Tulisan Ibnu Burdah berjudul Menuju Negara Kurdistan Merdeka terbilang menarik. Ini semacam upaya membeberkan kemungkinan-kemungkinan kemerdekaan bagi bangsa Kurdi—kalau bukan sebuah keyakinan—mendirikan sebuah negara sendiri dengan nama Kurdistan. Analisis Ibnu Burdah tentu mengacu pada rencana referendum Kurdistan untuk memisahkan diri dari negara Irak yang semula dijadwalkan akan dihelat pada 25 September mendatang. Referendum tersebut sebenarnya sudah berhembus sejak medio tahun 2014, tetapi gagal dan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah Irak.
Untuk beberapa tahun ke depan, selama negara Turki dan Iran masih kuat dan menjadi pemain di kawasan, saya yakin segala rencana terkait kemerdekaan bangsa Kurdi dengan membentuk negara Kurdistan tidak akan pernah terkabulkan. Jika pun nanti terbentuk negara Kurdistan, kawasan tersebut berpotensi besar melahirkan peperangan baru yang akan memorak-porandakan negara-negara Timur Tengah.
Saya perlu mengetengahkan sebuah pembacaan dan uraian lebih lanjut tentang entitas Kurdi dan Kurdistan sebagai bangsa (atau nantinya negara) yang “tak pernah diinginkan oleh sejarah”. Catatan-catatan sejarah awal, khususnya setelah Kesultanan Usmani runtuh, sama sekali seperti tidak pernah mengizinkan ada nama resmi bagi sebuah teritori dengan sebutan Kurdistan.
Meskipun secara populasi mereka sangat besar berjumlah di atas 30 juta yang tersebar di Turki, Iran, Irak dan Suriah (dan sebagian lain berdiaspora) dengan klaim adanya tanah wilayah di antara empat negara tersebut, tak satu pun dari empat negara tersebut bersedia memberikan dukungan atas upaya-upaya kemerdekaan mereka.
Tak kalah menarik, Mandat Prancis untuk Suriah dan Lebanon yang digagas Perang Dunia I (1923) setelah Kesultanan Usmani cerai-berai, nama Wilayah Kurdi ataupun State of Kurdish pun tidak tercantum. Mandat tersebut hanya menyebutkan enam negara bagian di tanah Syam, yaitu State of Damaskus, State of Aleppo, State of Alawi, State of Jabal Druze, State of Alexandretta (daerah Hatay, Turki sekarang) dan State of Lebanon (Negara Lebanon sekarang).
Bahkan hingga negara Lebanon merdeka penuh pada tahun 1943 dan diikuti oleh Suriah tiga tahun setelahnya, potensi Kurdi sebagai suku bangsa dengan klaim teritoral yang sudah ada tidak pernah mengubah kebijakan Prancis.
Faktanya, Prancis berkali-kali menolak dan bahkan menutup mata terhadap persuasi dan permintaan langsung dari utusan Kurdi dalam perundingan-perundingan terkait Mandat Prancis. Prancis dan negara yang bergabung dalam League of Nations (1923-1946) tidak melihat kepastian teritorial Kurdi baik di Suriah sendiri ataupun di daerah Turki. Di samping itu, suara-suara lantang yang meminta otonomi dalam Mandat Prancis untuk Suriah datang dari kalangan elite Kurdi.
Apakah Prancis dan negara-negara yang berkongsi dalam League of Nations (1923-1946) melupakan suku Kurdi yang secara populasi justru lebih besar daripada populasi State of Alawi, State of Jabal Druze ataupun State of Alexandretta yang diberikan otonomi dalam Mandat?
Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi teka-teki yang susah diurai hingga hari ini. Dan akhirnya, setelah perang sipil di Suriah mulai redup, kita akan menyaksikan proxy war baru yang akan menyertai kawasan Timur Tengah dengan hadirnya perjuangan terbentuknya negara Kurdistan yang mulai menemukan momentumnya dalam lima tahun terakhir.
Para pemain dalam perang lanjutan tersebut tidak akan jauh dari nama-nama negara seperti Prancis, Inggris, Amerika, Rusia, dan satu negara tambahan seperti Israel yang berada di sisi perjuangan kelompok Kurdi.
Penundaan Referendum?
Statemen yang dibangun Burdah dalam analisisnya bersumber dari media-media Barat yang berposisi sebagai oposisi bagi Turki dan Iran dalam perseteruan ini, khususnya ketika menggambarkan tentang pasukan Peshmerga yang berperang mengalahkan Daisy (ISIS). Sementara Peshmerga sendiri mendapatkan backing persenjataan penuh dari Amerika dan Inggris, bahkan kedua negara tersebut mengirimkan pasukan tempur turun bersama mereka.
