemimpinnya menginspirasi dan mengarahkan para pendukung kekhilafahan.
Kedua, kemampuannya mencuri perhatian generasi millenial (generasi Y): kaum muda yang lahir di atas tahun 1980-an hingga tahun 1997. Generasi millenial adalah generasi yang tumbuh di tengah dunia yang sudah mapan, teknologi canggih, akses internet mudah dan media sosial mewabah. Maka, wajar generasi ini sangat rentan terpapar ideologi radikal yang disebarkan ISIS di dunia maya, dan secara bertahap menariknya menjadi bagian dari khilafah virtual.
Meski Al-Qaidah merupakan kelompok teroris yang pertama kali menggunakan internet untuk meningkatkan teror global, tak ada yang meragukan bahwa ISIS lebih mahir dan ambisius berinovasi dengan internet.
Dengan menggaet jihadis milenial, ISIS secara meyakinkan mendominasi propaganda terorisme di media sosial. ISIS mensuplai mereka materi yang disusun secara cermat dan dinamis yang melukiskan reputasi kekhilafahan yang digdaya, semarak, dan sejahtera, meski digempur kekuatan Rusia dan Amerika.
Penghapusan massal terhadap akun-akun ISIS sudah dilakukan oleh pihak Twitter, Youtube, dan Facebook sejak tahun 2015. Inilah yang dinilai sejumlah pengamat membuat pendukung ISIS memilih “hijrah” ke aplikasi pesan terenkripsi seperti Telegram.
Pemblokiran Telegram di Indonesia baru-baru ini disebut merupakan reaksi pemerintah setelah menyadari dampak bahaya kekhalifahan virtual ISIS. Kenapa demikian?
Jika kita mencermati setahun belakangan, kita akan merasakan pergeseran narasi dan operasi kekhilafahan virtual ISIS. Tidak seperti tahun pertama saat mereka meminta anggota baru untuk hijrah (migrasi) dari negara asal ke Suriah, pada periode 2016-2017 mereka justru berbalik meminta pengikutnya untuk melakukan aksi serangan teror di negeri asalnya.
Pemblokiran media sosial ISIS, contohnya Telegram, memang berdampak pada mereka. Pemblokiran tersebut mengakibatkan komunitas kekhilafahan virtual terdesentralisasi, namun masih mungkin menghubungkan orang-orang yang berpikiran serupa di seluruh dunia dengan tujuan bersama untuk membangun kembali kekhilafahan.
Seperti kasus yang sudah-sudah, pemblokiran biasanya membuat mereka “hijrah” ke platform media sosial lain yang dinilai lebih “berdaulat”, walau tidak populer. Saat pemblokiran Telegram, misalnya, saya melihat mereka mencoba beralih dan berinovasi ke media sosial Baaz, namun mereka tetap belum sepenuhnya meninggalkan Telegram dan Twitter.
Media sosial adalah habitat kekhilafahan virtual. Maka, jangan pernah meremehkan kemampuan mereka dalam beradaptasi dan menghadapi pemblokiran.
Bulan lalu, ada seorang pengamat terorisme mengeluh di Twitter bahwa dirinya terpaksa harus belajar bermain Snapchat, setelah ia baru saja mengetahui pendukung ISIS mulai merambah aplikasi media sosial tersebut. Sementara itu, BBC pada Mei lalu memberitakan bahwa akun bernama Nashir News Agency yang dikenal sebagai outlet media ISIS muncul untuk pertama kalinya di Instagram. Jujur, setelah melihat kejadian ini, rasanya saya ingin memplesetkann ISIS adalah Islamic State of Snapchat and Instagram.
Singkat kata, kekhilafahan virtual memungkinkan pesan dan wacana ISIS telah menyebar jauh dan luas. Kekhilafahan virtual telah berkembang, tak lagi sekadar berisi propaganda, namun memandu anggota untuk melakukan aksi kekerasan.
Semua pihak sudah waktunya menyadari dan memikirkan bagaimana harus bereaksi bahwa warisan Abu Bakar al-Baghdadi tidak diukir di batu atau disimpan di gua-gua pegunungan Suriah, tapi terukir di sudut-sudut internet, yang tak akan pernah hilang dan terlupakan.
Baca juga:
Mewaspadai Radikalisme Islam di Media Sosial