Perlu juga dicatat bahwa Peshmerga bukan hanya diisi oleh militan dari suku Kurdi. Sebagai badan militer, mereka merekrut tentara bayaran yang juga dipenuhi oleh mereka dari suku Arab. Pasukan Turki sendiri sejak akhir 2015 sudah ambil bagian dalam memberikan pelatihan bagi anggota Peshmerga.
Hal penting lainnya yang luput dari tulisan Burdah adalah kemandekan persiapan dan proses referendum 25 September nanti. Menurut sumber pemberitaan media lokal, khususnya dari pemerintah Irak, Turki, dan Iran, rencana referendum tersebut akan ditunda dengan waktu yang tak dipastikan. Permintaan resmi sudah datang dari Iran saat Perdana Menteri Al-Barzani, pemimpin daerah Kurdistan di Irak Utara (KRG), berkunjung ke Negeri Mullah tersebut.
Di samping itu, penolakan keras dari Turki sudah disampaikan secara terbuka melalui Juru Bicara Kepresidenan Ibrahim Kalin. Yang pasti Tutki tidak akan pernah memberikan ruang bagi terbentuknya independensi sebagai negara baru bernama Kurdistan di kawasan.
Negosiasi politik di Parlemen Irak sendiri juga akan melahirkan keputusan penting di balik rencana dan kelanjutan referendum Kurdistan ke depan. Karena sebagai negara berdaulat, pemerintah Irak harus dihormati oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan maupun oleh kelompok suku Kurdi sendiri. Meski begitu, sebelum bola liar referendum menggelinding lebih jauh, Haidar al-Mawla dari State of Law Irak dengan tegas mengatakan bahwa Irak tidak akan mengizinkan adanya upaya pemisahan daerah oleh kelompok apa pun.
Sikap dan pesan penentangan dari internal pemerintah Irak sendiri bisa dipahami bahwa “lobi-lobi Kurdistan” sebenarnya belum mempunyai taji. Lobi mereka masih kalah jauh daripada pengaruh dan cengkraman Iran dan Turki yang secara dominan bisa mengubah kebijakan mereka terhadap daerah otonomi Kurdi di Irak Utara.
Dukungan-dukungan negara internasional pun akan sangat sulit ditunggu karena mereka secara terbuka berhadapan dengan Turki dan Iran, selain negara Israel yang terang-terangan mendukungnya. Sementara dua negara yang sama-sama dihuni oleh suku Kurdi tersebut mempunyai pemahaman tunggal dan tegas, bahwa rencana pembentukan negara Kurdistan adalah ancaman bersama bagi mereka.
Bagi saya, jalan menjadi negara Kurdistan akan sangat sulit tercapai. Karena dalam banyak laporan hasil riset, rasa nasionalisme sebagai Kurdi tidak secara otomatis kemudian mendukung terbentuknya sebuah negara. Kurdi tak lebih sebagai pengakuan identitas etnik yang bisa hidup di bawah negara lain. Apalagi mayoritas mereka yang hidup di Turki tidak menunjukkan resistensi secara terbuka selain hanya riak-riak kecil yang diwakili oleh pemberontak PKK (Partai Pekerja Kurdistan).
Selain itu, ada faktor internal yang menghambat segala upaya penyatuan Kurdistan Raya dengan mengambil daerah dari empat negara di atas. Ini akan menjadi paradoks bagi perjuangan kemerdekaan Kurdistan, yaitu menguatnya potensi monopoli klan/kelompok garis keturunan di antara para elite suku Kurdi sendiri, khususnya mereka yang hidup di Irak dan Suriah. Watak laten yang oleh Ibnu Khuldun (1332-1406) disebut sebagai ashabiyah, yaitu menguatnya solidaritas kelompok berdasarkan kepada klan, masih dan terus akan berjelaga di negara-negara Arab dan sebagian Afrika.
Tantangan terbaru di internal Irak Utara yang dipegang oleh komunitas Kurdi adalah menjamurnya politik oligarki dan monopoli satu kelompok keturunan, yaitu keluarga al-Barzani yang menjadi penguasa dengan memasukkan keluarga-keluarganya dalam jajaran elite pemerintah.
Dalam banyak laporan independen, Barzani dan keluarganya telah menjadi bandit yang mencuri dan mengorupsi kekayaan daerah berupa minyak sebagai andalan mereka. Bahkan tak jarang para pegawai negeri yang bekerja untuk Irak Kurdistan dan pasukan Peshmerga sendiri harus terlambat mendapatkan hak gaji bulanan mereka!
Baca juga:
Menanti Negara Kurdi di Timur Tengah